Ngidam

228 12 1
                                    


Laila merebahkan tubuhnya di kasur, ia merasa mual dan terus saja ingin muntah. Paul dengan siaga menjaga dan merawat Laila. Lelaki berkacamata itu sudah tertidur lelap di sebelah Laila, tubuhnya menghadap dinding dengan memeluk bantal guling. Laila menyandarkan punggungnya di ranjang dengan diganjal bantal.

Tangannya mengusap lembut rambut Paul. Hatinya mengucap syukur yang tak terhingga bisa mendapatkan seorang suami sabar juga dewasa seperti Paul. Meski terkadang suka iseng menggoda, tapi ia tahu bahwa Paul adalah lelaki terbaik.

Pintu kamar terbuka, Mak Nur masuk membawa nampan berisi teh hangat dan meletakkannya di nakas. Wanita paruh baya itu lantas duduk di sisi ranjang.

"Maaf ya, Mak. Laila nggak bantu masak dulu. Masih mual," ucap Laila.

"Nggak apa-apa. Mak juga dulu merasakan hal yang sama saat hamil abang. Malahan Mak ngidam aneh," ucap Mak. Menoleh ke arah putra semata wayangnya yang tertidur pulas.

"Ngidam apaan, Mak?"

"Ahh ... udah ah. Lupain aja. Nanti abang malu kalo Mak cerita."

"Cerita aja, Mak. Laila pengen tau."

"Mak ngidam pengen ngelus janggut ustadz yang suka datang mengisi kajian di masjid. Padahal rumahnya jauh dari sini."

"Terus ...?" tanya Laila penasaran.

"Abah mengabulkan ngidam, Mak. Lalu pinjam motor sama saudara buat ke sana. Alhamdulillah Abang sama ustadz itu memiliki kesamaan wajah. Ya karena memang Mak suka lihat gaya beliau ceramah."

"Tapi, Mak. Laila malah suka kesel liat abang. Nggak suka aja gitu. Wajar nggak, sih?"

"Wajar aja, itu karena Laila sayang banget sama anak Mak. Iya, kan?"

"Ihh ... Mak." Laila membuang muka, menggigit bibir bawahnya menahan tawa.

"Laila mau makan apa? Biar Mak buatkan."

"Nggak usah, Mak. Makasih."

Laila kembali merasakan mual, dengan cepat keluar kamar menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa semakin lemas, ditambah pagi tadi makan hanya sedikit. Sekarang sudah muntah lagi.

"Muntah lagi, Sayang?" Paul memijat tengkuk Laila. Wanita itu tak banyak bicara, hanya bisa mengangguk lemas. Setelah mencuci mulut Laila, Paul menuntun ke dalam kamar. Mak Nur menatap khawatir, bahkan tadi pun sempat membangunkan Paul yang masih tertidur, takut terjadi apa-apa pada menantunya.

"Laila makan ya. Mau makan apa, Sayang?"

Laila merebahkan diri di kasur, ia merasakan tubuhnya sangat lemas. Kepalanya juga pusing.

"Nggak napsu makan, Bang."

"Laila harus makan. Biar nggak lemas."

"Tapi nggak mau, mual, Bang!" Laila kesal. Selalu saja memaksa untuk makan. Kenapa Paul begitu memaksanya untuk makan.

"Sedikit aja. Ya," bujuk Paul, tanpa lelah.

"Abang ngerti nggak sih! Laila nggak pengen makan apa pun. Nggak enak! Mual!" Laila seolah habis kesabaran.

Paul meraih tangan Laila, dan menggenggamnya erat.

"Maafin, abang. Karena abang Laila harus merasakan nggak nyaman. Dan kehilangan napsu makan. Maaf."

"Kenapa Abang harus minta maaf. Ini semua kehendak Allah. Nggak ada yang harus disalahkan."

Paul mendekatkan wajahnya dan mencium kening Laila, "Terima kasih, Sayang."

"Abang ambilkan makan, tadi Mak minta abang kasih buat Laila."

Laila mengangguk, lelaki berkacamata itu pun beranjak menuju dapur. Di sana Mak Nur sudah menyiapkan sepiring nasi yang dimasak dengan lembut juga ayam yang disuwir . Untuk beberapa hari ini Laila sama sekali tidak berselera untuk makan, terkecuali bubur atau nasi yang dimasak dengan sangat lembut.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang