PDKT

353 14 0
                                    


Menjelang Ashar Paul dan Mak tiba di rumah. Mak Nur yang mengenakan songket tampak kewalahan saat turun dari boncengan. Dengan langkah sedikit gemetar wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah, sementara Paul menaruh motor kesayangannya di garasi samping.

Segera Mak Nur duduk bersandar pada kursi kayu, kakinya terasa sedikit ngilu. Di usianya yang sudah tak lagi muda, harus duduk di boncengan yang posisi jok motornya begitu tinggi. Ia kewalahan menahan bobot tubuhnya.

"Mak, bisa seyakin itu sama Laila. Abang heran." Paul masuk dan duduk di sebelah sang Mak.

"Kenapa Abang nggak bilang kalo gadis itu dia?"

"Maksud Mak?" tanya Paul bingung.

"Abi Anwar itu ustadz sering mengajar ngaji di masjid yang Mak dan ibu-ibu sekitar sini datangi." Mak Nur memejamkan mata, wajahnya tampak lelah.

"Lalu?" Paul tampak bingung dengan perkataan Mak-nya yang setengah-setengah.

"Anak gadis Abi Anwar itu sudah menjadi perbincangan ibu-ibu pengajian. Bahkan ada yang datang hendak meminang, tapi ditolaknya. Bersyukurlah, lamaran Abang diterima." Mak Nur membuka matanya, seraya bangkit lalu masuk ke dalam kamar.

Paul menyandarkan punggungnya ke kursi, rona bahagia tersirat di wajah Paul, ia membayangkan hari bahagia yang akan ia jalani bersama dengan Laila. Lelaki itu menekan keras dada sebelah kirinya, debaran di sana semakin kencang.

"Assalamu'alaikum ...."

Pintu diketuk, suara seorang wanita terdengar mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam." Paul berdiri dan membuka pintu. Matanya yang sedikit sipit terlihat membelalak kala melihat siapa yang datang, "Fitri?" ucapnya pelan.

Gadis berwajah ayu, dengan hidung mancung sempurna. Berkulit putih juga garis wajah khas keturunan Aceh. Paul memandangi gadis di hadapannya, tak biasa ia datang bertamu dengan waktu menjelang Magrib.

"Ada apa, Fit?" tanya Paul tanpa mempersilakan gadis itu masuk.

Fitri menyerahkan sebuah bungkusan kepada Paul, "ini buat, Mak. Kebetulan ayah baru umrah," ucap Fitri.

Ayah Fitri pernah datang meminta ta'aruf hingga dua kali, tapi Paul menolaknya. Entah apa alasan lelaki itu menolak Fitri yang kecantikannya hampir sama dengan penyanyi asal negeri Jiran Malaysia tersebut. Bahkan tak sedikit dari teman-temannya mengatakan bodoh, karena menolak pinangan orang tua Fitri. Seorang pengusaha minyak yang terpandang di kota Sidempuan.

Dengan berdalih bahwa kebahagiaan rumah tangga bukan dinilai dari harta, Paul menolak semua lamaran yang datang padanya.

Paul menerima bungkusan itu, "makasih, Fit. Kalau nggak ada hal lain, kamu boleh pulang. Maaf, sudah mau Magrib, nggak baik bertamu." Gadis itu menganggukkan kepalanya, usai mengucap salam, ia berlalu dari rumah Paul.

"Siapa yang datang, Bang?" tanya Mak, saat melihat Paul menutup pintu. Ia menyerahkan bungkusan kain berwarna putih itu pada Mak.

"Abang mandi dulu, Mak!" Paul berlalu meninggalkan sang Mak yang kembali duduk di ruang tengah, membuka bungkusan tersebut.

Selepas sembahyang Magrib, Paul dan sang Mak duduk berdampingan di ruang tengah asik menonton sebuah realiti show di televisi. Ditemani camilan khas timur tengah pemberian Fitri. Sesekali lelaki berkacamata itu tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan tingkah lucu para artis di TV.

"Abang menyesal nggak menolak pinangan ayah Fitri tempo hari?" tanya Mak. Tawa Paul terhenti, matanya menatap wajah wanita tua di sebelahnya.

"Kok Mak nanya gitu?"

"Mak cuma bertanya. Mak cuma nggak mau, penyesalan yang akan timbul di kemudian hari akan menyakiti hati anak orang."

"Mak ...." Paul menyentuh tangan Mak, "abang udah yakin dengan pilihan ini. Cinta dan kebahagiaan itu tidak selalu diukur dari harta atau rupa, melainkan taqwa."

Mak Nur menyentuh tangan Paul yang berada di pangkuannya, ia percaya bahwa putra semata wayangnya itu sudah dewasa. Mampu mengarungi bahtera rumah tangga, juga menjadi imam yang baik.

"Sudah mau Isya, Mak solat dulu. Habis itu Abang istirahat. Besok kedai harus dibuka, kan? Nggak baik lama-lama libur, nanti Laila kamu mau kasih nafkah apa?" ucap Mak, seraya tersenyum dan berlalu meninggalkan Paul.

Paul menyandarkan punggungnya di kursi, pikirannya terngiang ucapan Mak. Tapi hatinya sudah terpatri nama Laila, juga bayangan gadis itu selalu hadir dalam mimpinya. Meski Laila tidak secantik gadis-gadis yang pernah datang, tapi sejak pandangan pertama, hati Paul benar-benar hanya menginginkan Laila yang akan menjadi bidadari di dalam istana hatinya.

**

"Kemarin gimana, Bang?" tanya Ridwan, salah seorang karyawan Paul di kedai.

"Alhamdulillah, lancar." Paul tersenyum bahagia, kedua tangannya mengangkat kardus sepatu untuk ditata di atas rak di depan kedai.

"Selamat, ya, Bang?" Lelaki bertubuh tambun itu mengulurkan tangan menyalami sang bos. Ukuran tangan itulah disambut Paul, "terima kasih." Keduanya tersenyum lalu hanyut dengan kesibukan membuka kedai.

"Assalamu'alaikum, Bang. Kenapa kemarin tutup kedai? Abang sakit kah?" Naurak, gadis penjual soto ayam di seberang kedai, itiba-tiba muncul. Paul yang sedang menyapu di dalam berjalan menghampiri.

"Waalaikumsalam, saya sehat," ucap Paul. Meski tak selalu banyak bicara, tapi sikapnya yang ramah membuatnya disukai orang-orang disekitarnya. Bahkan banyak pada wanita yang menyalahartikan sikap baiknya.

"Kemarin kenapa tutup kedai? Abang ke mana?" tanya Naurak lagi.

"Abang Paul habis meminang anak gadis orang, loh!" seru Ridwan dari dalam. Lelaki berkulit hitam manis itu tampaknya mendengarkan pembicaraan Paul dan Naurak.

Wajah gadis berambut sebahu itu tampak cemberut, terlihat dari bibirnya yang sedikit dimonyongkan. Dengan menghentakkan kaki, Naurak berlalu dari hadapan Paul.

**

"Subhanallah, akhirnya ada juga pangeran yang berhasil meluluhkan putri es kita." ledek Abdul, salah seorang guru. Laila menundukkan wajahnya, tersipu dengan godaan yang dilontarkannya.

"Doakan saja, semoga diberikan kelancaran."

"Aamiin ...." Beberapa rekan guru yang masih berada di ruangan mengaminkan.

Laila berlalu meninggalkan ruangan guru, hendak pulang karena jam mengajarnya sudah selesai. Tangannya sibuk merapikan meja kerja yang sedikit berantakan, melirik sekilas ke arah ponselnya yang di nada senyap tampak menyala. Sepuluh miscall juga belasan chat dari nomor tak dikenal.

[Assalamu'alaikum, maaf ini siapa?] Laila mengirimkan pesan pada nomor tersebut. Tak lama ponselnya kembali bergetar, nomor tersebut menelepon.

'Assalamualaikum." Terdengar suara seorang lelaki di seberang telepon.

"Waalaikumsalam. Maaf, ini siapa?" Laila menyandarkan punggungnya di kursi.

"Ini, Abang."

"Paul ....?" Rekan guru yang masih berada di ruangan tampak menatap ke arah Laila yang hampir berteriak. Ia lalu berdiri dan meninggalkan ruangan tersebut, "maaf, abang tau nomor ponsel saya dari siapa?" tanya Laila sedikit bingung. Padahal ia sama sekali tidak pernah memberikan nomor ponselnya pada lelaki itu.

"Abang akan lakukan hal apa pun demi mendapatkan informasi tentang dirimu."

"Ish, nggak boleh gitu. Maaf. Saya masih di sekolah. Nanti disambung lagi. Assalamu'alaikum." Laila hendak menekan tombol merah pada ponselnya, tapi terhenti saat lelaki itu mencegahnya.

"Maaf, jika abang menganggu. Abang cuma mau bilang, kalau abang mengirimkan hadiah ke rumah. Jangan lupa dibuka, ya. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu Laila menjawab salam, sambungan telepon terputus.

Laila menggenggam erat ponsel di tangannya, tangan kirinya menekan keras dada sebelah kiri, merasakan debaran kencang di sana. Ini untuk pertama kalinya ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang lelaki yang segera menjadi pacar halalnya. Insyaallah.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora