Pelampiasan

82 6 0
                                    

35

Dipta

Dua hari lagi.

Dua hari lagi gue ulang tahun.

Dan Evelyn tetap bukan milik gue lagi sampai saat ini.

Sekali pun dia sama Rama udah putus, sekali pun udah nggak ada Rama lagi sebagai penghalang untuk usaha gue—Evelyn masih menutup dirinya untuk gue. Menutup berbagai kesempatan untuk gue menjadikannya sebagai kekasih gue lagi. Gue tau, mungkin hatinya masih belum terima untuk putus dari Rama. Alasan putus mereka adalah hubungan persahabatan gue dan Rama. Sekali pun Rama bilang kalau Evelyn nggak sedih, gue tetap menganggap cewek kesayangan gue itu lagi sedih.

Melihat matanya dengan tatapan kosong setiap saat gue nggak sengaja ketemu dia di sekolah.

Melihat kebiasaannya yang menyendiri di taman, perpustakaan atau bahkan di kelasnya. Melihat Evelyn yang sesekali menghela nafas pasrah. Melihat itu semua gue menjadi yakin kalau keputusan untuk putus dari Rama memang semenyakitkan itu untuknya. Sakit untuk gue juga. Bukan, gue seneng kok mereka putus. Sakit nya adalah saat melihat cewek kesayangan gue yang se-sedih ini karena hubungannya selesai dengan cowok yang di cintainya. Sakitnya lagi di saat gue sadar cowok itu bukan gue.

            Evelyn nggak pernah tau kalau gue selalu ada di sini memperhatikannya. Evelyn nggak akan pernah tau kalau gue bersedia menjadi pelampiasan kesedihannya setelah putus. Evelyn nggak pernah tau kalau gue bakal tetap setia menunggunya sekalipun hatinya masih untuk orang lain. Dan, Evelyn nggak pernah tau.....kalau gue ada di sini—di belakangnya yang sedang duduk di ayunan perumahan dan menangis seanggukan. Kali pertama gue melihatnya menangis sampai seperti ini. Kali pertama gue menghampirinya lagi setelah sekian lama bersandiwara menjadi sosok kasar padanya. Tapi ini kali kedua gue jongkok di hadapannya.

Gue nggak tau Evelyn kenapa dan gue nggak memaksa diri untuk tau. Yang gue lakukan adalah merangkup wajahnya lembut dan membantunya mengusap air mata. Apa dia nangis sampai seperti ini karena putus dari Rama?

Kepalanya mendongak.

Matanya menatap gue sendu.

Nafasnya berhembus penuh beban.

Evelyn gue ada sesuatu yang dia tahan, ada sesuatu yang dia ingin keluarkan, ada sesuatu yang ingin dia ceritakan. Dan menangis sampai sesenggukan adalah caranya melampiaskan. Dan kini tangisannya terhenti begitu cepat saat Evelyn menatap gue, saat Evelyn bisa merasakan tangan besar gue ini mengusap wajahnya lembut dan nggak mau lepas sedetik pun.

"Gue nggak akan tanya kenapa. Jadi, nangis aja, ya?" tutur gue pelan. Evelyn nggak menjawab dan hanya menatap mata gue dengan tatapan yang nggak bisa gue artikan sama sekali. Air matanya tetap menetes deras di saat matanya yang terbuka, masih setia menatap gue. Kehilangan Rama sebagai pacar karena keadaan buat kamu se-tersiksa ini ya, Lin?

Evelyn tiba-tiba melepaskan kedua tangan gue dari wajahnya dan kemudian dia menunduk dengan kedua tangannya yang menutup wajahnya. Evelyn menangis, kali ini lebih kencang. Dia menangis bukan dalam diam, tapi menangis sambil berteriak walaupun mulutnya di bekap tangannya sendiri.

            Apa pun alasannya, hati gue tetap sakit melihat wanita yang gue cinta kini menangis seperti ini di hadapan gue. Menangis seolah-olah ada beban yang nggak bisa dia bagi pada siapa pun. Menangis seolah-olah nggak ada orang lain yang mampu membantunya. Gue langsung berdiri dan memeluknya erat. Sangat erat.

Evelyn nggak memberontak seperti yang gue kira sebelumnya. Dia juga nggak membalas pelukan gue. Evelyn hanya menangis dengan wajah yang masih di tutupi tangannya dengan kepala yang bertumpu pada dada gue.

PathwayWhere stories live. Discover now