Bahagia Dipta

80 4 2
                                    

31

Evelyn

Menjadi pacar pura-pura seorang Rama Adiguna yang notabene nya sahabat gesrek gue sendiri, nggak gampang—sumpah. Mungkin karena sahabat gue ini adalah sahabat Dipta juga, jadi untuk melakukan suatu hal yang terbilang romantis harus di pikirkan baik-baik dulu. Nggak gampang juga supaya Rama menyetujui segala rencana yang gue buat ini karena dia sayang Dipta juga. Berhubung Rama lebih duluan sahabat sama gue—otomatis lebih sayang sama gue dari pada Dipta, makannya dia mau membantu gimmick ini. Itu Rama sendiri yang bilang ya.

Sekarang...si pacar tipuan gue ini ada di rumah. Mama gue tau soal rencana ini—awalnya gue nggak mau kasi tau tapi karena Rama yang gue ajak ke dinner keluarga besar dan lebih sering datang ke rumah buat mama curiga. Mama nggak banyak komen soal rencana gue ini karena katanya beliau nggak punya tenaga buat pikirin itu. Ablasi, itu satu-satunya hal yang mama pikirin. Entah kapan waktu yang tepat melakukan ablasi itu, gue juga nggak tau. Bukan hanya karena Dokter Raja belum mengabari, tapi karena gue juga masih belum siap untuk itu.

Berbicara tentang Rama yang kini ada di rumah gue, tujuannya kesini cuman satu. Nyontek PR sosiologi—buat makalah biasa aja padahal. Sebenarnya gue juga yang menyuruh Rama untuk sering-sering ke rumah supaya Dipta lihat dan semakin yakin kalau hubungan gue dengan Rama ini nyata. Nggak pernah sekali pun terlintas di pikiran gue kalau gue harus meyakinkan hubungan gue dan Rama di hadapannya dengan cara seperti ini. Mencium pipi sahabat gue sendiri.

"Hati-hati lo di jalan!" ujar gue saat Rama hendak pulang.

"Iye, rewel banget lo!" cerocosnya. Tiba-tiba Rama membuka kedua tangannya, meminta pelukan. Itu hal biasa bagi gue, Rama dan Chintya. Pelukan persahabatan, Rama juga sering kok memeluk Chintya. Gue yang awalnya hanya terkekeh langsung mendekat ke arahnya dan memeluk sahabat gue ini erat. Cuman pelukan—awalnya, cuman pelukan sebelum ada cahaya motor yang sangat amat terang dari arah kanan. Cahaya motor yang buat gue mengatakan, "Gimmick on,"—kode yang hanya gue dan Rama saja yang paham.

Karena cahaya motor itu, gue berani menjinjit dan mencium pipi Rama. Lebih tepatnya karena gue tau Dipta menatap ke arah gue dan Rama sedari tadi.

Gue jahat, banget. Bahkan Rama pun juga mengatakan hal yang sama. Gue jahat banget karena udah buat Dipta mengendarai motornya sangat amat ngebut dan menimbulkan suara yang cukup buat senam jantung satu perumahan.

"Di liat pelukan aja udah cukup buat Dipta sakit hati, Vy. Kenapa mesti cium gue juga?" tutur Rama yang buat gue hanya mampu terdiam. Karena Dipta akan semakin cepat percaya kalau gue benar-benar mencintai Rama dengan cara menciumnya. Dipta juga akan semakin cepat melupakan gue di saat dia tau gue nggak pernah melakukan ini sewaktu kami berdua masih pacaran. Dipta pasti akan semakin cepat merelakan gue di saat dia tau kalau gue jauh lebih mencintai Rama dari pada dirinya. Tapi setelah mencapai tujuan gue, setelah rencana ini berhasil, gue selalu ingin menangis. Menangis karena sadar sejahat apa gue sebagai wanita yang di cintai dengan sangat amat serius oleh seorang lelaki.

"It's okay. Cara lo mungkin berlebihan but it's okay. Lo lakuin ini juga untuk kebahagiaan Dipta, ingat itu."

Kalimat Rama mampu menenangkan pikiran gue. Mampu buat gue bernafas teratur lagi bahkan setelah Rama hendak pulang. Tapi pengaruh kalimat itu nggak berlangsung lama karena ponsel gue yang berdering tiba-tiba saat gue sudah menghabiskan satu setengah jam dengan melamun. Nama Bang Bayu tertera di sana.

"Halo, Bang?"

Rintihan. Bang Bayu merintih, "Abang tabrakan...."

"HAH?!" nafas gue mulai nggak beraturan. Gue panik, panik banget.

PathwayKde žijí příběhy. Začni objevovat