Benci dan Salah Paham

88 8 2
                                    

32

Evelyn

Senyuman gue terukir dan nggak memudar dalam hitungan detik karena pemandangan yang gue liat dari luar jendela ini. Dia tersenyum, dia tertawa dan dia bahagia bersama papa nya sekarang. Dipta, hubungannya dengan Om Guntur membaik—bahkan di atas kata baik. Gue senang melihat ini sekali pun Dipta nggak akan pernah tau kalau gue selalu menunggunya sampai kedua matanya terbuka dari luar kamar. Dipta nggak perlu tau rasa khawatir gue untuknya karena kalau dia tau, Dipta pasti bingung sama perasaan gue.

Kembali gue mengingatkan pada Bang Bayu tentang apa yang terjadi di antara gue dan Dipta. Tentang kenapa gue memilih untuk berpura-pura pacaran dengan Rama. Tentang kenapa gue nggak mau kalau Dipta sampai tau gue masih mencintainya. Walaupun gue menceritakan hal itu pada Bang Bayu, dia tetap nggak akan pernah tau bahwa kematian adiknya sudah tergambarkan.

"Ivy cuman nggak mau Dipta buang-buang waktunya untuk pacaran sama orang dengan penyakit akut. Dipta pantes pacaran sama cewek yang sehat di luar sana." Gue menjadikan itu sebagai alasan supaya Bang Bayu mau menutupi ke Dipta kalau gue mengkhawatirkan keadaannya. Bang Bayu nggak perlu tau kalau apa yang gue lakukan ke Dipta merupakan langkah siaga supaya Dipta dan gue nggak saling ketergantungan lagi, nggak saling terikat lagi—karena akan sulit saling melepas, akan sulit untuk beradaptasi kalau gue memang di takdirkan untuk mati nanti.

"Evelyn?" panggilan seseorang buat langkah gue yang hendak menuju parkiran rumah sakit terhenti. Dokter Raja.

"Halo, Dok!" sapa gue ramah lalu berjalan mendekat ke arah beliau.

"Kok kamu ada disini bukannya ini masih jam sekolah?" pertanyaannya buat gue terdiam. Urusan cinta memang buat gue rela bolos sekolah dua hari untuk mastiin kondisi Dipta yang baik-baik aja. "Kenapa? Obat penangkal sakit yang dokter kasi habis?"

Gue menggeleng cepat, "Nggak, Dok. Saya ke sini untuk jenguk teman,"

Dokter Raja mengangguk paham, "Oh iya, Evelyn..." tunggu, kenapa ini buat gue deg-degan tiba-tiba. "Saya udah tentuin jadwal ablasi yang tepat. Ini perlu di omongin sama orang tua kamu juga, dua hari lagi bisa ke sini? Soalnya kalau besok saya ada ambil operasi," pantas aja gue merasa tegang tiba-tiba.

Lidah gue kelu, gue hanya menganggukkan kepala kecil, "Bi-bisa, Dok."

Tanpa melakukan basa-basi seperti biasanya, gue hanya berpamitan pada Dokter Raja dan segera berjalan menuju parkiran. Dengan nafas yang mulai nggak beraturan.

oOo

Dipta

Bosan.

Satu kata yang bisa mendeskripsikan keadaan gue saat ini. Bosan karena hanya berdiam diri di kamar aja, menonton bokap yang sibuk dengan kerjaannya. Berusaha keras untuk menahan senyuman haru gue ini saat melihat bokap yang rela nunda meeting hanya untuk ada di samping gue. Tapi saat ini gue benar-benar bosan sampai gue yang memilih meninggalkan bokap yang sedang asik dengan kesibukannya.

"Papa perlu ikut?" tanya bokap saat gue mengatakan bahwa gue hendak berjalan-jalan sekitar rumah sakit.

Gue menggeleng tegas, "Nggak usah, Pa. Aku mau sendirian dulu," sendirian. Sendirian mengingat bagaimana mesranya Evelyn dengan sahabat gue sendiri. Sendirian mengingat cara Evelyn yang menatap Rama seolah-olah dia sayang banget sama cowok itu, cara menatap yang nggak pernah gue dapat darinya. Sendirian mengingat bagaimana Evelyn mengecup pipi sahabat gue sendiri, kecupa yang nggak pernah gue dapat dari Evelyn selama pacaran. Karena kecupan yang pernah gue dapatkan adalah kecupan perpisahan, sedihnya lagi Evelyn mengaku bahwa saat dia mencium gue yang di dalam hatinya adalah Rama.

PathwayWhere stories live. Discover now