Tanda-tanda

247 15 0
                                    


(Sebelumnya)

"Apa yang ada dalam pikiranmu, Fitri!" Mak Nur menatap penuh amarah ke pada gadis di hadapannya. Beruntung kedai sepi pengunjung, juga Ridwan yang tak kunjung pulang mengantar barang. Fitri menatap lantai, ia tak mampu menatap Mak Nur.

"Mak ...," lirihnya.

"Mak tidak habis pikir kamu bisa melakukan hal sejauh ini. Mak menghormati bapakmu. Sangat disayangkan, sikapmu sudah melampaui batas."

"Fitri cinta sama Abang Paul, Mak." Air mata Fitri yang semula terhenti kini kembali mengalir deras.

"Mak bersyukur Abang menolak pinangan bapakmu dan lebih memilih gadis sederhana seperti Laila."

Fitri kembali bungkam, kepalanya tertunduk. Malu. Ia sadar jika perbuatannya kali ini benar-benar telah mencoreng harga dirinya juga orang tuanya.

"Pulanglah. Tenangkan dirimu. Ingat ... Abang sudah menjadi milik orang lain. Ikhlaskan." Perkataan Mak Nur terdengar tegas dan tak bisa dibantah.

Fitri mengambil kerudungnya yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya, juga menghapus air mata yang membasahi pipinya. Setelah mencium punggung tangan Mak, Fitri berlalu meninggalkan kedai.

Ridwan baru tiba saat Fitri sudah pergi meninggalkan kedai, wajahnya tampak bingung saat melihat wajah Fitri yang terlihat sangat sedih, ditambah kedua matanya yang sembab. Lelaki tambun itu bertambah bingung karena sang bos tak ada di dalam, hanya Mak Nur yang terduduk di sudut kedai yang biasa Paul merekap nota.

"Assalamu'alaikum, Mak." Ridwan mencium punggung tangan Mak Nur.

"Waalaikumsalam."

"Abang ke mana?"

"Pulang, Wan. Oya, ngomong-ngomong kamera CCTV bisa tolong kasih lihat Mak rekamannya?"

"Buat apa, Mak?" tanya Ridwan bingung. Tak biasanya Mak Nur menginginkannya.

"Mak ada perlu."

Tak banyak bertanya, Ridwan memberikan rekaman CCTV ke pada Mak. Setelah didapati rekaman itu, Mak Nur pun pamit.

"Jika kamu lelah, kedai tutup awal pun nggak apa-apa. Abang kayanya nggak balik ke kedai lagi. Ada perlu."

Ridwan mengangguk paham. Mak Nur pun berlalu dari kedai. Menaiki angkutan umum lalu pulang.

**

Paul bangun dengan wajah lesu, ia merasa hampa saat tak ada Laila di sisinya. Biasanya jika pagi selepas solat Subuh berjamaah selalu dapat hadiah kecupan hangat, juga secangkir kopi panas di meja sebelum dirinya berangkat kerja.

Mak Nur muncul dari dapur, lalu duduk di sebelah Paul di ruang tengah. Lelaki berkacamata tampak menyandarkan punggungnya ke kursi, merasakan sakit di kepala karena memikirkan cara bagaimana membujuk Laila untuk pulang.

"Kapan mau jemput Laila pulang?"

"Entah, Mak. Abang takut Laila masih marah dan nggak mau pulang sama abang."

"Anak bodoh. Sudah pasti Laila marah. Wanita mana yang akan sabar melihat suami yang disayanginya sedang berpose mesra begitu."

"Abang paham, Mak. Tapi bagaimana kalo Laila nggak mau pulang sama abang? Abang takut kehilangan Laila."

"Saran Mak, biarkan Laila tenang dulu di rumah Abi Anwar. Nanti pikirkan cara lain untuk membujuk Laila pulang."

"Iya, Mak."

Paul kembali memejamkan matanya, ia merasakan malas karena tak ada Laila di sampingnya. Terlebih karena kepergiannya dalam keadaan marah. Paul kembali masuk ke dalam kamar, mengurung diri dan tidak berangkat ke kedai.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now