Hubungan dengan Papa

104 7 1
                                    

30

Dipta

"Rapat malam ini lo harus dateng. Kita mau omongin soal upacara Senin nanti untuk kasi penghargaan yang menang olimpiade dari sekolah sama ke para tutornya. Gue tunggu jam 7 paling lambat di Ale!" siapa lagi yang akan se-cerewet dan buat emosi gue memuncak sore-sore begini kalau bukan Prisnka, wakil ketua OSIS yang baru terlihat kinerja nya—entah karena apa.

Ini hari Sabtu, hari dimana biasanya gue akan menghabiskan satu hari libur ini bersama cewek kesayangan gue. Siapa lagi kalau bukan Evelyn. Hari dimana kami berdua pergi ke tempat yang belum pernah kami datangi, makan makanan yang sama-sama kami berdua belum pernah coba. Sekarang, jangankan untuk melakukan hal itu lagi—menyebut 'kami' untuk gue dan Evelyn aja udah nggak bisa lagi. Kemarin, sekali pun gue udah bersujud di hadapan Evelyn, nggak membuatnya untuk menjadi milik gue lagi. Kalau memang ini bagian karma gue yang dulu pernah nggak menghargai dia, gue pasti akan bertanya kepada Tuhan kenapa bentuk karmanya harus seperti ini?

Gue nggak masalah kalau Evelyn kasar ke gue balik. Gue nggak masalah Evelyn bentak-bentak gue sepuasnya. Asalkan nggak kayak gini. Asalkan dia nggak main belakang sama sahabat gue, asalkan dia nggak menghapus perasaannya untuk gue, asalkan gue satu-satunya cowok yang ada di hatinya. Tapi sialnya, sahabat gue malah mengganti posisi gue tanpa memikirkan perasaan sahabatnya sendiri. Shit, bisa-bisanya gue bilang si bangsat Rama itu sahabat gue, kata 'sahabat' nggak pantas jadi pengikut di nama Rama.

Sebagai Ketua OSIS yang bertanggung jawab, gue memutuskan untuk cepat-cepat mempersiapkan diri ke Ale Cafe untuk rapat bersama anggota inti OSIS yang lain. Sebenarnya bukan karena rasa bertanggung jawab yang besar sampai gue menyita waktu main PS hanya untuk rapat. Gue datang rapat kali ini tanpa ada niatan bolos hanya untuk membuat otak gue sibuk dan nggak terfokus sama kalimat terakhir yang Evelyn lontarkan kemarin.

"And i don't."—kalimat terakhirnya sebelum meninggalkan gue yang masih bertekuk lutut sambil meneteskan air mata. Kalimat terakhir sebagai jawaban dari kalimat gue yang mengatakan dengan jujur dan tulus bahwa gue sangat amat mencintainya.

Harusnya gue bisa mengikuti rapat dengan perasaan yang sedikit lebih tenang dari rasa kalut kemarin. Harusnya gue bisa sedikit memaksa diri untuk lebih bersemangat lagi mendatangi rapat kali ini kalau aja gue nggak melihat si bajingan Rama yang bermesraan di depan rumah Evelyn bersama si pemilik rumah. Tepat saat gue baru keluar rumah, gue melihat Rama dan Evelyn yang baru aja melepaskan pelukan mereka. Hati gue terasa tertindih batu saat melihat cewek kesayangan gue di sana, mencium pipi Rama sambil tersenyum seolah-olah cowok yang ada di hadapannya sekarang sangat amat membuatnya bahagia.

Fakta bahwa Evelyn tidak pernah begitu pada gue, fakta bahwa Evelyn nggak pernah menatap gue layaknya dia menatap Rama sekarang, fakta bahwa Evelyn nggak pernah menunjukkan cintanya pada gue dengan mencium pipi gue tiba-tiba—mampu membuat gue menancap gas motor dengan kecepatan penuh. Melewati dua pasang remaja itu yang mungkin kaget mendengar suara motor gue yang kencang. Kecepatan motor gue kali ini berkali-kali lebih cepat dari kemarin. Gue melajukan motor tanpa memikirkan keselamatan gue sendiri.

Brak!

Motor gue tertabrak mobil pajero hitam dari lawan arah, lebih tepatnya gue yang menabrak. Gue terpental sampai nggak tau dimana posisi gue saat ini. Pandangan gue yang udah mulai buram ini hanya mampu menatap motor gue yang udah hancur dan si pengendara mobil hitam yang berlari menghampiri gue dengan panik.

Sisanya gue hanya melihat bayang-bayang Evelyn yang mencium pipi Rama sebelum mata gue ini terpejam sempurna.

oOo

Telinga gue berdengung.

Kepala ini pusing banget.

Mata gue yang sedikit buram perlahan menemukan titik fokusnya.

PathwayWhere stories live. Discover now