Sakit

176 9 0
                                    


Mak Nur tiba di rumah setelah sebelumnya bertandang ke rumah sanak saudara yang sedang hajatan. Dengan diantar Wak, Mak pulang sampai rumah.

"Mak, itu pintu rumah kenapa terbuka?" Telunjuk Wak mengarah ke pintu yang terbuka saat keduanya sudah berada di pekarangan rumah.

Mak berusaha mengingat jika dirinya sudah benar-benar mengunci pintu sebelum pergi pagi tadi. Kain songket diangkatnya sedikit agar mempermudah jalan. Mak melihat sekeliling jika putra semata wayangnya sudah pulang. Tapi motornya pun tak ada. Khawatir jika ada maling masuk ke dalam rumah, Wak turun dari motor dan menemani Mak sampai masuk ke dalam.

"Astagfirullah, Laila!" teriak Mak Nur saat melihat tubuh Laila tergeletak dengan posisi telentang di ruang tengah, masih mengenakan baju mengajar. Pecahan gelas berada di dekatnya, dengan air membasahi lantai.

Wak segera memeriksa kondisi Laila yang benar-benar lemah. Wajahnya terlihat pucat, tangan yang sudah mulai dingin. Khawatir dengan keadaan menantunya, Mak meminta Wak mengantarnya ke rumah sakit.  Sekuat tenaga Wak membopong tubuh Laila, tapi bola matanya seketika membulat saat melihat ada bercak darah.

“Ya Allah, Mak. Laila pendarahan!” teriak Wak saat dirinya berhasil mengangkat tubuh Laila. Mak Nur segera menyambar kunci mobil yang biasa digantung dekat lemari pajangan dekat TV. Keduanya lalu keluar dari rumah. Dengan perasaan cemas dan takut Mak duduk di kursi belakang dengan memangku kepala Laila. Wak berusaha secepat mungkin mengendarai mobil agar segera sampai rumah sakit terdekat.

**

Di kedai tampak Adam yang sedang melaksanakan solat Ashar, sementara Ridwan sedang mengantar barang. Tampak motor yang biasa digunakan untuk mengantar barang tidak terparkir di teras. Paul memerhatikan karyawan barunya dengan saksama.

"Suaramu indah sekali, Dam!" ucap Paul. Lelaki berkacamata itu berdiri di belakang Adam yang baru saja selesai solat Ashar dan mengaji beberapa ayat.

Adam memutar tubuhnya dan berdiri. Al-Qur’an yang digenggamnya diletakkan kembali di meja kecil. Kedua laki-laki itu saling berdiri berhadapan. Paul menatap lekat ke bola mata Adam yang berwarna biru, sebiru batu safir.

“Saya mau tanya sama kamu.”

“Tanya apa, Bang?” Adam sama sekali tidak menaruh curiga apa pun pada Paul. Karena baginya Paul bukan hanya seorang bos yang baik, Adam sudah menganggap lelaki berkacamata itu seorang kakak. Selama ia bekerja di kedai, Paul sama sekali tidak pernah protes apa lagi mengeluh soal kinerja dirinya.

“Kamu sayang sama gadis masa kecilmu, Zila?” tanya Paul.

Adam mengalihkan pandangannya keluar kedai, memerhatikan orang-orang yang sedang hilir mudik.

“Saya dan Zila tumbuh dan juga besar bersama. Setiap waktu kami bermain dan selalu bersama-sama. Zila anak yang baik. Hanya saja, kebaikannya selalu disalahgunakan orang-orang di sekitarnya. Sejak saat itu, saya berjanji akan selalu berada di sisinya. Melindunginya. Tapi setelah saya lulus dari pesantren, saya memutuskan untuk merantau. Meninggalkan Zila juga keluarganya.”

“Kenapa?” Tangan Paul mengepal kencang. Hatinya benar-benar terbakar oleh rasa cemburu saat kedua telinganya mendengar kisah manis masa lalu Laila. Istri tercintanya dengan lelaki lain.

“Karena saya ingin membalas semua kebaikan Abi.”

“Jika suatu saat nanti kamu ketemu dengan Zila dan dia masih sendiri. Apa yang akan kamu lakukan?”

“Saya tidak akan melakukan kebodohan yang sama. Saya akan berterus-terang pada Abi dan meminangnya.” Adam tersenyum penuh harap. Paul memalingkan wajahnya, berusaha untuk tersenyum meski dirasa hambar. Kedua tangannya mengepal kuat. Debar jantungnya berpacu kencang.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora