Gengsi dan Kesempatan

214 13 0
                                    

16

Dipta

"Gue memang bilang udah maafin lo untuk kesalahan lo yang udah bohongin gue dan buat gue berharap sama hal yang nggak bisa gue dapetin," jawaban Evelyn buat nafas gue tercekat, "Tentang lo yang selalu kasarin gue, jadiin gue pelampiasan emosi saat di sakitin Chintya dan nggak pernah menghargai perasaan gue....itu juga udah gue maafin,"

Bukan jawabannya yang itu yang membuat gue terdiam seribu bahasa, melainkan sambungannya. "Tapi bukan berarti gue bisa lupainnya. Bukan berarti gue bisa terima lo di hidup gue lagi,"

"Lin..."

"Besok kelas BK kelas gue sama kelas lo di gabung kan?" dia terlihat mengalihkan topik. Gue menganggukkan kepala sebagai jawabannya. "Pura-pura nggak pernah terjadi apa pun di antara lo sama gue ya di kelas besok." Tuturnya santai. Hati gue mencelos tepat saat Evelyn mengatakan kalimat itu.

Bodohnya gue terdiam tanpa mengatakan apa pun. Bodohnya gue terdiam saat Evelyn berpamitan hendak masuk ke rumahnya. Bodohnya gue membiarkan Evelyn meninggalkan gue tanpa melakukan pencegahan apa pun.

Gue....udah telat ya?

oOo

Evelyn

            Gue bukan orang yang pandai menyimpan dendam tapi gue juga bukan orang yang pandai mengikhlaskan kesalahan dengan cepat. Orang tua gue mendidik gue sebagai anak yang pemaaf tanpa pernah memperkenalkan ke gue untuk menjadi anak yang ikhlas. Dengan berat hati gue meninggalkan Dipta yang masih berkutat dengan pikirannya. Kalau kemarin Dipta mendekati gue hanya karna suruhan Chintya, kali ini apa alasannya? Apa dia memang tulus?

"Bang Bayu, kok duduk di dapur sendiri katanya tadi mau naik?"

Gue di buat heran melihat abang gue yang hanya duduk di dapur, tanpa ada makanan atau pun minuman di hadapannya. Dia seolah-olah cuman duduk dan bengong, mungkin suntuk karna skripsinya kali ya.

"Jadi masalah kamu sampe buat kamu masuk rumah sakit itu karena Dipta dan Chintya?"

Hah? Tunggu....Bang Bayu nguping?

"Tadi abang gak tau kalau Chintya ke rumah. Pas abang mau temenin kamu di kamar, abang nggak sengaja dengerin obrolan kalian tanpa tau maksudnya apa. Tapi tadi pas abang mau nyuruh kalian berdua masuk karena tumben kamu mau lama-lama di luar, abang nguping juga obrolan kamu sama Dipta," gue masih berusaha tenang, "Dan abang udah paham kenapa kamu siksa diri kamu sendiri dengan menangis," tapi kali ini gue nggak bisa. Muka Bang Bayu udah keliatan lagi nahan emosi.

Dia tau kalau gue cuman di jadiin pacar Dipta atas suruhan Chintya. Abang gue tau kalau selama gue pacaran sama Dipta, gue nggak bahagia. Dan, abang gue juga tau kalau selama ini Dipta kasar dan jadiin gue pelampiasan emosi walau pun dia nggak tau sekasar apa itu.

"Kalau untuk Chintya, abang masih bisa ngerti kenapa dia lakuin itu. Karena dia mau sahabat kesayangannya bahagia. Tapi kalau Dipta? Abang rasa mulai sekarang nggak ada alasan lagi buat kamu ajak dia ke rumah ini."

Memang benar kalau baru aja gue habis cut off Dipta dari hidup gue, tapi mendengar Bang Bayu yang terkesan nggak memberi toleransi sama cowok yang baru aja buat adiknya masuk rumah sakit buat gue merasa sedikit nggak suka mendengarnya. Kalau Bang Bayu udah begini, mau Dipta sebaik apa pun—misalnya, selamanya bakal di tolak sama abang. Itu sebabnya di awal gue menutupi masalah ini.

"Abang kira dia lebih baik dari Adhitya, taunya sama aja."

Kalimat terakhirnya sebelum Bang Bayu naik dan meninggalkan gue terdiam di sini. Kenapa sedih nggak di restuin Bang Bayu sih, Vy? Memang Dipta bakal jadi pacar lo lagi? Nggak kan?

PathwayWhere stories live. Discover now