Paul Mabuk

275 20 2
                                    


Paul melajukan kendaraannya kembali ke kedai. Dengan perasaan yang berkecamuk ia meninggalkan Laila di rumah. Lelaki berkacamata itu berusaha untuk tenang, dan berusaha agar tidak membuat Laila sedih yang justru akan berakibat fatal.

Dari jauh tampak Ridwan sedang melayani pembeli yang berbelanja. Paul langsung masuk ke dalam dan menyandarkan punggungnya di kursi. Tangan kirinya memijat kening yang ia rasakan sangat pusing.

“Kenapa, Bang? Sakit?” tanya Ridwan yang sudah berdiri di sebelah Paul.

“Sedikit, Wan.” Hening sejenak, Ridwan tak tahu harus bicara apa.

“Oya, Wan. Saya mau minta tolong, boleh?” tanya Paul.

“Tolong apa, Bang?”

“Belikan saya rokok. Yang biasa!”

Ridwan mengerutkan keningnya, wajahnya menatap heran pada Paul. Dulu lelaki berkacamata itu memang perokok, tidak banyak memang. Hanya sesekali saja. Tapi sejak ia menikah dan setelah ia akan menjadi seorang ayah, Paul menghentikan kebiasaan itu. Jadi aneh saja jika Paul ingin kembali merokok. Bisa dipastikan jika ia sedang mengalami hal yang berat, jika tidak, Paul tidak akan meminta hal itu.

“Bisa, Wan?” tanya Paul. Karena ia melihat lelaki bertubuh tambun itu hanya diam.

“Bisa, Bang.”

Paul menyerahkan uang lima puluh ribu pada Ridwan. Lelaki itu pun keluar kedai, menuju warung yang terletak di sebelah warung soto milik Naurak. Tak lama Ridwan kembali dan menyerahkan pesanan Paul.

“Mau?” tanya Paul menawarkan rokok pada Ridwan. Lelaki itu menggeleng dan mengucapkan terima kasih. Ridwan meninggalkan Paul yang sedang membuka bungkus rokok dan mulai menyundut dengan korek.

Ridwan heran, sejak mereka tumbuh dewasa. Paul sangat paham jika Ridwan tidak merokok dan Paul pun menyeganinya. Tapi kali ini kenapa ia menawarinya? Entah ... Ridwan membiarkan pikirannya mengembara sendiri. Ia tak ingin bertanya apa pun pada Paul. Karena itu semua menyangkut privasinya.

Sore menjelang, Paul hanya diam membisu di sudut kedai, bahkan untuk sekadar mengantar barang pun Ridwan yang melakukannya. Hari ini Paul lain dari biasanya. Ridwan masih enggan bertanya, sampai Maghrib tiba. Lelaki berkacamata itu masih enggan membuka suara. Biasanya, jam lima pun Paul sudah ijin pulang dan memintanya untuk menutup kedai jika sudah waktunya. Tapi sampai malam menjelang, Paul masih membisu.

“Bang ....” Ridwan memberanikan diri membuka percakapan. Paul mendongak menatap Ridwan.

“Iya, Wan. Ada apa?”

“Sudah malam. Abang nggak pulang?”

“Oh ... kamu pulang duluan saja. Kedai biar saya saja yang tutup nanti,” ucap Paul.

Ridwan mengangguk. Setelah mengambil tas kecil miliknya, Ridwan pamit pulang. Meski hatinya sedikit ragu, ia akhirnya pergi dari tempat itu.

Ridwan melajukan motornya pulang, saat tiba di persimpangan jalan lampu berwarna merah. Ia berhenti sambil sesekali melirik kiri dan kanan. Iseng ... tangannya merogoh saku celana hendak mencari ponselnya, tak ada. Bisa saja tertinggal di kedai. Karena jarak kedai belum terlalu jauh, ia pun memutar arah kembali kedai.

**

“Kenapa, Bang? Kok kusut mukanya?” tanya Fadhil. Lelaki berwajah tampan yang baru membuka kios di sebelahnya. Lelaki itu mendekati Paul yang sedang duduk melamun sendiri di kursi yang diletakkan di depan kedai, biasa tempat pembeli menunggu.

“Eh, Bang Fadhil.” Paul berusaha senyum ramah. Meski keduanya jarang terlibat pembicaraan, tapi keduanya sudah tahu nama masing-masing.

“Kayanya mood Abang lagi nggak bagus. Gimana kalo kita jalan-jalan,” ajak Fadhil. Paul hanya diam tidak segera menjawab pertanyaan lelaki yang duduk di sebelahnya.

“Gimana, Bang? Mau? Saya jamin Abang akan melupakan masalah yang sedang Abang pikirkan,” rayu Fadhil. Akhirnya Paul menganggukkan kepalanya, tanda setuju. Keduanya lantas melanjutkan aktivitas masing-masing menutup kedai.

Ridwan memasuki area pasar saat kedai sudah tertutup. Dari kejauhan ia melihat Paul sedang mengobrol dengan Fadhil yang sudah bersiap di kendaraannya. Ridwan berinisiatif mengikuti keduanya pergi. Dari jarak dua meter, Ridwan mengikuti perjalanan Paul dan Fadhil dari belakang. Paul dengan santai duduk di boncengan, sedang Fadhil yang mengendarai motor miliknya. Sementara motor Paul sudah disimpan di parkiran yang biasa jaga 24 jam.

Bukan tanpa sebab Ridwan melakukan hal itu, ia teringat perkataan pemilik kedai pada saat dirinya membeli rokok, untuk menjaga jarak dengan Fadhil. Saat ditanya alasannya apa, dia tak memberikan informasi.

Fadil membawa Paul ke sebuah komplek perumahan cluster, dengan beberapa rumah di sisi kanan dan kirinya ada yang kosong, tampak dari lampu luar yang tidak menyala. Fadhil memarkirkan motornya di sebuah rumah sederhana tanpa pagar, dengan sebuah taman yang ditanami tumbuhan hias yang cantik.

Ridwan memilih menunggu di luar, bersembunyi dari balik pohon besar yang letaknya dua rumah dari rumah milik Fadhil. Ia tak ingin mereka tahu jika Ridwan mengikuti, sementara Paul sudah masuk ke dalam rumah Fadhil. Satu jam berlalu, Paul tak kunjung keluar dari sana. Ridwan berusaha untuk bersikap tenang, takut akan terjadi sesuatu pada Paul.

Nyamuk-nyamuk mulai menggigit kaki juga tangan Ridwan, tapi tak diindahkannya. Kedua matanya tetap fokus mengawasi pintu rumah Fadhil. Tak lama, tampak Paul keluar dari rumah Fadhil, tapi lelaki itu kembali masuk saat Fadhil kembali membujuknya agar masuk ke dalam. Gejolak rasa ingin tahu Ridwan bangkit, tapi ia tak segera turun, takut akan memicu keributan. Sampai tiga puluh menit kemudian, Paul tak kunjung keluar dari sana.

Cemas. Ridwan memutuskan masuk ke dalam rumah bercat putih itu. Pintu tertutup, Ridwan mengetuk pintu dan mengucapkan salam, tapi tak ada jawaban dari dalam. Ridwan mulai dipenuhi rasa panik, terpaksa ia masuk meski tidak mendapat ijin dari yang punya rumah.

Ridwan terbelalak saat melihat ruang tamu rumah itu, berserak botol minuman keras juga beberapa camilan yang biasa disantap bersama saat meminum minuman beralkohol tersebut. Darah Ridwan tiba-tiba mendidih saat Paul tidak ditemukan di ruangan itu. Dengan cepat Ridwan mencari ke ruangan lain. Dapur, kamar mandi juga ruangan TV yang hanya diberi sekat lemari hias. Sampai ada dua ruangan kamar yang belum ia periksa.

Kamar satu kosong, hanya tempat tidur yang seprei sudah berantakan. Paul dan Fadhil tak ada di sana. Ridwan mengumpulkan sisa tenaga lalu membuka kamar yang satunya lagi yang bersebelahan. Aroma alkohol menyeruak di ruangan itu. Mata Ridwan membelalak saat melihat Paul yang sudah tak sadarkan diri terbaring di kasur. Fadhil yang masih setengah sadar tengah memegang sebuah jarum suntik yang mirip entah. Tangan kanannya sudah bersiap menancapkan benda itu ke pergelangan tangan kiri Paul yang sudah tak berdaya.

“Apa yang akan kau lakukan pada saudaraku!” bentak Ridwan. Kaki kanannya menendang tubuh Fadhil. Tubuh lelaki itu langsung tersungkur ke lantai. Fadhil tertawa cekikikan. Ridwan berusaha menyadarkan Paul dengan menepuk pipi, tapi lelaki berkacamata itu tak kunjung sadar. Tanpa membuang waktu, Ridwan menggendong tubuh Paul yang hampir seperti orang mati. Pasrah.

Susah payah Ridwan membawa Paul ke atas motornya. Berusaha mendudukkan Paul di atas boncengan. Dengan hati-hati Ridwan membawa melajukan motornya menuju rumahnya. Ia berinisiatif membawa Paul pulang ke rumahnya daripada ke rumah Laila. Akan terjadi perang jika Laila melihat suami tercintanya sedang dalam keadaan mabuk.

Untung jarak rumah Fadhil tidak terlalu jauh dari rumahnya. Ridwan membawa motornya dengan sangat hati-hati, tangan kanan menjaga keseimbangan, sedang tangan kirinya menjaga Paul agar tetap stabil duduk di boncengan.

“Assalamualaikum!” teriak Ridwan dari luar. Tak lama pintu rumah terbuka, istri Ridwan keluar dan menyambut kedatangan sang suami. Matanya tak kalah terkejut saat melihat Paul duduk di boncengan dalam keadaan mabuk.

“Waalaikumsalam. Abang ... ini ....” Belum sempat Husna, istri Ridwan selesai berbicara langsung dipotong oleh Ridwan.

“Nanti saja bicaranya, bantu Abang bawa Bang Paul masuk.”  Husna pun memapah tubuh Paul masuk ke dalam rumah. Ridwan menidurkan Paul di dalam kamar yang memang khusus dipakai untuk siapa saja yang datang berkunjung.

Ridwan menjelaskan kejadian yang baru saja dialaminya. Husna mendengarkan dengan saksama.

“Lantas bagaimana dengan Mba Laila? Saya takut nanti Mba Laila akan shock, Bang,” ucap Husna.

“Maka dari itu abang bawa pulang kemari.”

“Tapi alasan apa yang akan abang beritahu pada Mba Laila nanti?”

“Entah. Abang juga bingung.”

Husna beranjak ke dapur, memasak air panas untuk Ridwan mandi. Ia pun mencium aroma alkohol dari tubuh sang suami.

Usai mandi dan berganti pakaian, Ridwan menelepon Laila. Mengabarkan jika malam ini Paul menginap di rumahnya. Ia tidak mengatakan bagaimana kondisi Paul, takut wanita itu akan terguncang kembali.

Ridwan menutup telepon dan meletakkan di meja. Sementara Husna datang membawa segelas susu hangat. Ia meminta Ridwan memberikan pada Paul. Kata orang, cara menetralkan orang yang sedang mabuk diberi susu hangat. Ridwan mengikuti saran istrinya, ia berusaha kembali membangunkan Paul, tapi lelaki berkacamata itu malah mengamuk dan memaki Ridwan.

“Pergi kamu! Jangan ganggu Laila.” Paul meracau dalam mabuknya. Sesekali terdengar suara seolah hendak muntah. Tapi lelaki berkacamata itu kembali memejamkan matanya.
Tak habis akal, Ridwan kembali membangunkan Paul. Tapi lelaki berkacamata itu meraih kerah baju Ridwan, membentak dan memakinya.

“Heh, dengar Adam. Laila itu sudah punya suami. Jangan berani dekati Laila lagi. Paham!” Ridwan terpaku dan sangat terkejut mendengar kalimat polos yang lolos dari mulut Paul.

Paul melepaskan kerah baju Ridwan dengan kasar. Ia kembali terpejam dan tidur telentang. Tak jera, Ridwan menyangga tubuh Paul hingga posisi duduk, sedangkan Husna membantu Paul meminum susu tersebut.

Ridwan menidurkan Paul setelah meminum susu hingga setengah. Keduanya lantas keluar dari kamar membiarkan Paul tidur.

**

“Abang di mana, Laila?” tanya Mak dengan nada khawatir.

“Tadi Bang Ridwan telepon. Katanya malam ini Abang tidur di sana?” Laila duduk dengan cemas.

“Kenapa? Kok nggak pulang?” tanya Mak.

Laila menggelengkan kepalanya. Ia jauh lebih cemas.

“Abang nggak pernah sampai nggak pulang. Jam berapa pun kedai tutup. Ia pasti akan pulang ke rumah ... tapi ya sudahlah. Laila istirahat aja. Udah malam.” Mak Nur beranjak hendak menuju kamarnya. Tapi terhenti saat Laila memanggilnya kembali.

“Laila akan ke rumah Bang Ridwan, Mak,” ucap Laila sontak membuat Mak kaget.

“Ya Allah, Laila. Udah malam.” Mak Nur melirik jam di dinding. Pukul sepuluh lewat.

“Mak mau temani Laila ke rumah Bang Ridwan?” tanya Laila saat tangannya meraih kunci mobil yang tergantung dekat lemari hias.

“Baiklah. Mak temani.” Mak Nur pasrah mengikuti keinginan sang menantu. Ia paham wataknya yang sangat tidak bisa dicegah. Usai mengunci pintu Laila membawa mobil itu menuju rumah Ridwan. Ia tahu rumah Ridwan, karena Paul beberapa kali mengajaknya berkunjung ke rumah sahabatnya itu.

Dengan perasaan kalut, cemas, sedih, juga marah terkumpul dalam benak Laila. Ia berusaha untuk tenang, ia tak ingin bersikap berlebihan yang akan membuatnya sakit lagi. Terlebih sang Mak yang duduk di sebelahnya, wajahnya pun tak kalah cemas dengan dirinya.

Dua puluh menit mobil itu masuk ke halaman rumah Ridwan. Laila mengucapkan salam, Mak Nur berdiri di samping Laila dengan penuh harap dan cemas. Pasalnya jika memang Paul menginap di rumah Ridwan, kenapa motor putranya tidak ada di sana.

Tak lama Ridwan membuka pintu, lelaki bertubuh tambun itu terkejut hebat, saat melihat kedua wanita berdiri di pintu rumahnya dengan tatapan cemas, sedih, juga sedikit rasa marah.

“Bang Paul di sini?” tanya Laila.

“I-iya ....” Ridwan tergagap menjawab pertanyaan Laila. Ia lantas mempersilakan tamunya masuk. Laila dan Mak duduk di ruang tamu, tak lama Husna muncul dari dalam kamar. Ia menyalami Laila dan Mak bergantian.

“Mba Husna. Abang Paul di sini 'kah?” tanya Laila penuh harap.

Ridwan mengambil posisi duduk di sebelah sang istri, keduanya saling beradu pandang, bingung bagaimana menjelaskan keadaan Paul.

“Bang ... kok nggak jawab?” tanya Laila tak sabar.

“Abang ... lagi tidur, Mba,” ucap Ridwan.

“Di mana? Saya mau ketemu.”

“Tapi sebelumnya, Mba jangan kaget, ya?” ucap Ridwan.

Kalimat yang terlontar dari mulut Ridwan membuat Laila semakin penasaran. Tak sabar ia meminta Ridwan menunjukkan di mana Paul tidur. Tak punya pilihan, Ridwan akhirnya menunjukkan kamar di mana Paul tidur.

Cklekk ....

Bola mata Laila membelalak saat melihat kondisi sang suami yang begitu berantakan. Aroma alkohol menguar memenuhi isi kamar. Mak Nur tak kalah terkejut saat mendapati putra semata wayangnya tak sadarkan diri oleh minuman beralkohol. Kaki tuanya mendadak lemas hingga nyaris terduduk, tapi dengan sigap Ridwan menahan tubuh Mak Nur dan membawanya kembali duduk di kursi.

“Maaf, Mba. Bang Paul ....”

“Bang Ridwan punya es batu nggak?” potong Laila.

“Es buat apa Mba?” tanya Husna.

“Saya butuh es batu!” ucap Laila dengan nada sedikit marah.

Husna membuka lemari es dan memberikan es batu dalam plastik kiloan berwarna putih dan menaruhnya di meja. Laila mengambil kembali tiga buah es batu, hingga ada empat es batu besar di atas meja makan. Wanita itu meminta tolong pada Ridwan untuk menghancurkan es batu tersebut dan memasukkannya ke dalam ember. Laila mengambil air dalam botol besar dari dalam lemari es, dan mencampurnya dalam ember. Setelah dirasa cukup, Laila membawa satu ember berisi air dingin juga es batu ke dalam kamar.

“Abang ... bangun!” Suara Laila terdengar menggelegar memecah keheningan malam. Ia bahkan tidak peduli pada si empunya rumah.

Tubuh Paul menggeliat, kedua matanya sedikit terbuka, tapi segera terpejam kembali karena rasa pusing yang menderanya.

“Abang!” ucap Laila lagi dengan nada yang tak kalah tinggi dari sebelumnya. Mak Nur yang duduk di sofa hanya bisa diam. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa, karena baru kali ini anak semata wayangnya minum alkohol.

Paul membuka matanya kembali, meski tidak benar-benar terbuka, ia melirik ke arah wanita yang berdiri di sampingnya dengan wajah yang menahan tangis.

“Laila ... Sayang!” Paul hendak bangkit, tapi ia malah terjatuh karena efek alkohol yang belum sepenuhnya hilang.

“Jangan mendekat! Jangan sentuh Laila!” Wanita itu berjalan mundur, menjauh dari Paul. Sementara Ridwan berdiri mematung di ambang pintu, Husna sudah lebih dulu duduk di sebelah Mak Nur, menenangkan wanita itu.

“Abang mabuk? Kenapa hah!” bentak Laila.

“Nggak ... sayang. Abang ... N-nggak kok!” ucap Paul dengan nada bicara yang terpotong. Lelaki berkacamata itu belum sepenuhnya menguasai diri dan juga pikirannya. Tubuh Paul terseok-seok di lantai hendak meraih Laila.

Byurr ....

Laila menumpahkan semua isi dalam ember tersebut. Sontak Paul membuka matanya dengan sempurna. Kini lelaki itu bisa melihat sang istri dengan jelas. Wajahnya yang memerah, menahan tangis yang nyaris tumpah dari sana.

“Ya Allah. Laila ... sayang!” seru Paul hendak meraih tubuh Laila. Tapi dengan cepat ia menghindar. Ia berusaha mendekat, tapi Laila kembali menghindari. Paul belum mampu berdiri karena kaki yang ia rasa kesemutan, bahkan tidak peduli dengan tubuhnya yang basah. Bahkan ia tidak memedulikan rasa dingin yang menusuk tulangnya. Ia hanya ingin memeluk Laila. Itu saja.

“Pulang!” ucap Laila. Ia menahan segala amarah yang berkecamuk dalam dadanya. Lelaki berkacamata itu lantas berdiri dengan dibantu Ridwan. Laila meletakkan ember dekat sofa, lalu memapah Mak Nur masuk ke dalam mobil.

Paul duduk di kursi belakang kemudi, sementara Mak Nur duduk di sebelah Laila. Ia belum mampu berkata apa pun. Ia pun sebenarnya ingin marah pada putranya, tapi ia urungkan. Mak Nur tak ingin menambah masalah yang hanya akan membuat Laila semakin pusing. Laila meminta maaf pada Ridwan atas kekacauan yang ia buat. Lalu setelah itu, Laila kembali melajukan kendaraannya pulang ke rumah.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora