Janji, Dhit?

88 8 0
                                    

24

Evelyn

Nggak ada hal lain yang gue bisa lakukan selain menumpu tundukan kepala gue dengan tangan sambil berdoa sebanyak yang gue bisa. Berdoa untuk keselamatan Adhitya yang kini langsung masuk ICU karena kata dokter keadaannya cukup parah dan perlu di operasi.

"DIPTA, AWAS TRUK!" gue menoleh dengan panik saat mendengar Adhitya berteriak seperti itu, tapi nggak pernah gue bayangkan kalau yang gue lihat justru tubuh Adhitya yang terpental hebat karena tubrukan truk yang dia was-wasin sendiri. Mata gue pertama kali melihat Dipta yang sudah terjatu ke tepi jalan, gue pikir nggak akan ada hal buruk yang terjadi. Gue pikir Adhitya nggak menjadi korban karena menyelamatkan Dipta dari truk besar itu.

Tante Angel—mama ya Adhitya, dengan keberanian penuh gue menelepon beliau menggunakan ponsel Adhitya sendiri. Dengan keberanian penuh gue menjelaskan kalimat per kalimat tentang keadaan Adhitya sekarang. Dengan keberanian penuh gue mendongak dan menatap Tante Angel yang kini sudah ada di hadapan gue bersama suaminya—Om Tama dan beberapa bodyguard di belakangnya. Gue pikir setelah melihat gue, Tante Angel akan marah karena anaknya jadi seperti ini akibat emosi gue sendiri. Tapi ternyata....Tante Angel justru memeluk gue. Beliau mengingat gue sebagai mantan anak tunggalnya.

"It's okay, Evelyn. Tante yakin Adhitya nggak apa-apa jadi kamu nggak usah nangis ya. Kita tunggu hasil dari dokter aja ya, sayang?" tuturnya saat pelukan ini terlepas.

"Adhitya jadi kayak gini karena aku, Tan. Dia nyelamatin teman aku yang kejar aku waktu nyebrang," lirih gue sambil terisak dalam tangisan. Nggak peduli bagaimana tatapan Dipta kepada gue sekarang, yang gue lakukan hanya menangis sambil menatap Tante Angel.

"Nggak apa-apa, Ivy. Sekarang mending kita berdoa bareng untuk Adhitya, ya?" kini Om Tama menimpa sambil menepuk bahu gue. Mereka memang baik, kalau masalah hubungan gue dan Adhitya bukan perselingkuhan mungkin gue masih bisa jadi pacarnya lagi. Tapi sayang, hati gue udah ada Dipta di dalamnya walaupun gue tau di hati Dipta belum tentu ada gue.

"Lin....." panggil Dipta di saat orang tua Adhitya lagi pergi berdoa, meninggalkan gue dan Dipta berdua di koridor ini. Gue mendongak ke sumber suara dengan sinis, sangat sinis.

"Lo pulang dulu, ya? Gue aja yang temenin Adhitya di sini, ganti baju lo banyak darah soalnya. Gue telponin Rama buat jemput, ya?" bisa-bisanya dia masih berlagak sok manis di saat gue udah tau niatnya yang sebenarnya pada gue? Cih.

"Mending lo aja yang pulang. Gue mau tetap di sini dan gue nggak mau liat lo di sini!" tegas gue sambil meliriknya penuh kebencian.

"Lin. Yang tadi lo denger cuman sedikit, nggak gitu maksud gue," Dipta mencoba menjelaskan, dia masih mencoba meyakini gue di saat gue udah tau semuanya.

"Pulang, Dip."

"Lin..."

"Pulang!"

"Nggak mau sebelum lo dengerin gue dulu,"

Gue terdiam. Berani juga dia merasa harus di mengerti di sini. Gue mengangguk sarkastik, "Lo nggak mau pulang, kan?" Dipta mengangguk tanpa keraguan. Lagi-lagi gue berdecih lalu pergi meninggalkannya di koridor ini penuh kebingungan. Butuh beberapa menit sampai akhirnya gue kembali menghampiri Dipta yang terlihat menunggu kedatangan gue, tanpa dia duga kalau kini gue kembali dengan membawa salah satu bodyguardnya orang tua Adhitya.

"Ini, Pak. Pengganggu nya!" iya, katakan lah gue jahat karna mengadukan Dipta pada bodyguard ini dan menfitnahnya dengan mengatakan kalau Dipta mengganggu ketenangan gue dari tadi. Dipta menatap gue kaget, mungkin nggak menyangka karena gue bertindak ke kanak-kanakan begini.

PathwayМесто, где живут истории. Откройте их для себя