Seleksi dan Penyakitan

256 33 3
                                    

04

Dipta

"Si pecundang akhirnya dateng juga!" sapa si Adhitya tai ini dengan nada jenaka nya. Bukan dia kalau nggak terlalu pede. Gue hanya membalas sapaan itu dengan terkekeh.

"Mau kalah lagi ya makannya nantangin gue?"

Adhitya keliatan meregangan otot leher nya, ciri-ciri udah kepancing emosi. Lemah.

"Beda sekolah buat lo berani rebut cewek gue ya," tuturnya sarkastik sambil menatap gue sinis. Gue berdecih seketika, rupanya emosi Adhitya memang tersulut dari tadi sebelum gue sampai. Dan itu karena berita gue yang baru aja pacaran sama mantan terindahnya ini.

"Ralat, cewek gue," jawab gue santai. Liat muka nya, udah nunjukin aura monster.

"Oh ya? Lo yakin tulus sama dia atau cuman karna tujuan tertentu?!"

Sial.

Bisa banget dia baca jalan pikir orang lain dengan mudah.

"Urusannya sama lo?"

"Bangsat! Berani-beraninya lo manfaatin cewek gue!" tepat saat Adhitya berteriak, saat itu juga dia hendak meninju gue. Kalau bukan karena Nova—sahabatnya, yang mencegah itu mungkin muka ganteng gue kotor kena tangan Adhitya tai ini.

            Nova melerai dan menyuruh untuk memulai pertandingan ini secepatnya. Pertandingan tanpa taruhan apa pun seperti biasa. Pertandingan tanpa uang. Pertandingan tanpa taruhan minuman. Pertandingan kali ini hanya bisa terjadi karena seorang cewek yang kini jadi kekasih gue. Evelyn, kenapa lo harus ikut masuk ke dalam ke hidupan gue belakangan ini?!

"ANJING!" marah si kampret.

Dengan bangga gue melepas helm fullface ini dan duduk santai di atas motor. Gue menang, untuk ke sekian kalinya. Adhitya menghampiri gue dan mendorong bahu gue keras, untungnya tubuh gue cukup seimbang.

"Kenapa? Nggak terima?" tanya gue penuh dengan tatapan meledek.

"Jauhin Evelyn. Gue minta satu hal itu sama lo,"

Lagi-lagi gue berdecih sambil terkekeh, "Gue udah bilang lo selalu di bawah gue. Soal Evelyn, dia urusan gue mulai sekarang. Lo. Cuman. Mantan."

"Cabut guys. Pengap banget kumpul sama orang lemah!"

oOo

Evelyn

14 Juli 2020

            Kemarin, sehari setelah gue jadian, Chintya juga jadian. Rangga mengajak sahabat gue itu untuk berpacaran dengan sangat amat romantis. Keliatan banget bedanya dari Dipta. Bahkan cara Rangga perlakuin Chintya memang selayaknya pacar, nggak seperti gue status pacaran tapi suka nggak di anggap ada.

Biasanya pagi hari kalau punya pacar pasti akan mendapat kata-kata penyemangat dari pacarnya. Sesimpel 'Selamat pagi, sayang' atau 'Semangat hari ini ya, tunggu aku jemput'—harusnya sih begitu. Tapi gue nggak mendapatkan hal sesimpel itu. Jangankan kata-kata penyemangat di pagi hari, gue aja tanya kabar Dipta dari dua hari yang lalu tapi nggak ada satu pun yang di balas.

Kayaknya untuk sekedar buka room chat gue, Dipta malas. Tapi walaupun begitu dia tetap ke rumah gue pagi-pagi untuk berangkat bareng. Cuek di chat tapi bertingkah normal seolah-olah tidak terjadi apa-apa di real life. Alih-alih mendapat kalimat penyemangat yang buat gigi gue kering karena nyengir, Dipta malah mengirimkan pesan singkat. 'Berangkat sendiri. Gw ada urusan.'. Tanpa gue tau apa urusannya dan tanpa niat Dipta memberi tau gue.

"Baru juga sampe, belum mulai jam olahraga. Kok lo udah keringetan aja?" tanya Rama heran. Chintya yang awalnya lagi lipat bajunya kini menoleh ke arah gue.

PathwayWhere stories live. Discover now