Pertemuan

158 11 3
                                    

Kondisi Laila semakin membaik, ditambah sikap Paul yang semakin perhatian padanya. Lelaki berkacamata itu pun semakin berhati-hati dalam berkata, takut menyinggung perasaan sang istri.

"Laila mau ke sekolah lagi ya, Bang," ucap Laila suatu malam saat keduanya tengah duduk menikmati waktu sambil minum teh hangat berdua. Sementara sang Mak lebih senang berdiam di dalam kamar selepas solat Isya.

"Laila yakin sudah baikan?" tanya Paul. Membelai lembut kepala sang istri.

Laila membuang napasnya berat, pandangannya melihat ke arah halaman yang becek setelah hujan turun siang tadi.

"Udah. Lagian Laila nggak mau dimanjain Abang terus."

"Loh. Kan udah kewajiban abang buat ngelakuin itu. Abang juga ikhlas."

"Iya sih, Bang." Laila menyandarkan kepalanya di bahu Paul.

"Tapi Laila rindu sama anak-anak, Laila rindu mengajar," ucapnya lagi.

"Kalau Laila mau ngajar lagi, ya sudah. Abang ijinkan."

"Beneran, Bang?" Laila mengangkat kepalanya dan memandangi wajah Paul. Lelaki berkacamata itu pun menoleh lalu mengangguk.

"Abang baik banget. Makasih."

Muach ....

Laila mencium pipi kanan Paul, saking bahagianya.

"Ishh ... istri abang udah bisa agresif, ya?" ledek Paul.

"Kan Abang yang ajarin."

"Humm ... kalo gitu. Sekarang berarti mau dong?"

"Mau apa?" tanya Laila sedikit bingung.

"Abang kedinginan, Sayang. Butuh kehangatan." Paul mendekatkan wajahnya, dengan bibir yang sedikit dimonyongkan.

"Ish, Abang kumat. Nakal." Laila berlalu meninggalkan Paul sendiri di teras dan masuk ke dalam kamar. Sementara lelaki berkacamata itu tertawa terbahak-bahak melihat wajah Laila yang memerah.

**

Laila sudah rapi mengenakan baju mengajar, setelahnya menyiapkan sarapan dan juga bekal untuk sang suami. Mak Nur sebenarnya tidak mengijinkan jika sang menantu terus mengajar, ia takut jika Laila akan kelelahan. Tapi ia tak bisa berbuat banyak, karena ia pun menghargai keputusan Laila juga Paul. Mak Nur hanya bisa mendoakan semoga keduanya dalam keadaan sehat.

Setelah pamit pada Mak, keduanya pun masuk ke dalam mobil. Segera Paul melajukan kendaraan putih itu menerobos keramaian jalan pagi hari.

"Laila jangan terlalu capek, ya. Kalo udah ngerasa nggak nyaman atau gimana, telepon abang. Biar nanti abang jemput. Ngerti!" seru Paul dengan nada tegas. Wajahnya tetap lurus menatap jalan.

"Iya, Sayang." Laila tak bisa berbuat banyak, sejak kejadian pendarahan tempo hari, sikap Paul semakin protektif.

Laila bersyukur memiliki suami seperti Paul. Meski kadang sikapnya terkadang aneh dan sering usil. Tapi lelaki itu teramat baik dan sangat mencintai dirinya. Baginya, tidak ada lelaki mana pun yang baik selain Paul.

Tiga puluh menit kemudian, mobil Paul berhenti di parkiran sekolah.

"Laila ngajar dulu ya, Bang. Abang hati-hati di kedai." Laila meraih tangan kanan Paul dan menciumnya ta'zim.

"Iya, Laila juga ingat. Jangan terlalu capek. Obat dari dokter jangan lupa diminum."

"Iya ...." Laila turun dari mobil.

"Assalamu'alaikum ...," ucap Paul.

"Waalaikumsalam ...."

Paul membawa kendaraannya keluar area sekolah, kembali ke jalan besar menuju kedai.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now