Rendah Diri

167 11 1
                                    


Paul memijat kepalanya yang terasa nyeri. Perlahan ia membuka matanya, pandangannya melihat sekeliling. Ia sudah berada di kamar, terbaring di sana. Di sebelah kiri tampak Laila duduk di ranjang dengan punggung diganjal bantal tengah memejamkan mata.

"Sayang," ucap Paul. Tangannya meraih tangan Laila yang berada di paha. Perlahan Laila membuka matanya dan menoleh ke arah Paul yang perlahan menggerakkan kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuan Laila.

"Kok abang bisa ada di sini? Perasaan tadi mau taro buah ke dapur?" tanya Paul, sedikit heran.

"Ya Allah ... Abang udah sadar?" Air mata Laila mengalir deras, Laila menatap Paul dengan pandangan penuh kecemasan. Lelaki berkacamata itu turut menangis dan semakin menenggelamkan wajahnya ke pangkuan sang istri.

"Tadi Abang pingsan, Abi dan bibi yang gotong Abang. Kita ke dokter ya, Bang. Wajah Abang pucat. Abang sakit apa?" Laila mencecar berbagai pertanyaan, ia tak sabar dengan keadaan yang menimpa suaminya tercinta. Paul semakin menangis sesenggukan, ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Laila.

"Nggak apa-apa. Abang cuma kecapean aja, Sayang." Paul berbohong. Ia mengangkat wajahnya dan duduk menghadap Laila. Mengusap air mata Laila, juga air matanya yang masih tersisa di pipi.

"Ya Allah. Laila khawatir. Bibi juga Abi cemas sama abang. Laila keluar dulu. Kasih tau bibi sama Abi kalo Abang sudah sadar."

Laila mengusap lembut lengan Paul, dan turun dari kasur.

"Laila ...."

Paul ikut turun dari ranjang, lalu memeluk Laila yang hendak membuka pintu kamar.

"Abang kenapa? Hari ini betah banget peluk Laila?"

"Nggak apa-apa. Abang kangen Laila. Sangat kangen!" seru Paul. Tak henti-hentinya ia menghujani pucuk kepala Laila dengan ciuman. Wanita itu membiarkan suaminya melakukan apa pun yang diinginkannya. Meski dalam hatinya timbul pertanyaan, tentang sikap Paul yang mendadak lebih romantis dan lebih protektif.

"Makan, yuk. Abang lapar," ajak Paul dan keluar dari dalam kamar.

Abi dan bibi sedang duduk di meja makan. Keduanya menatap cemas saat Paul berada di dapur.

"Abang kenapa? Bagaimana keadaannya? Masih pusing? Biar bibi aja bawain makanan ke kamar?" Bibi bangkit dari duduknya dan menarik lengan Paul hendak menyuruhnya kembali ke dalam kamar.

"Abang udah baikan, Bi. Mau makan bareng di sini. Nggak apa-apa."

Bibi pun menarik kursi dan menyuruh Paul duduk. Laila meraih piring lalu mengisinya dengan nasi dan lauk. Diberikannya pada Abi, lalu Paul. Makan malam berlangsung nikmat, Abi bertanya soal usaha Paul. Dan juga kondisi kehamilan Laila.

"Alhamdulillah, Bi. Laila udah nggak ngerasa mual. Abang belikan vitamin yang bagus dan udah nggak ngerasa mual lagi, " jelas Laila pada Abi dan bibi yang nampak khawatir dengan kondisi kehamilan yang semula mabok parah.

"Sayang, buah yang tadi dibeli masih ada? Abang pengen makan rujak habis makan!" seru Paul. Abi, bibi dan Laila menatap heran.

"Ini ceritanya ngidamnya gantian?" tanya bibi sembari tertawa.

"Emang ngidam bisa gantian, Bi?" tanya Paul.

"Bisa."

"Masih ada kan buahnya? Eh sambalnya ada, kan?" tanya Paul.

"Ada. Nanti bibi siapkan."

Mereka pun melanjutkan makan, lalu setelahnya duduk berkumpul di ruang tamu dengan sepiring mangga muda plus sambal rujak. Paul dengan lahap makan mangga plus sambalnya. Laila menatap heran pada sang suami, begitu pun Abi juga bibi.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now