Menunggu Waktu

56 9 0
                                    

27

Evelyn

            Pagi ini gue berusaha mengawali hari sekolah dengan baik-baik aja. Keep it mind, ini udah hampir dua minggu gue menutupi fakta penyakit gue dengan Dipta. Merasa berdosa tapi ya nggak masalah dari pada hubungan kami berdua penuh dengan rasa khawatir. Tapi sepertinya usaha gue sia-sia. Kenapa? Karena hari ini nggak akan berjalan baik-bak aja. Bisa-bisanya gue lupa bawa tugas akuntansi yang akan di kumpul sekarang. Bukan, bukan masalah gue lupa bawa tugas—ini bukan sekali gue lupa bawa tugas di mapel lain. Yang jadi masalah besar adalah ini mapel akuntansi—Bu Ramini galak banget-banget-bangetttt. Selalu punya tenaga untuk hukum muridnya yang nggak bawa peralatan lengkap di pelajarannya.

"Kenapa, Vy?" tanya Chintya yang sadar akan gelagat aneh gue.

"Gue lupa bawa tugas kertas kerja nya!" jawab gue dengan pasrah sambil menahan nangis, bukan cengeng—gue takut banget soalnya. Bu Ramini kalau marah udah kayak beruang kelaparan, i'm not gonna lie.

"SUMPAH?!" sial, Rama heboh banget untung juga Bu Ramini belum masuk ke kelas karena masih ngobrol sama guru piket di depan.

"Gimana dong ini habis gue di suruh dengkleng di depan kelas," keluh gue mulai pasrah. Kalau aja ide cemerlang Rama nggak terlontarkan mungkin gue cuman di hukum dengkleng di depan kelas sampai pelajaran selesai. Dan bukan lari keliling lapangan bersama Rama dan Chintya juga. Kenapa jadi kami bertiga yang di hukum? Sekali lagi ini karena ide Rama.

"Kalau gitu gue ikut aja bilang nggak bawa tugas!" celetuk Rama—asal mula penyebab hukuman gue jadi merepotkan seperti sekarang.

"Bu Ramini selalu hukum murid di depan kelas untuk dengkleng, tapi kalau lebih dari satu pasti selalu di suruh hormat bendera di lapangan sampai jam pelajarannya selesai. Mending hormat bendera karna bisa kabur ke kantin secara dia nggak pernah awasin muridnya di hukum, dari pada majang diri di depan kelas. Asik nggak ide gue?"

Awalnya memang terdengar asik sampai Chintya juga berinisiatif di hukum suka rela karena kalau dua orang aja yang di hukum masih memungkinkan untuk di suruh dengkleng, tapi kalau tiga orang pasti langsung di bawa ke lapangan. Tepat saat gue, Rama dan Chintya sama-sama menyunggingkan senyum karena kami di suruh ke lapangan, saat itu juga Bu Alysa datang ke kelas untuk membawa daftar nilai yang dari tadi Bu Ramini minta.

Kedatangan Bu Alysa benar-benar menghancurkan segala ide yang kami bertiga ancang-ancang di awal. "Lari keliling lapangan sampai mapel saya selesai. Bu Alysa tolong awasi mereka, ya?"

Saat itu juga gue melotot dan berseru, "Loh, kok nggak jadi hormat bendera, Bu?"

Bu Ramini menatap gue penuh selidik sambil melipat tangannya di depan dada, "Kapan saya suruh kalian hormat bendera? Saya cuman menyuruh kalian ke lapangan untuk saya hukum," jawabnya santai buat gue merutuki diri sendiri, "Jadi, kamu bertiga terlihat santai begini karna mengira saya akan menyuruh kalian hormat bendera aja?" sialan. Gue ceroboh dua kali.

So....beginilah nasib kami bertiga sekarang. Berlari mengelilingi lapangan utama sekolah di bawah terik matahari yang terasa sangat panas ini—seolah-olah matahari ada delapan sekarang.

"Harusnya kalian bilang aja kalau bawa tugasnya. Jadi nggak perlu di hukum gini sama gue!"

Chintya terkekeh dengan nafas yang mulai tersenggal-senggal, "Nggak masalah kali, Vy. Ini namanya setia kawan!"

"Tau nih, Ivy. Nggak tau sahabatnya lagi romantis!" timpa Rama yang sangat amat semangat berlari di depan gue. Untuk saat ini gue nggak bisa banyak menanggapi apa pun lagi, padahal dua sahabat gue ini sibuk berceletuk dan bercanda saat sedang berlari. Nafas gue terasa udah hampir berhenti sumpah. Ya lo bayangin aja orang penyakit jantung akut di suruh keliling lapangan panas-panas, semoga aja gue masih bisa nafas. Dokter Raja cuman memberikan gue obat pereda sakit sementara, tapi kalau kepala gue dan jantung gue udah sakit banget seperti sekarang ini—gue nggak yakin satu pil aja berguna.

PathwayWhere stories live. Discover now