Sahabat dan Percaya

79 8 1
                                    

34

Dipta

            Insiden yang buat gue menabrak mobil Bang Bayu sampai nggak sadarkan diri berhari-hari kemarin bener-bener buat gue jauh lebih berasa bahagia. Iya, gue senang dengan kejadian tabrakan itu. Pertama, hubungan gue dan Papa jadi deket, banget. Kedua, keluarga gue harmonis—setelah sekian lama gue menunggu momen bisa merasakan keadaan keluarga akur. Dan yang ketiga, hubungan gue dan paman gue sendiri jadi dekat—dari yang awalnya cuman saling tau (saking jauhnya hubungan gue sama bokap dulu). Ya memang nggak semua paman, cuman Om Raja doang, tapi ya nggak masalah seenggaknya gue ada fungsinya jaid keponakan.

Kayak sekarang, gue lagi menjalankan fungsi gue sebagai keponakan yang berbakti dan berbaik hati (walaupun lagi patah hati sih). Sore ini gue mampir ke toko roti yang bokap suka beli kalau pulang kerja, gue mampir kesini bukan untuk beliin bokap melainkan Om Raja. Saat kemarin gue janji dalam hati untuk bisa menjadi keponakan sekaligus anak untuk Om Raja, itu serius. Makannya sekarang gue berjalan di koridor rumah sakit untuk mendatangi paman kesayangan gue sambil membawa banyak roti. Mungkin suster-suster yang lewat di sini bakal ngira gue mau buka warung kali ya.

            Langkah gue mendadak memelan saat melihat punggung seorang gadis dengan rambut terikat berantakan. Itu Evelyn? Segera gue mengerjapkan mata berkali-kali, bukan dia pasti. Mata gue salah lihat mungkin karena terbawa rasa kangen dan rasa bersalah karena udah kasarin dia di lapangan basket kemarin. Kangen banget gue sama lo Evelyn sampai orang di rumah sakit aja gue kira itu lo.

Saking kangennya gue bahkan melihat wajah ibu-ibu sekilas mirip sama tante Linda. Buset, dampak rasa kangen gini amat ya. 

"Sup, Om!" sapa gue heboh saat membuka ruangannya sambil menenteng pamer belanjaan roti yang udah kayak mau buka usaha roti ini.

"Wow, keponakan Om beneran mau berantakin ruangan dokter rupanya,"

Gue tau jelas kalau Om Raja berusaha untuk mengimbangi antusias gue di saat dia keliatannya lagi stres sekarang. "Kenapa, Om? Kusut banget mukanya!" tanya gue saat sudah duduk di kursi, tepat di depan Om Raja yang tengah melepas kacamata sambil memijat pelipisnya pelan.

"Mulai sekarang kamu jaga kesehatan ya, Dip. Sehat itu mahal dan penyakit itu nggak mandang usia," ucapnya menasehati gue tiba-tiba. Gue mengernyit bingung sekaligus agak kaget.

"Tiba-tiba banget. Kenapa, Om?"

Gue mendengar Om Raja menghela nafas berat, "Ini pasien Om masih muda seumuran kamu udah punya aritmia karena nyepelein penyakitnya yang dia punya sebelumnya. Jadinya minggu depan dia mau coba ablasi,"

Gue hanya manggut-manggut mendengar ceritanya. Sepertinya ada suatu hal yang buat Om Raja terlihat stres begini. "Kasian banget dia nyawanya bener-bener di ambang hidup dan mati," gue melotot mendengarnya. Seumuran gue udah di ambang hidup dan mati?

"Ablasi pun belum tentu berhasil dengan kondisi jantung selemah yang pasien Om punya. Tapi dia tetap coba buat lakuinnya karena katanya kalau dia mati nanti setidaknya udah berusaha bertahan untuk hidupnya sendiri," kata Om Raja dengan tatapan yang menunjukkan kalau beliau kasian pada pasiennya itu. "Tatapan orang tua nya kasian banget, Dip. Om sampai nggak berani liatnya." Dan sepertinya sama orag tua pasien juga.

"Om deket banget sama keluarga pasien soalnya keluarga teman mama kamu. Empat tahun Om merawat dia, semoga ablasi memang jalan yang terbaik buat pasien om ini."

Lagi-lagi gue melotot, "Teman mama?"

Om Raja mengangguk sambil membuka bungkus roti kedua yang dia hendak makan, "Iya, keluarga teman mama kamu. Kamu nggak kenal paling,"

PathwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang