Flashback

583 27 0
                                    


Siapa yang tidak mengenal Paul Zulkarnain. Putra semata wayang Mak Nur yang ketampanannya terkenal seluruh kampung. Ayah Paul-Ahmad Zulkarnain- adalah seorang ustadz terpandang di kampung. Tapi karena sebuah penyakit yang diderita, beliau wafat saat Paul masih duduk di bangku Aliyah. Lelaki berkacamata itu menjadi kumbang kampung, bahkan sudah ada beberapa orang tua yang datang melamar untuk putrinya. Tapi dengan ketetapan hati Paul menolak mereka semua. Mak Nur khawatir dengan sikap putranya yang tak acuh dan masa bodo, tapi wanita itu tidak bisa berbuat banyak, pernikahan dan kebahagiaan Paul, biar dia yang menentukan. Siapa pun wanita yang menjadi pilihannya akan ia terima dengan tangan terbuka.

"Mak, Abang mau nikah!" seru Paul suatu hari, sepulang dari bengkel. Mak Nur menyentuh kening anaknya, ia khawatir jika Paul demam. Segera Paul melepaskan sentuhan sang Mak dari keningnya.

"Abang, sehat?" Mak Nur meletakkan sayuran yang selesai dipotong di atas meja, ia lalu meraih bawang, juga bumbu lainnya yang akan dipakai memasak.

"Abang sehat, Mak. Abang jatuh cinta!" seru Paul lagi. Ia memeluk tubuh kurus Mak Nur dari belakang, "restui Abang ya, Mak. Siapa pun wanita yang akan menjadi menantu, Mak. Abang pastikan dia gadis baik juga Solehah." Suara Paul menggema di telinga Mak Nur.

Mak Nur melepaskan tangan Paul yang melingkar di pinggangnya, ia lalu menarik kursi kayu dan duduk. Lelaki itu pun melakukan hal yang sama, duduk menghadap sang Mak.

“Siapa gadis itu?” Tatapan Mak Nur tajam ke arah Paul. Lelaki itu pun sama menatap wajah wanita tua kesayangannya.

“Namanya Laila. Kata orang di bengkel, dia putri tunggal seorang pensiunan dan kini mengajar ngaji setiap hari ahad yang tinggal di sudut kampung sana. Mereka pindahan dari Jawa, dan Laila mengajar di sekolah ibtidaiyah Islamiyyah.” Paul menjabarkan biodata Laila yang ia ketahui dari orang-orang tempatnya nongkrong.

“Abang yakin?”
Lelaki berkacamata mengangguk pasti. Selama ini meski banyak para orang tua yang ingin memintanya menjadi pendamping putrinya yang bahkan kecantikannya nyaris mirip artis, ditolaknya. Hanya karena alasan masih ada lelaki yang lebih baik darinya. Tanpa bisa berbuat apa-apa, para orang tua itu pun pulang dengan tangan hampa karena lamarannya ditolak.

“Kalo itu keputusan Abang, ta’aruf dengannya. Mantapkan hati Abang. Jangan sampai salah melangkah. Mak akan selalu mendukung semua keputusan, dan akan mendoakan yang terbaik untuk Abang.” Mak Nur berdiri, dan mulai meracik masakan untuk makan malam.

**

Berbantal lengan Paul berbaring menatap langit-langit kamar, wajah bulat Laila terbayang di sana.
“Laila ... bagaimana pun caranya, aku harus dapatkan restu bapakmu.” Kedua mata Paul terpejam. Senyum tersungging di sana, saat gadis itu hadir dalam mimpinya.

**

“Abi ... aku berangkat ngajar dulu, ya.” Laila merapikan buku-buku yang akan digunakan untuk mengajar, lalu memasukkan ke dalam ranselnya.
“Ya udah. Hati-hati.” Abi Anwar mengulurkan tangannya, dan disambut Laila yang mengecupnya ta’zim.

Laila tampak anggun mengenakan gamis merah, ia keluar dari dalam rumah dan memanaskan motor kesayangannya yang berada di teras. Bola mata gadis itu terpaku saat sebuah motor gede dengan suara knalpotnya yang bising berhenti di depan rumah.

Paul yang mengenakan celana jeans hitam, juga kaus merah turun dari motor. Lelaki itu lalu melepaskan helm dan menggantungnya di stang. Lelaki bertubuh kurus itu tersenyum pada Laila yang berdiri mematung di samping motornya.

“Assalamualaikum,” ucap Paul. Segera dijawab Laila. Gadis itu tampak gugup dengan kehadiran seorang lelaki sepagi ini di rumahnya.

“Cari siapa?” tanya Laila. Biasanya, jika ada yang bertamu, sudah pasti mencari Abi.
“Cari kamu!”

Wajah Laila tampak bingung, baru kali ini ada seorang lelaki yang berani datang bertamu dan mencari dirinya. Bahkan ini kali pertama Laila melihat Paul.

“Tapi, maaf. Saya nggak kenal sama kamu.” Laila mengangkat handle penyangga motor dengan kakinya dan membawa kendaraan itu ke halaman. Paul mengikuti gadis itu dari belakang.

“Makanya saya datang ke sini mau kenalan. Nama saya, Paul Zulkarnain.” Lelaki yang memiliki tinggi badan 175 cm itu mengulurkan tangan.

“Laila ....” Gadis itu menganggukkan kepalanya, tanpa menyambut uluran tangan lelaki di hadapannya.

“Siapa yang datang?” Abi Anwar muncul dari dalam rumah, matanya menyipit kala mendapati putri semata wayangnya sedang mengobrol berdua dengan seorang lelaki. Lelaki paruh baya itu mendekati di mana Laila dan Paul berdiri.

“Nama saya, Paul, Abi.” Lelaki berkacamata itu menyalami Abi Anwar. Wajah lelaki paruh baya itu masih diselimuti kebingungan.

“Abi, Laila berangkat dulu. Udah telat. Assalamu’alaikum.” Laila meninggalkan Abi dan Paul berdua. Paul tersenyum ramah kala Abi mempersilakan dirinya masuk ke dalam.

“Boleh Abi minta penjelasan perihal kedatanganmu ke sini?” Abi Anwar membuka percakapan. Paul menggosokkan kedua tangannya yang terasa dingin. Udara pagi ini membuatnya menggigil, ditambah harus menghadapi situasi seperti ini.

“Maaf sebelumnya, Abi. Jika diizinkan, saya ingin ta’aruf dengan Laila. Putri Abi.” Dengan lantang Paul mengucapkan. Hati-hati lelaki itu menatap ke arah lawan bicaranya, tampak Abi memejamkan matanya, seolah sedang berpikir kalimat yang baru saja didengarnya.

“Kenal dengan Laila di mana?”

“Saya belum kenal lama dengan Putri Abi. Ini adalah pertama kalinya saya berkenalan dengan Laila.”

“Bisa seyakin itu ingin ta’aruf dengan Putri Abi?”

“Saya yakin akan adanya jatuh cinta pada pandangan pertama, dan saya mengalami itu sekarang. Sudi kiranya Abi mengizinkan saya untuk ta’aruf dengan Laila.” Paul merasakan debaran hebat di dadanya, ia sendiri tak habis pikir, bahwa akan dengan lantangnya meminta restu walau sekadar ta’aruf kepada orang tua gadis idamannya.

“Jika niatmu baik, semoga Allah memberikan jalan yang terbaik. Abi mengizinkan bagi siapa pun yang ingin ta’aruf. Selama itu tidak menghadirkan banyak mudharat, Abi persilakan.” Lelaki paruh baya yang senang mengenakan sarung itu pun tersenyum. Debaran yang menggema di hati Paul berubah hangat. Ia merasakan bahwa niat baiknya telah bersambut.

“Terima kasih, Abi. Saya mohon pamit. Semoga Laila Putri Abi, segera menjadi jodoh halal saya.” Paul berdiri dan mencium punggung tangan Abi Anwar, ia sungguh tidak sungkan mengatakan keinginannya segera meminang Laila. Lelaki itu pun berlalu dari rumah Laila. Sepanjang jalan menuju kedai tempatnya bekerja, senyum terkembang di wajah Paul. Lelaki itu membayangkan bagaimana caranya mencuri hati gadis pujaannya.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now