Kembali

75 6 0
                                    

26

Evelyn

Sudah dua bulan berjalan sejak kejadian di rumah duka waktu itu.

Sudah dua bulan berjalan sejak Adhitya menyuruh gue untuk selalu bahagia lewat surat sebelum dia meninggal. And that's what i do.

Sudah dua bulan sejak Dipta mengatakan, "I don't want to lose you again. So please, be mine again, ya?" dan sudah dua bulan berjalan sejak gue menjawab ajakannya dengan, "I'm yours from now on,"

Dua bulan sudah berjalan dengan kebahagiaan yang selalu datang setiap harinya, sejak gue dan Dipta balikan. Dua bulan berjalan penuh dengan kejutan-kejutan membahagiakan. Sudah dua bulan juga hubungan gue dan Dipta ini tersembunyi dari Bang Bayu. Mama dan Papa tau tapi tidak dengan Bang Bayu, gue nggak mau mati muda kalau dia tau. Hehe.

            Karena nyokap dan bokap tau soal hubungan gue dan Dipta yang sembunyi-sembunyi dari Bang Bayu, orang tua gue memberikan jadwal untuk Dipta main ke rumah. Lucu, sih. Tapi sedih juga ya karena nggak leluasa. Setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu malam Bang Bayu part time di kantor bokap. Dan setiap hari itu juga Dipta main ke rumah hanya untuk sekedar main kartu, nonton Netflix atau bahkan main masak-masakan. Sedihnya berasa sih kalau ingin pacaran di luar jadwal itu, haha. But chill, karena gue sedikit nekat jadi di hari Minggu ini gue dan Dipta tetap bisa jalan-jalan tanpa di curigai Bang Bayu—mungkin?

Di awali saat pagi hari ponsel gue berdering entah ke berapa kali yang menunjukkan nama Dipta tertera di sana. Gue pikir ada hal penting sampai buat dia menelepon gue nggak santai begitu. Ternyata, Dipta menelepon gue untuk mengatakan, "Mau ketemu. Kangenn!"

Jujur, gue bawaannya mau pingsan aja kalau Dipta mode clingy begini.

Mustahil gue tiba-tiba pergi di pagi hari, bisa-bisa Bang Bayu banyak tanya dan tau kalau gue bohongin dia. Minggu pagi gue selalu main bulu tangkis sama abang membuat Dipta mengeluh karena harus ketemu sama gue di sore hari.

"Nggak bisa nafas, Dip!" ujar gue sambil mendorong tubuhnya yang memeluk gue erat saat dia baru aja bertemu gue. Dipta memang begini aslinya, manja garis keras.

"Kangen."

"Kemarin kan ketemu,"

"Iya tapi kan cepet banget cuman dua jam," rengeknya. Kalau dia sedang begini, sekali pun orang-orang di pantai ini melirik ke arah kami berdua dengan tatapan geli, nggak membuat Dipta merasa malu dan melepas pelukannya.

"Jadi sepedaan atau cuman numpang pelukan aja di sini?" tanya gue meledek. Dipta mendengus dan melepas pelukan gue, menggantinya dengan mengenggam tangan gue erat. Gue terkekeh sepanjang dia menarik-narik tangan gue erat, muka nya yang cemberut buat gue ingin lemparin pasir ke arahnya.

Kini, kami berdua sudah menyewa sepeda masing-masing. Rencananya hari ini Dipta mau ajak gue liatin lampu lalu lintas malam dari atas bukit kecil tersembunyi buatan Almahrum kakeknya, tapi sembari menunggu malam gue mengajaknya ke pantai.

"Mau balapan?" tantang gue.

"Nggak. Ntar kamu cepet capek!"

Udah dua bulan kami mengubah cara bicara kami berdua, tapi mendengar Dipta yang berbicara aku-kamu tetap buat nafas gue terjeda sebentar.

"Nggak kok. Ayo ih, biar seru!"

Dipta terlihat tengah berpikir, "Janji jangan ambisius?"

Gue tertawa mendengarnya. "Iya-iya janji," Dipta mengangguk setuju kemudian mendekati sepeda gue, "Kalau capek bilang, ya?"

Oke. Kalau biasanya banyak orang yang berpikir laki-laki terkadang suka nggak tepatin janji, perlu orang-orang ketahui kalau perempuan juga begitu. Contohnya gue. Janji untuk jangan ambisius dalam lomba iseng-iseng sepedaan ini nggak bisa gue tepati. Gue lagi terjebak di jiwa-jiwa ambis dan kompetitif, nggak mau kalah dari Dipta sekali pun ini cuman lomba iseng-iseng aja.

PathwayWhere stories live. Discover now