Mantan dan Belajar

230 29 0
                                    

05

Evelyn

Kembali gue teringat kalimat banyak orang yang mengatakan kalau 'Manusia nggak pernah puas'. Gue setuju dengan itu. 

Dulu gue membayangkan kalau pacaran dengan Dipta pasti sangat membuat gue bahagia. Pacaran dengan Dipta pasti sangat membuat gue seolah-olah menjadi manusia paling beruntung. Ternyata semua ekspektasi gue terlalu tinggi untuk itu. Setelah kata-kata tajam dari Dipta—pacar gue sendiri, di kantin tadi buat gue menghabiskan sisa waktu di sekolah dengan bengong doang. Bahkan sampai pulang sekolah pun, Dipta nggak berniat untuk meminta maaf dari perbuatannya yang kasar itu.

Jangankan minta maaf, sadar sama perbuatannya aja kayaknya enggak.

Dia benar-benar nggak menganggap gue sebagai pacarnya. Sampai pulang sekolah pun Dipta nggak pakai basa-basi untuk bilang 'pulang naik apa?', 'Gapapa ya naik bus lagi?'. Dia malah jalan dengan dagu terangkat melewati gue yang sedang berdiri di halte depan sekolah gitu aja. Di saat sahabat-sahabatnya menyapa gue, Dipta malah diam seolah-olah gue orang asing. Tanpa bertanya kenapa gue berdiri di halte, tanpa peduli keadaan gue yang udah setengah gosong terpapar sinar matahari karna bus kota nggak datang-datang.

"Ivy..." seseorang memanggil gue tiba-tiba.

Panggilan dari suara yang nggak pernah asing di telinga gue. Suara ini, suara yang udah lama nggak gue denger lagi. Suara yang kadang gue rindukan dulu sekaligus yang gue benci pada masanya. Adhitya Prakasa, dia memanggil gue dan sekarang berdiri di samping gue.

"Lama ya nggak ketemu. Masih inget gue kan?"

Adhitya tersenyum begitu pula gue. Senyumannya adalah senyuman yang pernah membuat gue menjadi wanita terbahagia karna jadi kekasihnya dulu. Sekaligus jadi wanita yang paling menyedihkan pada saat itu.

"Masa iya gue lupa, Dhit?"

Mungkin ini definisi damai sesungguhnya. Damai dengan masa lalu. 

Gue udah nggak pernah merasa sakit hati lagi kalau liat Adhitya, gue juga nggak mengingat jelas segala hal yang pernah Adhitya lakukan dalam menyakiti gue dulu. Gue benar-benar udah bisa menerima Adhitya sebagai teman biasa tanpa mengungkit masa lalu kami berdua.

"Gue di sini karna cari konfirmasi tim basket buat dua minggu lagi. Lo kenapa panes-panesan di sini? Nggak pulang?"

"Tunggu bus kota lewat. Lo sendiri udah selesai urusannya?"

"Udah. Denger-denger lo pacarnya Dipta sekarang," sampe ke telinga Adhitya juga hubungan gue ini? Gue hanya mengangguk sambil terkekeh canggung. Entahlah, hubungan gue dengan Dipta terlalu asing untuk di banggakan ke orang lain.

"Kenapa nggak balik sama dia aja?"

Gue juga maunya gitu. Tapi setelah yang terjadi hari ini, kayaknya gue harus sadar diri untuk lakuinnya. "Balik sama gue aja, Vy. Searah juga kan, mau ya?" belum sempat gue menjawab pertanyaan yang sebelumnya, kini ditimpa pertanyaan yang nggak bisa gue jawab pula.

"Dia balik sama gue!"

Dipta? Sejak kapan dia di sini. Dan kenapa suara motornya nggak kedengeran saat mendekat ke tempat gue dan Adhitya berdiri.

"Sini!" tegasnya sambil menarik tangan gue pelan. Dipta nggak sadar kalau gue lagi marah sama dia? Kenapa dia bersikap seolah nggak ada apa-apa sekarang?

"Gue ingetin sama lo ya, Dhit. Evelyn cewek gue dan lo cuman mantannya. Jangan cari masalah sama gue!"

Nggak tau harus bereaksi gimana denger ancaman Dipta ke mantan gue. Di satu sisi gue merasa senang, di satu sisi gue merasa nggak pantas untuk itu. Di tambah gue merasa nggak enak meninggalkan Adhitya seorang diri dengan keadaan sedikit runyam. Kalimat terakhir sebelum Dipta melajukan motornya pergi dari Adhitya adalah kalimat yang buat hati gue terenyuh. "Kalau Ivy cewek lo, harusnya lo tau kalau dia nggak bisa kepanasan. Harusnya lo nggak biarin dia panas-panasan di sini."

PathwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang