Penjelasan

236 13 0
                                    


Laila mengendurkan pelukan, kakinya perlahan berjalan mundur. Meninggalkan Paul sendiri di ruang tengah dan masuk ke dalam kamar. Tanpa kata wanita itu meninggalkan sang suami yang tampak kelelahan sepulang kerja tanpa membuatkan minum seperti biasanya.

Lelaki itu mengendus bau tubuhnya, benar saja, aroma parfum yang tadi siang disemprotkan Fitri ke bajunya membuat seolah memakai parfum seorang wanita.

Siang tadi, alih-alih Fitri datang ke kedai meminta bantuannya memilihkan parfum yang dijual Paul, dengan sengaja menyemprotkan parfum ke baju bukan lengan. Mau mencegah pun terlambat, aroma parfum itu menyeruak ke baju juga tubuhnya.

Segera Paul menghampiri ke dalam kamar. Ia merasa bersalah karena tidak sempat menjelaskan, juga pertanyaan lalu yang sempat hendak ditanyakan Laila.

Di dalam kamar, tampak Laila duduk di atas kasur memeluk lutut. Tatapan matanya kosong,  air matanya berlinang membasahi pipi tanpa terdengar isak. Rasa sakit di dadanya terlihat jelas dari air mata yang terus saja turun.

"Sayang ...." Paul duduk di sebelah istrinya. Laila tak bergeming. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar, bingung bagaimana cara menjelaskan semuanya dan membuat Laila percaya lagi. Sementara Laila terus saja menangis.

"Besok Laila mau pulang ke rumah Abi." Tanpa menoleh. Suara Laila masih tertahan dibalik air mata yang membasahi pipi.

"Laila ... mau dengar penjelasan abang?"

Laila tak menjawab, dan itu bisa diartikan 'ya oleh Paul. Lelaki itu bangkit, mencoba mencari ponsel milik Laila. Dijumpainya benda pipih itu di dalam tas kerja Laila.

"Laila lihat ... ini yang dulu Laila ingin tanyakan?" Paul menunjukkan Poto dirinya dengan Fitri tempo hari. Laila tetap tak bergeming lalu menyandarkan kepalanya ke dinding, ia merasakan kepala yang terasa berat. Paul meletakkan ponsel di atas kasur, hendak meraih kepala Laila dan memeluknya.

"Jangan sentuh Laila, Bang!"

Niat Paul urung dilakukan, ia kembali menjelaskan kejadian beberapa hari yang lalu. Saat itu dirinya terlihat sedang duduk berdua dengan Fitri. Siang itu dirinya sedang duduk, karena baru bisa beristirahat setelah mengirimkan barang, lalu datang Fitri dengan menawarkan diri mengajaknya makan siang bersama. Dengan jelas ditolaknya.

"Demi Allah, Laila. Abang sama sekali nggak ada niat buat sembunyikan apa pun." Paul menyentuh tangan Laila, wanita itu diam pun tak menoleh ke arah lelaki yang sedang menatapnya dengan wajah yang sudah sangat lelah setelah seharian bekerja.

"Lalu, bisa Abang jelaskan. Kenapa bisa pake parfum wanita?" tanya Laila dengan nada suara datar.

"Siang tadi. Fitri datang minta abang buat bantuin dia pilih parfum. Abang kira dia bakal semprot parfum itu di tangannya, malah ke baju abang." Paul berusaha meyakinkan wanita di hadapannya.

"Abang mohon. Laila percaya sama abang, ya."Paul  meraih lengan Laila, lalu merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Dengan cepat Laila menghindar, dan mendorong dada Paul.

Pikiran Laila teringat ucapan Mak Nur tadi selepas solat, agar apa pun yang terjadi untuk tidak meninggalkan Paul, dan selalu percaya pada putra semata wayangnya.

"Aroma parfum di tubuh Abang bikin Laila nggak nyaman!"

Paul membuka dua kancing kaosnya, melempar baju tersebut asal hingga jatuh ke lantai. Tinggallah tubuh kurus Paul terbalut kaos oblong hitam.

