Pertemuan

158 12 0
                                    


Sepasang bola mata indah itu memandangi bingkai foto Laila dan Paul yang menghiasi dinding bercat putih itu. Ada rasa getir juga nyeri di hati saat melihat senyum bahagia keduanya. Beberapa bingkai kecil tertata rapi di meja yang menghiasi ruang tamu.

“Ya Allah, Adam.” Bibi datang dari arah dapur, menghambur memeluk tubuh kekar Adam. Bola matanya berembun saat bisa melihat kembali anak yang diasuhnya. Adam membalas pelukan wanita itu, ia pun sangat merindukan keluarga Abi, terutama rindu pada Zila, atau Laila. Abi memandangi momen langka pertemuan keduanya setelah sekian lama.

“Bibi, sehat?” Adam membuka suara. Berusaha mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang tengah menderanya.

“Alhamdulillah. Bibi baik, Nak.” Bibi melepas pelukannya, menuntun Adam duduk. Kedua tangannya bertumpu di atas tangan Adam. Wanita itu tak melepas pandangannya pada Adam, sampai ia lupa memberikan minum.

“kamu bisa tahu alamat Abi ada di sini dari siapa?” tanya Abi Anwar.

“Dari Bang Ridwan. Ia saudara Adam yang sudah lama terpisah.”

“Ridwan sahabat Bang Paul? Menantu Abi?” Bola mata Abi Anwar membelalak saat Adam menganggukkan kepalanya, mengiyakan pernyataan.

“Lantas kamu ke mana aja selama ini? Abi, bibi, juga Laila cemas.” Bibi turut serta bertanya ke mana Adam selama ini. Menghilang sejak wisuda.

“Adam ikut teman merantau ke Jakarta. Kerja, Abi,” jelas Adam.

“Dan Alhamdulillah, Adam sudah mencapai semua yang Adam inginkan.”

“Alhamdulillah. Abi yakin kamu bisa jaga diri di mana pun berada,” ucap Abi bijak.

“Oya, Bi. Adam nggak bisa lama-lama. Harus kembali ke kantor. Lain waktu Adam datang ke sini lagi.” Adam berdiri dan berjalan ke pintu.

“Makan dulu.” Bibi mencekal lengan Adam, pertemuan yang singkat belum bisa mengobati rasa rindunya setelah beberapa tahun berpisah.

“Adam juga masih rindu sama Abi, dan bibi. Nanti Adam akan makan di sini. Nginap juga deh,” ucap Adam. Berusaha untuk tenang, meski di hatinya sudah tak tahan dipandangi oleh foto pernikahan gadis pujaan hatinya.

“Ya sudah. Hati-hati.” Abi dan Bibi melepas kepergian Adam. Keduanya lantas masuk ke dalam rumah setelah mobil Adam berlalu dari pekarangan.

Kedua mata Adam berembun. Rasa sakit juga pedih semakin menggerogoti hatinya, wajah Laila juga tatapan keterkejutannya kembali hadir di pelupuk mata. Yang tak habis pikir, jika Laila adalah istri dari Paul, orang yang sudah ia anggap seperti Abang sendiri.

Di persimpangan, Adam membelokkan mobilnya ke arah gedung perkantoran yang ramai. Setelah memarkirkan kendaraan miliknya, ia lantas masuk ke dalam gedung yang memiliki lima lantai.

“Pagi, Pak Adam!” sapa salah seorang wanita, karyawan yang hendak masuk ke dalam gedung.

“Pagi!”

“Wah ... Bapak sudah lama nggak kelihatan. Ke mana saja?” tanyanya lagi.

“Nyari jodoh!” seru Adam seraya sedikit tersenyum agar tidak terlihat tegang. Meski di hatinya ia sendiri enggan bertegur sapa dengan siapa pun. Ia ingin sendiri.  Tak ingin diganggu oleh siapa pun. Tapi karena hari ini ada meeting dengan seorang clien. Mau tidak mau, dirinya harus datang.

Adam berjalan melewati ruangan karyawan lantas masuk ke dalam ruangannya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu menyandarkan punggungnya di kursi. Untuk sesaat kedua matanya terpejam, ia ingin berusaha fokus untuk meeting nanti.

Tok ... tok ... tok ....

“Masuk!” seru Adam. Kedua matanya masih terpejam.

“Maaf, Pak. Clien sudah datang,” ucap Rita. Asisten pribadinya. Wanita cantik itu sudah mengabdi selama kurang lebih satu tahun, sejak perusahaan Adam baru dirintisnya.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Kde žijí příběhy. Začni objevovat