Orang Ketiga

268 13 0
                                    


Mata sipit Paul membelalak menatap foto pada layar ponsel. Tangan Laila yang terulur bergetar hebat. Keduanya duduk berhadapan, Laila dengan sisa kesabarannya menanti jawaban yang akan terlontar dari bibir lelaki di hadapannya. Paul menundukkan kepala, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

Laila mengigit bibir bawahnya, menahan air mata yang sedari tadi ditahannya. Tak kuasa, matanya mengembun, air mata kekecewaan membasahi pipi kala tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut Paul.

Laila menarik kembali tangannya, mematikan layar ponsel dan menaruhnya kembali ke dalam tas. Ia bangkit hendak ke luar kamar, dengan cepat Paul berdiri dan menggenggam tangan Laila dan mencegahnya membuka pintu.

"Laila mau ke mana, Sayang?" Paul menatap lekat ke manik Laila yang basah. Nampak jelas luka di sana, rasa cemburu juga amarah yang tertahan yang tidak mampu ia lampiaskan.

"Laila mau ambil minum." Laila membuang muka, menghindari tatapan Paul. Ia tak mau lagi dengan mudahnya luluh dengan semua sikap romantis yang diberikan. Pelan, Laila mendorong dada Paul agar tidak menghalangi jalannya.

"Abang ambilkan, ya!" sergahnya.

"Tidak perlu. Laila bisa ambil sendiri." Laila menatap Paul dengan pandangan penuh amarah.

"Sayang ...." Paul menggenggam erat tangan Laila. Sekuat tenaga Paul merengkuh tubuh Laila yang sikapnya berubah dingin.

Sekuat tenaga Laila berusaha melepaskan diri dari dekapan Paul, ia bahkan tak segan memukul lengan juga punggungnya. Tapi tenaganya terlalu lemah untuk melawan. Lelah. Laila menyerah dan membiarkan Paul memeluk tubuhnya dengan begitu erat.

"Abang bisa jelasin. Tapi nggak sekarang. Abang benar-benar lelah, Sayang." Paul mengusap kepala Laila, tubuh istrinya bergetar hebat, wanita kesayangannya benar-benar sedang marah.

"Nggak perlu dijelaskan. Abang istirahatlah." Laila berusaha bersikap normal. Napasnya yang semula tak beraturan kini sedikit lebih tenang. Paul mengendurkan pelukannya, menangkup wajah Laila, dan menghujaninya dengan kecupan.

"Abang ... tidur!" sergah Laila saat bibir Paul hendak menyentuh bibirnya.

Lelaki itu tersenyum, kedua tangannya melepaskan hijab yang sedikit basah bekas air mata, "di hati abang cuma ada Laila. Laila adalah wanita yang pertama dan terakhir di hidup abang, paham!"

Laila berusaha untuk tersenyum, meski terasa dipaksakan. Malam ini, ia tidak mendapatkan jawaban apa pun. Ia sendiri tak tega jika harus bertanya lebih jauh, suaminya benar-benar lelah. Yang ia butuhkan adalah pengertian, meski jiwa keingintahuan Laila sedang berada pada puncaknya.

Laila menatap kosong langit-langit kamarnya, tubuhnya boleh saja terbaring di atas kasur, tapi hati dan pikirannya mengembara entah ke mana.

"Sayang ...," panggil Paul. Laila menoleh ke arah lelaki di sebelahnya. Untuk beberapa saat keduanya beradu pandang dalam diam.

"Tidurlah, Bang. Tadi bilang capek." Laila memutar posisi kepalanya menghadap dinding. Ucapannya masih terdengar dingin.

"Laila ... lihat abang!"

Diam ... untuk pertama kalinya ingin sekali rasanya Laila membantah perintah lelaki yang sudah menjadi suaminya itu. Tapi ajaran Abi selalu terngiang-ngiang di kepalanya, bagaimana pun keadaannya tidak baik membantah keinginan juga perintah dari suaminya.

Laila memutar kepala, wajahnya kini menatap Paul yang sedang menatapnya, "kata mau tidur. Kenapa belum tidur juga?"

"Abang nggak bisa tidur?"

"Kenapa?" Laila berusaha agar nada bicaranya masih terdengar biasa saja. Ia sendiri pun sulit tidur jika tidak dipeluk oleh Paul.

"Abang kedinginan."

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now