Adam

188 11 1
                                    


“Zila ...!” teriak Adam. Kening lelaki itu penuh keringat. Mimpi itu datang lagi. Saat dirinya harus berpisah dengan gadis masa lalunya.

“Kenapa, Dam?” Ridwan langsung masuk ke dalam kamar tempat Adam tidur. Lelaki bertubuh tambun itu menatap lekat ke wajah Adam yang masih sedikit shock.

“Nggak apa-apa, Bang!”

“Kamu mimpiin siapa? Zila siapa?” tanya Ridwan. Lelaki bertubuh tambun itu duduk di sisi ranjang, Adam duduk dan menyandarkan punggungnya dengan diganjal bantal.

“Zila ... putri semata wayang Abi. Yang mengangkat saya sebagai anaknya.”

Adam meraih benda berwarna hitam yang tergeletak di meja kecil dekat ranjang, lalu membukanya. Meraih selembar foto dari sana. Bola mata birunya menatap haru pada gadis yang sedang memegang boneka.

"Foto siapa, Dam?" Ridwan menatap lekat foto di tangan Adam. Foto masa kecilnya. Di sebelahnya duduk seorang gadis cantik yang mengenakan hijab sedang tersenyum manis. Usia gadis itu sekitar lima tahun, dua tahun lebih muda dari Adam.

"Dia, Zila. Putri semata wayang Abi. Keluarga Zila dengan tangan terbuka mengadopsi saya. Juga memberikan kasih sayang yang sama layaknya anak kandung mereka." Bola mata Adam tampak berkaca-kaca saat mengingat momen indah bersama itu.

"Mereka orang yang baik?"

"Sangat baik, Bang. Abi bahkan memasukkan saya ke pondok pesantren yang sama dengan putrinya. Beliau berharap kelak saya bisa memahami agama dan bisa menjadi seorang Ikhwan yang baik juga soleh."

"Jadi nama Putri Abi itu, Zila?"

"Itu nama panggilan kesayangan dari saya aja, Bang. Soal nama lengkap dia, saya nggak tau."

"Kok bisa kamu nggak tau? Kalo kamu tau kan abang bisa bantu cari mereka dan kamu bisa membalas kebaikannya ke padamu selama ini." Wajah Adam tertunduk. Hatinya menyesali kepergiannya saat lalu. Terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan untuk pergi merantau mencari pekerjaan juga keluarga kandungnya.

“Abang minta maaf, Dam. Harusnya dulu Abang jaga kamu dengan baik. Bisa saja kamu nggak akan mengalami kesusahan.”

“Kalo dulu kita nggak berpisah. Saya mungkin tidak akan mengenal Zila.”

“Iya ...mulai sekarang, abang janji akan jaga kamu. Sesuai janji abang kepada orang tua kamu.”

“Bagi abang, kamu bukan sepupu. Tapi sudah abang anggap seperti saudara sendiri. Kebodohan yang lalu hanya karena harta yang membuat buta mata hati, membuat kamu mengalami kejadian yang menyedihkan. Abang benar-benar minta maaf.”

Wajah Ridwan tertunduk. Air matanya jatuh membasahi pipinya.

“Saya sudah melupakan kejadian di masa lalu, Bang. Saya bersyukur masih bisa bertemu Abang sekarang dalam keadaan sehat.”

“Soal harta peninggalan orang tua kamu yang diambil alih sama saudara abang, akan abang ganti.”

“Udahlah, Bang. Jangan bahas itu. Bagi saya keluarga adalah harta yang sesungguhnya.”

"Lantas, kamu tau mereka ada di mana?" Ridwan mengusap air matanya. Menatap ke arah Adam yang sedang melamun.

Adam menarik napas panjang. Kepalanya tertunduk. Seolah ada sebuah rasa penyesalan di sana.

“Terakhir saat saya kembali dari perantauan, Zila dan Abi sudah pindah. Karena Abi yang dipindahkan tugas ke luar kota. Sampai detik ini, saya belum tahu keberadaan mereka.”

“Semoga kamu dan gadis masa kecilmu segera bertemu kembali.”

“Aamiin, Bang.”

Ridwan pun keluar dari kamar Adam. Membiarkan lelaki itu sendiri. Adam masih memandangi potret masa kecilnya dengan Zila. Terakhir pertemuan mereka saat Adam lulus dari pesantren dengan predikat cumlaude. Zila tampak anggun mengenakan gamis saat menghadiri kelulusannya bersama Abi. Sayang sekali, saat itu Adam tidak punya keberanian untuk menyatakan perasaannya yang semakin dalam pada putri seorang Abi Anwar. Baginya, Abi adalah orang tua terbaik, yang memberikannya masa depan cerah. Apa masih pantas ia memiliki perasaan suka apa lagi menaruh hati.

Adam menyimpan kembali foto ke dalam dompet, lalu merebahkan kembali tubuhnya di kasur. Berusaha memejamkan matanya karena jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Zila ... Mas rindu!” lirih Adam, yang perlahan memejamkan mata. Dalam mimpi, ia bertemu dengan Zila yang kini sudah beranjak dewasa.

“Mas Adam, Zila di sini!”

Adam menatap lekat ke arah gadis yang sedang duduk di atas rumput. Gadis itu tampak anggun mengenakan gamis, juga hijab yang menutupi kepalanya. Tapi sayangnya, Adam tidak bisa melihat dengan jelas wajah Zila yang seolah tertutup cahaya. Tak kalah terkejutnya, ia melihat Zila sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki yang sepertinya pernah bertemu.

**

“Bang ....” Panggil Laila pada Paul yang duduk melamun di ranjang. Lelaki berkacamata itu menoleh, tangan kirinya terulur mengisyaratkan agar wanita itu mendekat.

“Apa sayangnya abang?” Paul meraih lengan istrinya, ia lantas merebahkan kepalanya di pangkuan Laila.

“Kok Laila masih kepikiran sama saudaranya Ridwan, ya?”.
“Kenapa?” tanya Paul, tangannya mengusap lembut perut Laila yang terlihat sedikit buncit.

“Laila ... cuma kepikiran aja.”

“Kepikiran apa? Laila punya teman dekat yang namanya Adam?” tanya Paul dengan nada penuh selidik. Lelaki berkacamata itu lantas bangun dan duduk menghadap Laila.

“Ish ... bukan itu!”

“Lalu apa?”

“Nggak apa-apa. Nggak jadi.” Laila bangun hendak turun dari ranjang, tapi lengannya keburu dicekal Paul.

“Jelasin. Jangan bikin abang penasaran.”

“Abang bisa nggak sih, nanyanya biasa aja. Kaya nggak suka gitu. Lagian Laila nggak kenal juga kan sama Adam, saudaranya Ridwan.”

“Iya, iya. Maaf.” Paul sadar jika nada bicaranya tadi terdengar seperti orang yang sedang menyelidiki. Paul melepaskan cekalan tangannya, Laila kembali duduk manis di hadapan Paul.

“Nama saudaranya Ridwan itu sama kaya nama anak yang pernah diadopsi Abi dulu. Tapi pas dia lulus dari pesantren, Mas Adam pergi merantau.”

“Jadi dulu Laila tumbuh bersama dengan lelaki yang bukan saudara kandung?”

“Humm ....”

“Ya Allah!” Paul menepuk keningnya sendiri.

“Kenapa?”

“Abang nggak bisa bayangkan kalo Laila dulu dekat dengan lelaki lain, selain abang.”

“Lagian Mas Adam dan Laila tinggal di pesantren yang berbeda, Bang. Jangan cemburu gitu ih. Jelek!”

“Mas Adam? Mas ...?” tanya Paul dengan nada bicara nyeleneh.

“Abang kumat! Cemburunya jelek. Lagian kenapa ih. Kaya bukan suami Laila deh!”

Wajah Paul tertunduk. Ia menyadari jika dirinya sedang cemburu. Ada rasa sakit di dadanya saat Laila memanggil nama lelaki lain dengan panggilan yang begitu manis.

“Maafin abang, Sayang.” Paul kembali meletakkan kepalanya di pangkuan sang istri. Laila mengusap lembut rambut Paul yang sedikit gondrong. Saking sibuknya, ia sendiri sampai lupa mengurus diri.

“Abang ....”

“Iya, Sayang.” Paul menatap lekat wajah Laila.

“Jangan cemburu!”

“Insya Allah. Abang usahakan.”

“Laila sudah menjadi milik abang. Jangan terlalu difikirkan.”

“Iya ....”

“Laila sayang sama Abang!”

“Abang juga sayang sama Laila. Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan abang, Sayang.” Paul bangkit dan memeluk erat tubuh Laila. Lelaki berkacamata itu lantas mengajaknya untuk tidur karena malam yang semakin larut.

**

“Abang berangkat kerja dulu, ya.” Paul mencium kening Laila. Wanita itu meraih tangan Paul lalu mencium punggung tangannya ta’zim.

“Abang hati-hati. Jangan terlalu capek.”

“Iya ... Assalamu’alaikum.” Motor Paul pun berlalu meninggalkan pekarangan rumah, membelah jalan yang sudah padat.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang