Kuat Evelyn

95 8 4
                                    

33

Dipta

            Setelah kejadian di lapangan dan di toilet, gue memutuskan untuk lebih baik berdiam di ruang OSIS sambil menunggu tukang copot tenda datang. Memutuskan berdiam di ruang penuh berkas ini sambil berkutit dengan pikiran gue sendiri. Sambil merenungkan kapan Evelyn akan menerima gue lagi sebagai miliknya. Kapan Evelyn kembali ke gue lagi karena gue nggak bisa semakin lama lagi untuk mengatakan kata-kata kasar pada gadis yang gue cinta itu.

Pasti kata-kata aku nyakitin banget di hati kamu ya, Lin.

Sekali pun Evelyn menyakiti hati gue karena telah berselingkuh, berat rasanya harus menyakitinya juga dengan kalimat-kalimat menyakitkan dari mulut gue sendiri.

"Tukang tenda nya udah dateng, Dip. Ayo keluar!" suruhan Bu Rima yang tiba-tiba ada di dalam ruang OSIS buat lamunan gue buyar dan segera beranjak pergi ke lapangan.

Gue mengambil uang di dompet dan membayarnya ke tukang tenda. Iya, ini pakai uang gue dan bukan dana OSIS. Karena tenda ini untuk keperluan gue dan bukan OSIS.

Menyewa tenda untuk satu jam tentu buat Bu Rima nggak setuju, di tambah saat tau kalau tenda ini khusus tempat baris para tutor olimpiade aja dan bukan sang juara apalagi untuk guru-guru. Itu semua usulan gue, usulan yang buat banyak anggota OSIS menggeleng bingung kenapa gue terkesan membuang-buang uang hanya untuk memasang tenda yang di khususkan untuk di barisan para tutor.

Baik Bu Rima maupun anggota OSIS yang lain nggak perlu tau kalau gue menyewa tenda ini supaya Evelyn nggak kepanasan saat upacara nanti. Sekali pun gue harus meminta persetujuan Bu Rima berkali-kali, sekali pun gue harus berbicara langsung kepada kepala sekolah untuk ijin pemasangan tenda, sekali pun semua anggota OSIS lainnya kesal karena usulan gue yang nggak jelas alasannya apa—gue tetap diam dan nggak memberi tau bahwa alasan gue menyewa tenda ini hanya untuk Evelyn yang wajib mengikuti upacara. Supaya Evelyn nggak kepanasan, supaya Evelyn nggak merasa pusing, supaya Evelyn nggak pingsan di lapangan dan supaya gue bisa menatap Evelyn selama satu jam ke depan saat upacara.

            Ada rasa senang di hati gue—pastinya, saat melihat Evelyn yang bisa mengikuti upacara bendera tanpa halangan apa pun. Tanpa merasa kepanasan sedikit pun. Sebenarnya di tempat Evelyn berbaris itu, dia tetap ke sorot matahari tapi nggak too much. Gue baru bisa bernafas lega saat Evelyn bisa mengikuti upacara bahkan sesi foto tanpa keluhan sedikit pun. Ada rasa perih sedikit juga saat mendengar adik kelas yang dengan kerasnya mengatakan soal hubungan Evelyn dengan Rama di depan Bu Rima, bahkan di depan beberapa murid lainnya. Dan, ada sedikit rasa kesal yang kini gue rasain saat melihat Evelyn bermain basket di lapangan indoor, di jam pulang sekolah dengan seragam yang udah sangat amat basah karena keringatnya. Kenapa Rama biarin ceweknya yang udah jelas punya anemia akut main basket di pulang sekolah sampai langit yang udah mulai menggelap gini?!

Kenapa gue bisa ada di lapangan basket ini juga? Karena si kampret Prinska itu menyuruh gue untuk mengembalikan podium—yang tepat nya memang di ruang pojok lapangan indoor. Sebelumnya gue ingin maki-maki Prinska karena nggak membiarkan gue pulang setelah rapat OSIS yang berlangsung lama tadi, tapi niat gue untuk itu secepat kilat hilang. Malah gue ingin mengucapkan terimakasih sama Prinska sekarang. Entah apa yang terjadi sama Evelyn sampai dia sangat amat fokus bermain basket sendiri tanpa menyadari kehadiran gue di sini.

Entah apa yang terjadi sama Evelyn sekarang sampai dia memukul bola lebih kencang dan melempar bola lebih kasar dari biasanya. Apa pun itu, gue tau kalau Evelyn lagi nggak baik-baik aja. Apa mungkin karena kata-kata kasar gue tadi, ya?

"Balikin." Ketus Evelyn saat gue berhasil menangkap bola basket yang meleset dari ring hasil lemparannya.

"Pulang. Cara lo nafas udah nunjukkin kalau lo lagi capek banget." ujar gue nggak kalah ketus. Nggak bisa, gue nggak bisa untuk tetap bersikap kasar tanpa peduli sedikit pun kepada Evelyn. Melihatnya dengan tatapan lelah, nafas yang berhembus pendek dan keringat bercucuran dimana-mana, buat gue nggak bisa membiarkannya gitu aja.

PathwayWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu