Basket dan Darah

185 23 0
                                    

09

Evelyn

04 Agustus 2020

Hari gue kali ini berjalan sangat amat sibuk. Bukan sok sibuk, tapi memang sibuk. Kayaknya untuk sekedar nafas aja perlu buat jadwal dulu—lebay. Kadang gue mikir kenapa Pak Jokowi yang tugasnya pasti nggak selesai-selesai masih bisa tersenyum dan bernafas lega. Sedangkan gue, pulang sekolah harus hadirin dua rapat berturut-turut aja ngeluhnya per jam. Hari ini gue mesti datang technical meeting buat pertandingan lomba basket besok, TM di laksanain di aula sekolah gue—karena tahun ini SMA Tunas Bangsa tuan rumahnya. Dan gue juga mesti ikut rapat untuk photoshoot dua hari lagi, bakal ketemu Dipta karena dia ketua OSIS sekaligus ketua projek ini.

Kejadian malam itu buat mood Dipta makin hari makin abstrak. Dan seperti biasa, gue nggak tau karena apa. Sejak malam itu juga Dipta menekankan kalau gue nggak boleh ambil projek ini yang buat gue harus bohong sama dia. Kacau sih ini. Dipta bener-bener nggak berhenti buat minta ke gue jangan jadi model majalah tahun ini. Dipta juga yang jadiin Prinska—teman kelas gue, sebagai pengganti. Dia udah sibuk urus ini itu ke Bu Rima tanpa bertanya sedikit pun tentang pendapat gue.

'Lo baik-baik aja nggak ambil projek majalah kali ini?'

Atau sekedar, 'Maaf, ganti model tanpa persetujuan dari lo' nggak pernah Dipta tanyakan pada gue. Sakit hati pastinya saat lo udah cinta sama satu pekerjaan dan orang lain memaksa untuk lo lepasin pekerjaan itu. Gue masih berharap kalau alasan Dipta larang gue bukan karena penyakit anemia akut ini. Tapi ternyata memang itu akar alasannya. Dipta cuman nggak mau di repotin sama gue yang penyakitan ini. Lo pikir aja gimana kondisi hati gue saat dia terang-terangan bilang, "Lo bisa jangan bawel? Alasan gue cuman nggak mau di repotin sama penyakit lo itu. Lo nggak usah isi acara nangis lagi, gue cuman ngomongin fakta!"

Tujuan gue ikut rapat karena Bu Rima menyuruh. Beliau percayakan projek ini ke gue dari tahun ke tahun makannya gue perlu datang untuk menjadi pertimbangan Prinska nanti. Tapi sialnya Technical meeting ini selesai lama banget, bahkan nggak sesuai rundown yang di bagikan. Gue harus rapat jam 4 sedangkan udah jam 15.59 technical meeting belum membacakan aturan-aturan permainan. Sial, alamat gue bener-bener nggak punya harapan buat jadi model majalah tahun ini. Bu Rima bahkan sampai mengirim pesan yang berisi 'Kalau kamu ke ruang OSIS nya ngaret nggak apa-apa, yang penting pas penentuan keputusan akhir kamu bisa hadir ya. Jadi kamu ke ruang OSIS buat persetujuan aja'

Tentu gue langsung lega bacanya. Buset, dua rapat aja udah buat gue merasa selevel anggota dewan. Karena pesan Bu Rima itu buat gue akhirnya bisa menikmati tm ini tanpa rasa panik lagi.

Apa pun hasil akhir majalah.

Siapa pun model yang di pakai nantinya. Semoga itu nggak buat gue kecewa.

Walau pun gue udah sangat amat sedih mendengar pacar gue sendiri yang nggak memberi dukungan apa pun ke gue.

oOo

Dipta

"Berarti Prinska belum punya pengalaman photoshoot ya?"

Bu Rima, sejak kapan dia menjelma sebagai musuh gue sekarang. Guru pembina OSIS sekaligus pengajar tim Jurnalistik ini keliatan ngotot banget buat pakai Evelyn sebagai model majalah tahun ini lagi. Dia keliatan akan mau buang-buang waktu berjam-jam sekali pun untuk debat sama gue. Dan gue udah kalah telak pas beliau menanyakan, "Apa yang buat kamu mau gantiin Evelyn jadi Prinska. Apa alasan Evelyn nggak boleh ambil projek tahun ini lagi?"

Nggak mungkin kan gue bilang kalau gue nggak mau Evelyn di buat kecapekan sama kegiatan ini. Nggak mungkin gue bilang kalau Evelyn punya anemia akut yang bisa aja buat dia celaka kalau terlalu kecapekan. Nggak mungkin kan gue bilang kalau gue khawatir tuh cewek kenapa-napa. Sama Evelyn aja gue bohong apalagi sama Bu Rima.

Pathwayजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें