Fitri Gila

522 33 12
                                    



Laila berusaha tersenyum saat bibi dan Abi menyambutnya dengan tatapan heran. Bagaimana mungkin jika ia datang sendirian dengan perut besar begitu. Laila menyandarkan punggungnya di dinding dengan diganjal bantal, ia merindukan kamarnya. Bibi membiarkan Laila sendiri, Abi pun bukan todak menghawatirkan putrinya, tapi ia lebih percaya jika ia bisa menyelesaikan itu semua dengan baik. Laila merebahkan kepalanya di bantal, suasana rumah yang tenang membuatnya cepat mengantuk. Ia pun tertidur.

**

Mak yang selalu mendidiknya dengan tegas, membuat Paul menjadi lelaki yang mandiri. Sebagai seorang lelaki, ia akan menghadapi apa pun hasil dari setiap perbuatannya. Paul mendatangi rumah Laila, setelah memarkirkan mobilnya, ia lantas masuk dan disambut bibi. Abi sudah berangkat ke masjid guna mengisi kajian. Bibi mengatakan jika Laila ada di kamarnya, tidur.

Pintu kamar terbuka, wajah Laila tampak tenang saat tidur. Paul merutuki dirinya karena sudah ke sekian kali menyakiti Laila dengan ucapan dan tingkah bodohnya itu.

“Laila sedang hamil, Paul! Sadar!” Paul mengatakan itu pada dirinya sendiri.

Paul mendekat dan duduk di sisi ranjang, menikmati wajah Laila. Meski setiap malam wanita itu tidur di sebelahnya, ia tak akan pernah bosan melakukan itu. Laila adalah gadisnya, wanitanya, bidadarinya. Dunianya juga kehidupannya setelah Mak. Wanita yang akan ia bahagiakan. Tangannya menyentuh kening Laila yang berkeringat, lalu mencium kening itu dengan tempo yang sangat lama.

Laila membuka matanya saat ia merasakan embusan napas Paul pada pucuk kepalanya, lalu mendorong dada Paul agar menjauh.

“Nyenyak tidurnya, Sayang?”

“Abang ....”

“Maaf ....”

“Abang yang harusnya minta maaf. Abang salah. Abang bodoh!” Paul mengatakan itu tepat di depan wajah Laila, sampai wanita itu merasakan embusan napasnya.

“Abang nggak gitu. Abang marah karena nggak mau kehilangan Laila, kan?” goda Laila. Paul tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya.

“Laila juga nggak mau kehilangan Abang. Maafin Laila udah marah-marah tadi.” Laila menarik lengan Paul, meraih tubuh kekar itu dalam pelukannya. Paul membalas pelukan sang istri, sesekali mendaratkan ciuman di bahu, juga lehernya.

“Sayang ... Abang kangen.” Paul mengangkat wajahnya, menciumi wajah Laila.

**

Abi dan Bibi bahagia melihat kekompakan Paul dan Laila dalam mengarungi rumah tangganya. Meski hanya menjalani masa ta'aruf satu bulan dan tidak pacaran layaknya pasangan yang lain, tapi keduanya bisa saling menjaga dan memahami satu sama lain. Tidak pernah sekali pun terdengar keluhan soal kekurangan pasangannya, yang selalu mereka tunjukkan adalah senyum bahagia.

Setelah pamit, keduanya lalu pulang. Awalnya bibi meminta keduanya untuk menginap, tapi ditolak Laila. Ia mengatakan jika besok Senin dan Paul sedang sibuk-sibuknya di kedai, ia juga harus mengurusi cuti untuk melahirkan. Laila berjanji pada bibi, jika sudah mendapatkan hari cuti ia akan menginap.

**

“Sayang ... Abang mau nanya.” Pau menyandarkan punggungnya ke dinding, matanya menatap Laila yang sedang berganti pakaian dengan daster. Perutnya yang besar tidak memungkinkan untuk memakai baju tidur, jadi Paul membelikan beberapa daster untuknya.

“Tanya apa, Bang?”

“Abang mau tanya soal Adam, boleh?” Paul menegakkan tubuhnya, duduk bersila.

Laila diam sesaat, menyelesaikan membereskan dirinya, lantas mendekati Paul. Tangan lelaki itu terulur, membantu sang istri duduk di hadapannya.

“Abang mau tanya apa?” Laila mengusap punggung tangan Paul, ia merasakan sedikit getaran di sana. Paham sekali jika lelaki itu masih sedikit cemburu, tapi dalam dosis yang masih bisa ditahan.

“Adam suka sama Laila, ya?” tanya Paul hati-hati.

“Iya ...,” jawab Laila singkat.

“Terus?”

“Nggak ada terus-terusan. Laila udah punya Abang. Udah bahagia. Dan Mas Adam juga ngerti, kok.”

“Kok felling abang lain, ya?”

“Lain gimana?”

“Kalo Adam masih menyimpan rasa suka sama Laila.”

“Cuma perasaan Abang aja kali!”

“Abang seorang lelaki, Laila! Bisa merasakan!”

“Lalu kalo emang Mas Adam masih suka sama Laila, Abang mau apa?” Laila mulai kesal pada Paul yang tak henti-henti membuatnya kesal.

“Abang nggak mau Laila dekat-dekat sama dia!”

“Kan bukan Laila yang dekati!”

“Tetep aja Abang nggak suka Laila kaya kemarin. Ngobrol berdua di sekolah!”

“Bang ... Laila nggak tau kenapa Mas Adam bisa tahu Laila ngajar di sana!”

“Tapi ....”

“Udah, Bang. Laila capek. Ngantuk.” Laila menggeser tubuhnya, lalu beralih posisi telentang. Tangannya mengusap perut buncitnya. Paul menyejajarkan posisinya, merentangkan tangannya menanti Laila menggeser kepalanya.

“Bang ....”

“Hummm ....”

“Laila pengen peluk Abang, tapi bajunya lepas, ya.”

Tanpa menjawab, Paul menuruti permintaan sang istri, melepas kaus oblong yang dikenakan lalu melemparnya ke lantai. Tanpa menunggu lama, Laila menggeser posisi mendekat, memeluk tubuh lelaki itu erat.

**

Paul semakin dibuat keteteran dengan pekerjaannya di kedai. Ridwan pun kewalahan dengan itu semua. Kadang harus mengantar barang ke tempat yang jauh. Tak tega melihat sahabatnya begitu totalitas dalam bekerja, kadang Paul harus mengalah, ia yang mengantar barang tersebut.

Lelah memang, sangat lelah. Kadang Paul minta maaf pada Ridwan untuk sekadar memejamkan mata di kedai barang lima menit. Pasalnya, jika malam hari, sifat manja Laila kumat. Memang bawaan ibu hamil minta dielus perutnya, kadang mengusap punggung semalaman. Itu membuat kepala Paul pusing karena tidur yang tidak maksimal. Seperti tadi malam, ia hanya tidur selama dua jam saja, selebihnya. Meski matanya terpejam, tangannya tetap bekerja mengusap punggung Laila.

**

Hari perpisahan diiringi doa dari sesama rekan guru juga para muridnya.

“Semoga lahir dengan selamat, sehat ibu dan bayinya.”

“Lelaki atau perempuan insya Allah yang terbaik.”

“Lekas kembali mengajar kami ya, Bu.”

Begitulah segelintir doa yang diucapkan. Laila cuti mengajarkan untuk tiga bulan ke depan. Setelah dijemput Paul, keduanya kembali pulang.

“Laila jangan capek-capek, ya. Harus banyak istirahat.”

“Laila itu istirahat terus, Bang. Mak melarang Laila ngerjain pekerjaan rumah. Laila bisa kena titel mantu durhaka ini.

“Ya nggak, lah. Mak melakukan itu karena sayang sama Laila.”

“Tapi Mak kan capek, loh.”

“Ya udah. Jangan diterusin. Abang lagi bawa mobil ini.”

Laila diam, lalu menyandarkan kepalanya dengan mata terpejam.

**

Laila merasakan kejenuhan yang luar biasa selama di rumah. Meski begitu, ia bahagia mendapatkan mertua sebaik dan begitu penyayang seperti Mak Nur. Memiliki suami seperti Paul yang selalu siaga, meski sifat cemburunya yang benar-benar menyebalkan dan menguras rasa sabarnya. Tapi ... ia menyayangi keduanya. Sungguh.

Kado pemberian dari rekan kerja juga beberapa teman dekat semasa kuliah berdatangan. Entah berupa baju bayi, sepatu, kaos kaki lucu, sampai ada yang mengirimkan box bayi yang bisa diperkirakan harganya lumayan mahal. Entah dari siapa pengirimnya. Tidak tertulis dari siapa seperti hadiah yang lain tertera siapa.

Bahagianya tak terkira. Bibi dan Abi pun sesekali datang mengunjungi. Mengobrol dengan Mak dengan topik yang selalu saja ada. Yang membuat Laila pusing adalah nama untuk calon anaknya. Sampai Paul harus mengelus dada menghadapi para orang tuanya yang terus saja memaksakan kehendaknya.

“Nama dari Mak nanti harus dipakai buat anakmu, Bang.”

“Dari bibi.”

“Dari Abi!”

“Paul sudah menentukan nama buat nanti. Laki-laki dan nama perempuan!” seru Paul dengan tegas. Ketiganya pun terdiam, sementara Laila hanya tertawa melihat tingkah keluarga tersayangnya.

**

Pagi ini Laila menyiapkan sarapan, sesekali membujuk Paul agar membawanya turut serta ke kedai. Itung-itung membantu dan bisa sekaligus menghilangkan rasa jenuh.

“Hari ini aja, Bang. Besok-besok Laila nggak ikut, deh. Boleh, ya.”

“Nggak, nanti Laila bisa kecapean. Abang juga yang repot.”

“Kok jawabnya gitu!” Laila memonyongkan bibirnya tanda tak suka dengan ucapan Paul barusan.

“Hmm ... maksud Abang. Kalo Laila nanti kecapean gimana. Anak kita harus sehat.”

“Kan di sana juga ada Bang Ridwan, nggak apa-apa, ya. Ikut, ya. Boleh, ya,” rengek Laila. Paul mengela napasnya, lalu mengangguk. Laila tersenyum senang, masuk ke dalam kamar mengganti daster dengan gamis. Tak lama ia bersiap berangkat ke kedai. Mak pun tak bisa mencegah keinginan menantunya. Dengan bertumpu pada kepercayaan, Mak pun mengizinkan.

**

Laila duduk di kursi tempat Paul biasa menghitung bon juga pemasukan. Sesekali tangannya mengusap perutnya yang lebih sering ada tendangan kecil dari dalam. Ridwan dan lelaki berkacamata itu sedang sibuk mengantarkan barang, dan dirinya harus menjaga di kedai.

“Bang Paul ... Fitri kangen!”

Laila menengadahkan wajahnya, menatap sesosok wanita yang berteriak memanggil nama sang suami.

“Abang, Sayang. Fitri kangen!” seru Fitri. Gadis itu masuk tanpa permisi ke dalam kedai. Laila bangkit dan mendekat ke arah Fitri yang berdiri di dekat etalase. Matanya membulat saat mendapati wajah Fitri yang benar-benar berantakan. Tak ada lagi hijab panjang yang menutupi mahkotanya, baju dari sebuah rumah sakit melekat di tubuhnya. Wajah ayunya hilang ditutupi duka.

“Fitri, kamu ....” Belum sempat Laila melanjutkan ucapannya, Fitri melangkah mendekat dengan tatapan tajam.

“Mana Bang Paul. Kamu ngapain ke sini!” bentak Fitri. Senyum manisnya lebih tepat seringai dan menbuat Laila takut.

“Fitri, kamu kenapa? Ya Allah.” Laila melangkah mundur, sementara langkah Fitri semakin mendekat.

“Gara-gara kamu, aku nggak bisa nikah sama Bang Paul! Wanita pembawa sial!” bentak Fitri dibarengi tangis yang terdengar pilu.

“Fitri, tenangkan diri kamu.” Laila berusaha menenangkan gadis di hadapannya. Tangannya terulur ke depan, meminta Fitri menjauh. Keduanya berada dalam jarak yang dekat, Laila pun bisa membaca tulisan pada baju yang Fitri kenakan.

“Rumah sakit jiwa sentosa!” gumam Laila. Matanya membelalak saat menyadari hal itu. Gadis ayu di hadapannya adalah pasien rumah sakit jiwa. Lantas kenapa bisa dia ada di sini.

Laila semakin takut, ia tak bisa lagi melangkah mundur karena mentok dengan dinding, tubuhnya bergetar hebat, takut jika Fitri melakukan hal nekat pada dirinya. Hatinya terus berdoa agar Paul atau siapa pun datang. Tangis Fitri reda, tapi ia tetap menatap Laila dengan garang.

“Kamu tunggu di sini. Bang Paul sedang antar barang. Sebentar lagi pulang,” ucap Laila berusaha menutupi rasa takutnya. Ia lantas berjalan menyamping, menghindari Fitri. Gadis itu menghentikan langkahnya, membiarkan Laila melangkah menjauh.

“Kamu ...!” seru Fitri. Laila membalikkan tubuhnya dan ....

“Abang ....”

**

Mohon maaf buat pembaca setia Mantu untuk Mak. dikarenakan othornya sedang dalam masa pemulihan.

Curhat dikit, ya. Boleh, ya. Kalian kan baik. Dan sayang sama aku. Ehhhehee

10 tahun yang lalu, aku mengalami kecelakaan, jatuh dari kereta. Pergelangan tangan kiriku sedikit geser. Jadi ngilu dan nggak bisa pegang hape lama-lama. kadang kalau terlalu memaksa, bisa mati rasa. Maafkan ya karena lama up nya.

Oya, berhubung masih dalam suasana idul Fitri.

Saya pribadi mengucapkan Minalaidzin Walfaidzin mohon maaf lahir batin ❣️.

Salam sayang dari saya, Paul dan laila. Terima kasih sudah setia dengan cerbung ini. Aku tidak ada artinya tanpa kalian pembaca setiaku.

Bantu vote dan like juga promosikan cerbung ini ke teman-teman yang lain ya.

Doakan semoga tangan saya segera kembali sehat, meski nggak bisa pulih. Supaya bisa up cerbung ini setiap harinya.

Sayang kalian semuanya. ❣️❣️🙏


Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now