"Sekarang bagaimana?" Lelaki itu merentangkan tangannya, menanti persetujuan apa lagi yang harus dilakukannya agar Laila berkenan untuk disentuh.

"Malam ini, Laila mau tidur sendiri." Laila turun dari kasur, hendak keluar kamar.

"Laila mau ke mana?" Tangan Paul lebih dulu menyentuh gagang pintu. Mencegah Laila yang hendak ke luar dari kamar.

"Bukan urusan Abang." Laila dengan sikap dinginnya.

"Jangan tinggalin, Abang!" Paul mengunci pintu dan mengambil kunci lalu menaruhnya di saku celananya.

Laila diam. Ia terus memaksa hendak membuka handel pintu. Tapi tangan Paul terlalu kuat menahan pintu. Sedikit menggoda, Paul membusungkan dada menyentuhkan ke lengan Laila. Lelaki itu tak tahan jika harus berlama-lama perang dingin dengan wanita kesayangannya.

"Ish ... Abang bau!" Laila menghindari tubuh Paul yang terus-menerus berusaha mendekat. Lelaki itu tertawa terkekeh-kekeh. Dengan santai Paul melepas kaos oblong yang menutupi tubuhnya. Kini lelaki itu bertelanjang dada sudah.

Paul meraih parfum milik Laila yang tergeletak di meja rias, dan menyemprotkan ke tubuhnya. Aroma bunga Lily menyeruak memenuhi ruangan kamar.

Laila terduduk di sisi ranjang, memerhatikan tingkah lucu suaminya tersebut. Lelaki itu selalu saja pandai mencairkan suasana, terlebih saat hatinya yang sedang memanas. Perlahan Paul berjalan mendekati Laila dan duduk di sebelahnya.

Paul meraih tangan Laila, dan menyentuhkan ke wajahnya.

"Abang sayang sama Laila ... jangan tinggalin abang, Sayang!" Paul mendekatkan wajahnya dan mencium kening istrinya.

"Maafkan jika abang ada salah dan khilaf. Tegur abang, ya," pinta Paul dengan memelas. Laila mengangguk, sekuat hati ia percaya pada lelaki di hadapannya. Baginya, kepercayaan adalah hal utama, dan Laila mempercayai Paul.

Paul merengkuh tubuh Laila dalam pelukannya, hatinya bersyukur karena Laila masih mempercayainya. Juga merasakan lega karena sudah jujur tentang segalanya. Senyuman dan kebahagiaan Laila adalah hal yang paling utama.

"Oh, ya. Abang ada hadiah buat Laila." Paul mengendurkan pelukannya, dan meraih tas kerjanya. Ia mengambil sebuah kotak berwarna putih tulang dan menyerahkan ke atas pangkuan Laila.

"Ini apa, Bang?" Laila menatap Paul heran. Lelaki itu tersenyum dan meminta untuk membukanya. Ulang tahun pernikahan masih lama, juga ini bukan ulang tahunnya. Dengan perasaan bercampur Laila membuka kotak tersebut. Matanya membelalak saat melihat isi kotaknya.

"Kunci mobil?" tanya Laila. Matanya yang sudah saja normal bekas tangis tadi, kini mulai basah kembali saat haru menyeruak di dalam hatinya.

"Alhamdulillah. Ini rezeki. Sebenarnya abang sering pulang malam. Nyari rezeki lebih. Dan pengen kasih ini buat Laila. Buat rumah tangga kita." Paul menggenggam tangan Laila yang menyentuh kunci mobil yang masih di dalam kotak.

"Terimakasih, Sayang. Sudah mendukung abang selama ini." Paul kembali memeluk tubuh Laila. Erat ... lebih erat. Lelaki itu membuka hijab yang masih menempel di kepala Laila, rambut panjangnya tergerai indah.

"Istri abang, Sayang. Jadilah permaisuri di singgasana hati abang. Sampai nanti." Paul meraih saklar lampu di nakas. Lampu utama  padam. Namun cinta di hati keduanya semakin membara.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang