Be mine again.

92 11 0
                                    

25

Dipta

"Gue cuman mau di bawain majalah sekolah Tunas Bangsa tahun ini. Kalau lo nggak bawa itu, gue nggak terima kata maaf lo,"

Aneh, itu yang gue rasain. Dari banyaknya hal yang mungkin Adhitya bisa minta pada gue—dia malah minta majalah sekolah yang baru release lima hari lagi. Iya, sekarang ini gue lagi telepon dia karena hari ini gue berniat bolos sekolah untuk menjenguknya. Menjenguk mantan rival gue. Kurang ajar rasanya menyebut Adhitya sebagai musuh gue lagi di saat dia berusaha menurunkan egonya dan mengajak gue untuk bersahabat dengannya. Kenapa gue memilih bolos dari pada jenguk pas pulang sekolah? Karena gue tau pulang sekolah nanti Evelyn akan mengunjungi Adhitya juga. Gue meminta tolong Rama untuk jadi informan gue tentang keadaan Evelyn dan dia juga sebagai jasa titip makanan yang gue berikan ke Evelyn hari ini.

Untuk saat ini soal Evelyn yang masih menjauhi gue karna salah paham—gue berusaha untuk nggak memikirkannya dulu. Entah kenapa gue merasa yakin kalau ke salah pahaman ini bisa gue atasi dengan cepat. Sekarang gue fokus pada Adhitya dulu. Fokus sama teman gue yang kini berbaring di jangkarnya, di hadapan gue sendiri.

"Yaudah, kalau gitu mama keluar dulu ya. Nggak enak ganggu waktu kalian berdua!" tutur wanita paruh baya yang duduk di sofa sambil berkutat serius sama laptopnya. Sesuai dugaan gue, itu mama Adhitya.

"Lo udah makan belum? Gue nggak ada makanan sih, tapi kalau lo mau buah ambil aja di kulkas itu!" cerocos Adhitya di saat gue baru aja sampai.

Gue masih nggak percaya dengan keadaan sekarang. Keadaan dimana Adhitya menelepon gue tadi pagi bukan untuk mengajak adu balap, adu tinju dan lain sebagainya layaknya kami bertarung ego dulu. Keadaan dimana Adhitya yang menelepon gue pagi-pagi hanya untuk menyuruh gue hati-hati di jalan karena di dekat rumah sakit ada proyek dan udah ada dua orang yang celaka di sana.

Keadaan dimana Adhitya benar-benar menatap gue layaknya sahabat dan bukan saingannya lagi, bukan musuh yang sama-sama punya ego tinggi seperti dirinya sendiri.
Keadaan dimana gue sangat amat merasa bersalah karena keadaan ini terjadi disebabkan oleh diri gue sendiri. Karena Adhitya menyelamatkan gue.

"Majalahnya mana?" tanya nya nggak sabaran, ternyata masih lumayan ngeselin juga nih orang. Gue segera mengambil majalah yang gue dapat lebih awal—hasil mohon-mohon ke tukang cetaknya supaya di kasi ambil satu biji aja.

"Lo aneh, orang-orang kalau sakit minta di bawain makanan ini malah majalah!"

Awalnya gue nggak pernah tau apa alasannya meminta majalah sekolah ini dengan ngotot di saat Adhitya bisa menunggu lima hari lagi. Melihat dia yang sekarang tersenyum sambil mengusap-usap dengan tatapan haru lembar per lembar di majalah itu, gue kayaknya tau alasannya. Evelyn. Adhitya selalu menunjukkan tatapan harunya dan tersenyum senang di tambah mengusap-usap lembar majalah tepat di halaman yang berisi Evelyn.

"Lo kenapa natap Evelyn gitu?" tanya gue santai. Nggak emosi sama sekali.

"Kagum aja karna dia bisa sehebat ini," nada bicaranya bener-bener menunjukkan kalau Adhitya itu bangga. Anehnya lagi adalah gue nggak merasa marah sama sekali melihat cowok lain menatap cewek gue seperti ini.

"Maksa banget supaya gue bawain sekarang padahal tinggal tunggu lima hari lagi!" celetuk gue sambil terkekeh, berusaha mencairkan suasana.

"Ya siapa tau gue nggak ada pas pembagian majalahnya," jawabnya enteng tapi mampu buat gue terdiam sebentar. Terdiam karena merasa ada yang janggal dari jawabannya.

Banyak hal yang gue omongin sama Adhitya di ruangan ini. Banyak hal seperti masa SMP kami dulu yang apa-apa bersaing dan nggak mau kalah. Bahkan untuk pakai kaos kaki baru aja gue dan Adhitya saling bersaing. Obrolan ini yang buat kami berdua tertawa karena sikap bocah yang kebawa sampai SMA—baru sadarnya sekarang pula. Dari rumah gue udah ingin mempertanyakan satu hal sama cowok yang di depan gue ini, pertanyaan yang buat tawa kami berdua lenyap dalam hitungan detik.

PathwayWhere stories live. Discover now