Hukuman

325 24 7
                                    

Paul membuka matanya saat azan Subuh berkumandang. Ia memandangi wajah Laila yang tertidur di lengannya. Tubuh polosnya masih tertutup selimut. Ingatan lelaki itu berputar beberapa jam saat keduanya tenggelam dalam gairah cinta.

Laila dengan setia dan ikhlas melayaninya meski dalam keadaan marah dan hati yang kecewa. Itu justru membuat Paul semakin sakit dan menyalahkan dirinya sendiri. Oh Tuhan, bagaimana mungkin engkau hadirkan bidadari dalam kehidupan ini. Ia begitu tegar dan setia. Mampu meredam amarahnya sendiri.

Lelaki berkacamata itu mengusap keringat yang membasahi kening Laila. Gigi Laila terdengar gemeretak. Panik. Paul menyentuh kembali menyentuhkan tangannya di kening juga leher, Laila demam. Dengan perlahan, Paul meletakkannya kepala Laila di atas bantal, ia lalu bangkit dari ranjang dan mengenakan celana yang tergeletak di lantai.

Ia bergegas keluar kamar, mengambil air juga handuk kecil untuk mengompres Laila. Ruang tengah masih gelap, Mak Nur tampak belum bangun. Paul dengan cepat mengambil yang ia butuhkan, dan kembali ke dalam kamar.

Terdengar Laila merintih dengan sesekali memanggil nama Paul dengan suaranya yang parau. Rintihan itu semakin membuat hati Paul sakit. Lagi, ia membuat Laila sakit. Bodoh ... rasa cemburunya membuat wanitanya harus merasakan akibat sikapnya.

"Abang ...."

Perlahan Laila membuka matanya, menatap ke arah Paul yang sedang menatapnya dengan mata yang basah. Lelaki itu menangis. Ia ... menangis karena sudah kembali menyakiti Laila. Dengan semua sikapnya.

"Maafin abang, Laila. Abang berdosa!" Paul menyentuhkan kepalanya di bahu Laila. Lelaki itu menangis sesenggukan. Laila mengusap punggung Paul yang tidak mengenakan baju.

"Solat, yuk. Udah subuh 'kan?" ajak Laila. Paul mengangkat wajahnya, memandangi wanitanya dengan lekat. Oh ... di mata Laila masih banyak rasa cinta dan juga sayang untuknya. Sorot matanya tak ada sedikitpun rasa marah atau benci padanya.

Paul mengambil pakaian Laila yang ada di sisi ranjang, lalu membantunya mengenakan pakaian itu.

Laila merasakan tubuhnya gemetar. Dibantu Paul, ia keluar kamar dan membersihkan diri. Setelah itu keduanya melaksanakan salat Subuh berjamaah.

Laila kembali ke dalam kamar, ia merasakan kepalanya seperti berputar. Berdiri sebentar saja rasanya seperti akan jatuh. Paul menemani Laila. Tangan kanannya mengusap rambut Laila yang masih sedikit basah, tangan kirinya mengusap lembut perut Laila, dengan sesekali menciumi perutnya.

"Abang minta maaf. Demi Allah, abang tahu Laila marah sama abang. Laila boleh benci sama abang. Benci aja. Jangan ditahan," ucap Paul panjang lebar.

Laila menatap Paul dengan penuh cinta. Ia sama sekali tidak bisa membenci lelakinya. Lelaki yang membuatnya jatuh cinta untuk pertama kali. Laila menggenggam tangan Paul yang ada di atas perutnya, mengusapnya lembut.

"Laila nggak benci sama Abang. Karena Laila sayang!"

Ucapan yang terlontar membuat Paul kembali meneteskan air mata, ia tak menyangka cinta dan sayang Laila padanya begitu besar. Paul mencium kening Laila, pipi, hidung, dan mencium lembut bibir istrinya. Terasa manis juga hangat di sana. Ketulusan cinta Laila benar-benar Paul rasakan. Ia sudah tidak peduli bagaimana perasaan Adam pada Laila, ia tak peduli lagi. Apa pun yang terjadi, ia akan menjaga Laila juga rumah tangganya segenap hati.

"Bang ...," panggil Laila saat bibirnya terlepas dari ciuman Paul. Napas Paul terengah-engah.

"Apa, Sayang!"

"Laila nggak masuk ngajar dulu, Ya. Badan Laila sakit semua."

Paul semakin merasa bersalah pada Laila. Ia sadar jika keintiman yang tercipta tadi malam bukan hanya karena hanya rasa rindu, tapi juga saat dirinya berada dalam pengaruh alkohol.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now