Flashback

430 19 0
                                    


Adzan Zuhur berkumandang satu jam yang lalu, suasana sekolah tampak sepi karena semua murid meninggalkan area sekolah.

"Laila mau pulang?" tanya salah seorang guru wanita, yang melihat Laila keluar ruangan. Gadis berwajah bundar itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Saya duluan, assalamu'alaikum." Laila melangkah keluar dari ruangan guru, menuju kendaraannya terparkir di bawah pohon mangga yang berada di depan kantor guru.

"Assalamu'alaikum ...."

"Waalaikumsalam." Laila menoleh ke arah suara seorang lelaki di belakangnya. Mata bundarnya semakin besar kala melihat sosok yang tak asing baginya, "Abang .... eh, maaf. Maksud saya. Paul?" Laila tergagap saat mendapati lelaki yang tadi pagi bertandang ke rumahnya, kini mendatangi pula tempatnya mengajar.

"Sudah mau pulang, Dek?" tanya Paul.

Wajah putih Laila merona, ini kali pertama baginya ada laki-laki yang memanggil namanya dengan sebutan 'Dek. Ragu-ragu Laila mengangguk, tak berani menatap lawan bicaranya. Kedua tangannya meraih stang motor, lalu mendorongnya ke belakang.

"Saya boleh minta waktunya sebentar?" Dengan cepat Paul berdiri di hadapan Laila, mencegah gadis itu untuk pergi.

"Ada apa lagi?" Wajah Laila yang semula ramah, kini mendadak tak acuh. Ia tak suka jika ada yang menghalangi jalannya, pun tidak suka berbasa-basi. Paul memahami jalan pikiran gadis di hadapannya, tampak jelas dari pancaran wajah Laila.

"Saya ingin ta'aruf denganmu. Boleh?" Tegas, lantang lelaki bertubuh tinggi itu berucap. Wajah Laila yang semula menatap lurus kepada lawan bicaranya, perlahan menunduk.

"Jika soal ta'aruf, bisa kamu bicarakan dengan Abi." Tertunduk tanpa berani menatap Paul yang menatapnya dengan tatapan, entah.

"Abi sudah memasrahkan semuanya padamu. Keinginan saya sudah beliau ketahui. Jadi saya menunggu jawaban darimu, Laila!" Paul meremas tali ranselnya, mencoba mencari kekuatan untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh hebat.

"Lantas apa yang ingin kamu ketahui lagi." Laila mengangkat wajahnya, memberanikan diri menatap Paul.

"Bolehkah saya ta'aruf."

"Silakan. Semoga tidak ada penyesalan di kemudian hari. Dan izinkan saya untuk pulang sekarang." Laila memasukkan kunci, dan menghidupkan motornya. Perlahan Laila meninggalkan Paul yang masih berdiri mematung di bawah pohon mangga.

**

"Maaakk ...." teriak Paul saat memasuki rumah tanpa mengucap salam. Wanita paruh baya tampak berjalan setengah berlari menghampiri Paul yang sedang duduk di kursi kayu. Kedua tangannya menopang wajahnya yang menatap ke luar jendela.

"Kenapa, Bang?" tanya Mak. Kedua tangannya memeriksa kaki juga badan anaknya, takut-takut jika putra semata wayangnya itu terjatuh dari motor butut miliknya seperti tempo hari.

Paul membiarkan Mak kesayangannya memeriksa dirinya, senyuman manis tetap terukir di wajahnya, kedua matanya tetap menatap ke halaman rumah, entah apa yang berada di dalam pikirannya.

Plakk ....

Sebuah pukulan keras mendarat di paha kiri Paul. Dan itu sukses membuat lelaki itu kembali ke alam sadar.

"Ya Allah, Mak. Sakit lah." Paul meringis, tangannya mengusap paha bekas pukulan sang Mak.

"Mak nanya, kenapa. Malah nggak dijawab. Itu muka kenapa senyum-senyum terus? Abang lagi nggak gila, kan?" Mak Nur berdiri menatap wajah Paul yang masih memancarkan kebahagiaan.

"Abang udah dapat izin dari orang tua Laila."

"Terus?"

"Insyallah, Abang akan bawa Laila. Jadi mantu Mak."

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt