Penjelasan dan Ketenangan

124 6 3
                                    

38

Evelyn

Gue egois.

Bukan hanya diri gue sendiri yang menyadarkan itu tapi kini Dipta ikut andil dalam menyadarkannya. Gue sama sekali nggak tau harus bagaimana di posisi ini, di posisi ketika Dipta menatap gue dengan penuh amarah namun dia masih bisa bicara lembut ke gue. Posisi di mana gue tau banget kalau Dipta sangat amat kecewa dan emosi tapi tetap berusaha tenang saat berbicara dengan gue.

"Awalnya lo buat hubungan gue dan Rama nggak baik. Dan sekarang, lo buat hubungan gue dengan sahabat gue yang lain juga nggak baik."

Gue tau, gue tau seberapa besar pengaruh keegoisan gue ini buat dia.

"Setiap hari, Lin." Suaranya melemah, "Setiap hari aku tanya sama diri aku sendiri aku salah apa sampai buat kamu tega selingkuh sama sahabat aku," cara bicaranya kini juga ikut melemah. Dipta menangis, buat gue ikut menangis.

"Setiap sebelum tidur aku selalu punya harapan kamu bisa jadi milik aku lagi tapi setiap hari aku harus bangun dengan kenyataan kalau kamu bukan lagi punya aku," air mata gue menetes semakin deras dan kini Dipta mengedarkan pandangannya ke sembarang arah.

Menghindari tatapannya dari tatapan gue. "Dan sekarang, setelah semua pertanyaan di otak aku, setelah semua harapan dan setelah semua kenyataan yang terjadi, aku baru tau kalau semua orang bohongin aku,"

Gue menghembuskan nafas panjang, "Dip, dengerin aku..."

"Kamu, orang tua aku, bahkan sahabat-sahabat aku ada di pihak kamu dan buat aku jadi orang paling bodoh karna nggak tau apa-apa tentang kesehatan cewek yang aku sayang. Nggak enak, Lin. Nggak enak jadi orang yang nggak tau apa pun apalagi menyangkut seseorang yang berharga di hidupnya," dia nggak memberi kesempatan untuk gue bicara.

Gue mendekatinya dan mengusap air mata Dipta lembut. Ini kali pertama Dipta mendorong tubuh gue untuk menjauh. "Kenapa.....harus bohong?" tanyanya sangat amat putus asa.

Hati gue sakit melihat Dipta yang masih bisa menahan marahnya, masih bisa menahan emosinya hanya karena bicara dengan gue. Hati gue sakit ketika mendengar Dipta dengan suara selemah ini.

"Aku nggak tau apa aku masih di kasi kesempatan hidup setelah ablasi nanti atau nggak. But if it's not, aku cuman mau saat aku meninggal nanti kita nggak punya ikatan apa-apa." Perlahan gue mulai menjelaskan isi pikiran gue.

"Kita saling butuh satu sama lain, kita saling bergantung satu sama lain. Aku cuman mau kamu terbiasa tanpa aku dan aku yang bisa ikhlas pergi ninggalin kamu,"

Bukannya mengatakan sesuatu, Dipta justru tertawa. Tertawa menusuk, tertawa untuk pola pikir gue yang nggak sejalan dengan pikirannya. "Tapi kamu belum tentu bakal mati, Lin!"

Dipta menarik nafas, "Bahkan hubungan kita berdua yang saling bergantung satu sama lain ini nggak bisa jadi alasan kamu pertahanin hidup kamu sendiri, ya?" pertanyaannya buat gue lagi-lagi nggak bisa menjawab apa pun. "Bahkan kehadiran aku di hidup kamu, nggak buat kamu bertahan di hidup ini dan nggak langsung mikir ke arah 'kematian', ya?"

Dipta mengangguk paham di saat gue belum menjawab apa pun. "Ternyata aku di mata kamu nggak sepenting kamu di mata aku ya."

Nafas gue seolah-olah terhenti saat Dipta mengatakan kalimat selanjutnya, "Baru kali ini aku kecewa sampai benci sama kamu, Lin. Benci, banget!" setelah mengatakan itu gue hanya bisa melihat punggungnya yang menjauh meninggalkan gue yang berdiri dengan kaki lemas dan rasa penyesalan.

Ini yang lo mau kan, Evelyn? Dipta udah benci sama lo.

oOo

Jam setengah 12 malam gue baru sampai rumah. Sedangkan Bang Bayu udah ada di rumah sejak dia meninggalkan tempat acara ulang tahun Dipta, yang suasananya jadi rusak karena gue.

PathwayWhere stories live. Discover now