Udah Telat?

238 16 0
                                    

13

Evelyn

Salah satu dampak kalau lo lagi sakit hati adalah lo akan menangis tanpa mengenal tempat, waktu dan kondisi. Gue masih bisa meneteskan air mata selama perjalanan dengan earphone yang memutar lagu Taylor Swift—padahal bukan lagu yang galau. Gue masih bisa bergelinang air mata saat baru aja sampai di Bukit Waterfall padahal lagi mengenakan pakaian untuk lookbook pertama. Kalau gue masih nggak bisa kontrol diri, mungkin pas make up sekarang gue bakal nangis kenceng.

"Kulit kamu sehat banget ya. Make up jadi natural nih keren!" puji Kak Nadya—anggota tim sie perlengkapan, merangkap menjadi MUA nya juga. Gue tersenyum, "Makasih loh kak, hihi," berusaha sekeras mungkin untuk tetap ceria.

"Kamu lagi ada masalah ya?"

Entah siapa Kak Nadya ini, gue nggak pernah tau sebelumnya. Tapi dengan pertanyaannya tadi buat gue bisa menyimpulkan kalau dia adalah orang yang peka.

"Nggak kok. Kenapa, kak? Mata aku sembab ya?"

Kak Nadya terkekeh, "Iya. Pasti kamu nangisnya lama ya makannya jadi sembab gini?" tanya nya lagi sambil sibuk dengan aktivitasnya dia merias wajah gue.

"Hehe, iya. Nonton film kemarin jadi ya gini deh,"

"Oh yaampun. Untung aku bisa akalin pakai eyeshadow, kalau nggak mungkin hasil fotonya agak kurang nanti,"

Gue nggak tau harus bereaksi apa. Mendadak merasa nggak enakan seketika. Untung aja Kak Nadya tipikal kakak kelas yang baik, bukan yang hobi bicara busuk di belakang.

"Done! Kamu bisa langsung ke luar ya, udah di tunggu sama semua di sana,"

Inhale, exhale. Lo bisa Evelyn. Pasti!

"Oh my God! Who's bestfriend is this?!" teriak Rama dengan gaya hebohnya buat gue otomatis tertawa, "Cantik banget sih lo. Gue jadi takut naksir sama sahabat sendiri nih!"

Tim dokumentasi, panitia yang hadir bahkan sampai tim yang nyiapin properti foto mendadak menoleh ke arah gue dan Rama. Tangan gue langsung mencubit lengan sahabat gue ini, menunjukkan kalau gue malu sambil tertawa kecil.

"Aw sakit!"

"Makannya jangan berisik deh,"

Rama mencolek hidung gue, "Ya siapa suruh cakep?"

Sial, baru kali ini gue semalu sekarang. Lagi-lagi gue hanya mampu mencubit-cubit Rama dengan tawa kecil yang tak kunjung berhenti.

"Model tolong di percepat ke set ya," sampai akhirnya perintah Dipta ini buat tawa gue terhenti. Dipta dengan nggak tau malunya menghampiri gue dan Rama, berbicara formal seolah-olah nggak ada yang terjadi sebelumnya. Gue benci melihatnya sok profesional saat ini dan baik-baik aja di saat gue mati-matian menahan tangis.

"Lo juga, Ram. Gue suruh ambil kursi malah bercanda di sini!" omelan terakhir yang gue dengar dari mulutnya sebelum gue pergi menuju ke set yang sudah di siapkan.

Gimana bisa lo sejahat ini sih Dip?

Gimana bisa lo kelihatan baik-baik aja tanpa rasa bersalah di depan gue yang baru aja lo buat sakit hati?


Dipta

"Nah ini modelnya akhirnya datang!" seruan Bu Rima buat gue yang setengah panik langsung menoleh ke sumber suara, kemudian menatap Evelyn yang berdiri di depan Bu Rima. Cewek gue itu membawa ransel dan satu paperbag, entah kenapa gue merasa ada yang beda dari Evelyn saat ini.

Warna rambutnya masih sama, dark brown. Warna asli rambutnya memang begitu makannya nggak pernah ada guru yang menyidak. Terus apa yang buat beda ya? Semakin intens menatapnya, semakin ketara dimana letak perbedaan itu. Matanya.

Pathwayजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें