Telat dan Sadar

274 22 0
                                    

12

Dipta

            Rama Adiguna. Dia datang ke rumah gue di saat tiga sahabat gue udah di sini sejam yang lalu. Gue pikir dia bakal nggak mau ikut kumpul lagi setelah kejadian yang menimpa sahabatnya, tapi dia tetap datang. Bukan untuk menghibur pikiran gue yang kacau, tapi untuk menanyakan penjelasan yang sebenarnya.

"Lo....bangsat!"

Cuman itu, cuman itu yang Rama lontarkan setelah gue menceritakan semuanya tanpa ada yang tertinggal. Gue udah siap kalau sahabat gue ini memukul gue, tapi Rama nggak melakukan itu.

"Kenapa sih lo tetap pertahanin hubungan ini bahkan setelah Chintya kecewain lo dua kali? Lo bisa aja putusin Evelyn saat itu juga dan nggak nyakitin sahabat gue lebih lama!"

Gue bisa merasakan ke kecewaan Rama sekali pun ini pertama kalinya dia marah kayak gini setelah 5 tahun kami berdua sahabatan. Jawaban gue masih sama, gue nggak tau.

Kalau kemarin gue punya banyak alasan untuk pertahanin Evelyn, sekarang gue bisa bilang kalau cuman satu alasan yang gue punya. Gue memang nggak mau kehilangan dia, itu aja.

Dua kali. Udah dua kali Evelyn berusaha putusin gue dan beberapa kali dia menanyakan 'Gue ini pacar lo bukan sih?". Dua kali juga hati gue sakit saat mendengarnya. Dua kali gue mempertahankannya di saat gue masih suka kasar pada nya.

Dan sekarang, Evelyn pergi.

Tanpa bisa gue pertahankan lagi.

"Evelyn pasti sakit hati banget ya sama gue, Ram? Dia cerita apa aja ke lo?" lirih gue penuh penyesalan. Pikiran gue hanya penuh dengan Evelyn sekarang. Dan memang belakangan ini cuman Evelyn yang menuh-menuhin pikiran gue, bukan orang lain apalagi Chintya.

"Banget. Dia meluk gue berjam-jam cuman nangis sambil bilang 'Gue kecewa banget, Ram'. Lo bisa bayangin lah ya dia sehancur apa pas tau cowok yang dia cinta ternyata terpaksa buat cinta sama dia karena di suruh sama sahabatnya sendiri,"

Lagi-lagi ada cowok lain yang bisa di andalkan oleh Evelyn. Ada orang lain yang bisa di percaya sama Evelyn, bukan gue saja. Mendengar dia memeluk Rama dan menangis sejadi-jadinya di pelukan itu buat suasana hati gue mulai berantakan. Karena Evelyn harusnya bisa menggunakan gue sebagai tempatnya berkeluh kesah. Nyatanya gue penyebab dia menangis kayak gitu.

"Kalau gue marahin lo karena lo nggak nurut sama omongan gue di awal kayaknya nggak guna deh," tutur Yoga sambil menghela nafas. Sahabat gue satunya lagi, Kevin—gudangnya saran dan nasehat mendekat ke samping gue. Dia menepuk bahu gue.

"Dari awal lo nggak pernah cinta sama Evelyn kan?" gue terdiam. Nggak tau harus jawab apa. "Terus kenapa lo semenyesal ini? Bukannya perasaan Evelyn nggak penting?"

Gue menepis kasar tangan Kevin. Bisa-bisanya dia bilang kalau perasaan Evelyn nggak penting. "Jaga omongan lo. Evelyn sakit hati dan itu karena gue, jelas aja perasaannya penting buat gue, Vin!"

Kevin malah terkekeh sarkastik, "Dari awal lo kasarin dia cuman karena khawatir sama kesehatannya udah buat Ivy sakit hati, Dip. Apa lo peduli saat itu? Nggak kan?"

Gue diam. Lagi-lagi dibungkam sama kalimat sahabat gue sendiri. Kini Yoga ikut-ikutan mendekat  ke gue, tanda kalau nasehat lain yang akan gue terima sekarang.

"Ngaku deh, udah mulai cinta kan lo sama Ivy?"

Hah? Apa dia bilang?

"Nggak mungkin lo peduli sama kesehatannya sampe bela-belain buat proposal baru cuman biar Prinska jadi model majalah dan bukan Evelyn biar cewek lo nggak kecapekan nantinya,"

PathwayWhere stories live. Discover now