Maaf

170 13 0
                                    


Paul mengikuti dokter yang memintanya memasuki ruang kerjanya. Sementara Mak dan Wak dengan perasaan cemas menunggu Laila di depan ruangan.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Paul saat sudah berada di ruangan kerja dokter. Wajahnya penuh kecemasan, sesekali air matanya mengalir, tapi segera ia usap menggunakan punggung tangan.

"Kram pada ibu yang sedang hamil muda itu biasa. Tapi jika dibarengi dengan stres ditambah kandungan yang lemah itu bisa berakibat fatal. Bisa saja mengalami keguguran," jelas dokter. Paul memerhatikan dengan saksama wanita yang duduk di hadapannya.

Paul memegang erat lengan kursi yang didudukinya. Debar jantungnya berpacu dengan cepat, ia tak menyangka jika perbuatannya bisa berakibat fatal.

"Maksud dokter, kandungan Laila itu lemah?"

"Iya ... saya sarankan agar istri anda tidak terlalu banyak pikiran. Juga usahakan tidak melakukan pekerjaan yang berat."

"Lalu, bagaimana kondisinya sekarang? B-ba-agaimana dengan anak saya?" tanya Paul terbata-bata. Ia sudah tak bisa lagi membendung air matanya.

"Allah masih melindungi istri dan bayi yang ada di dalam kandungannya. Alhamdulillah, istri anda dibawa tepat waktu dan masih bisa kami selamatkan."

"Maksud dokter. Laila dan bayi dalam kandungannya dalam keadaan baik-baik saja?" tanya Paul. Ia melepas kacamatanya, dan mengusap air mata dari wajahnya.

"Iya ... alhamdulilah. Tapi kedepannya, saya harap istri anda jangan sampai mengalami hal-hal yang bisa mengganggu pikirannya. Ia harus banyak-banyak istirahat."

"Baik dokter. Tapi ... apa sekarang saya boleh melihatnya?"

"Boleh ... tapi tunggu sampai kami pindahkan ke ruang rawat."

"Baiklah. Kalau begitu, saya permisi. Terimakasih."

Paul menangkupkan tangannya dan berlalu dari ruangan yang serba putih tersebut. Langkanya terasa ringan saat hendak memberitahukan kondisi Laila pada Mak dan Wak.

Dari ujung lorong, dua orang perawat mendorong tempat tidur pasien keluar dari ruangan tempat Laila tadi mendapatkan pertolongan. Juga terlihat Mak dan Wak mengikuti dari belakang. Paul mempercepat langkahnya mendekati keduanya.

Mak dan Wak saling pandang saat Paul turut serta mendorong ranjang berjalan itu. Wajah Paul terpaku menatap wajah Laila yang tampak pucat. Pakaiannya kini sudah berganti pakaian khusus pasien rumah sakit. Selang infus tertancap di pergelangan tangan kirinya.

Laila dipindahkan ke ruangan rawat, yang di dalamnya hanya ada satu pasien, yaitu hanya dirinya. Paul ingin memberikan pengobatan yang terbaik bagi istri dan calon bayinya.

"Mohon maaf. Untuk beberapa jam kedepan, pasien jangan diganggu dulu. Jadi mohon menunggunya di luar saja. Jika ada administrasi yang belum diselesaikan, mohon segera dilunasi," ucap salah seorang perawat. Lalu keduanya terus mendorong ranjang dan menutup pintu rapat. Mak, Wak, dan Paul terpaksa menunggu di luar ruangan inap VIP.

"Apa yang dokter katakan?" tanya Wak.

"Laila dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan baik-baik saja, Wak." Paul duduk di kursi yang berjejer di depan ruangan. Ia merasakan tubuhnya lemas mendapati kabar yang membuatnya takut.

"Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mak dan Wak berbarengan.

"Mak lebih baik pulang saja. Biar abang yang jaga Laila di sini," ucap Paul. Ia melihat sang Mak yang masih mengenakan pakaian songket lengkap. Paul sadar jika Mak dan Wak langsung membawa Laila ke rumah sakit dan belum sempat mengganti pakaian.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora