Cemburu Buta

197 7 0
                                    


Paul merapikan kembali pakaian Laila yang berada di kasur dan memasukkannya ke dalam lemari. Ini kali pertama ia melihat Laila semarah itu padanya. Memang ini semua adalah kesalahan yang dia buat, menuduh tanpa bukti. Tapi ini adalah sebagian dari rasa cemburunya yang tak terungkapkan.

Laila sudah tertidur beberapa saat yang lalu, kram di perutnya terasa lebih baik setelah minum obat pemberian bidan tempo hari. Tentunya setelah Paul memaksanya untuk minum. Ridwan sudah seringkali mengingatkan dirinya, agar selalu menjaga ketenangan hati istri yang sedang hamil. Karena hormon wanita saat mengandung gampang berubah-ubah. Dan tadi nyaris saja bisa berakibat fatal.

Paul mengganti kaosnya yang terasa basah, menggantinya dengan kaos putih tanpa lengan. Ia berbaring di samping Laila yang sudah terlelap. Tangannya mengusap wajah Laila, tampak kedua matanya yang sembab bekas tangis yang diakibatkan olehnya tadi. Hati Paul terasa sakit mengingat perbuatannya tadi, bahkan tak peduli saat wanita yang paling disayanginya berurai air mata.

"Maafin abang, Sayang." Paul mencium kening Laila dan berusaha untuk tidur. Meski dalam hatinya masih tersimpan ketakutan jika suatu saat nanti posisinya di hati Laila akan digantikan oleh Adam, yang memiliki kelebihan daripada dirinya.

**

Laila berusaha menyembunyikan sembab di matanya dengan make up. Tapi sehebat apa pun kekuatan make up, sisa tangis semalam tidak dapat disembunyikan. Ditambah Paul yang tampak lebih murung dari biasanya.

Mak Nur tak bertanya pada Laila atau pun Paul, hanya saja sikap juga wajahnya menatap lekat ke arah keduanya. Mak sadar, bertanya 'ada apa, itu tandanya sudah termasuk ikut campur, dan Mak tidak mau itu.

"Mak, abang antar Laila ke sekolah. Hari ini sudah harus kembali mengajar. Abang juga harus ke kedai." Paul mencium punggung tangan Mak ta'zim, disusul Laila juga berangkat.

Laila duduk manis di boncengan, Paul pun melajukan motornya, membelah jalan pagi yang cerah.

Sepanjang perjalanan keduanya hanya diam, meski Laila sudah bersikap seperti biasa, memegang pinggangnya dan mau menjawab saat ditanya. Tapi tetap saja Paul masih merasa sedih akan sikapnya semalam yang tidak mampu mengontrol emosi.

Setengah jam perjalanan, motor gede itu memasuki halaman sekolah. Halaman parkiran masih sepi karena hari yang masih terlalu pagi belum ada murid yang datang. Hanya beberapa guru yang sampai. Laila turun dari boncengan dan mencium punggung tangan Paul.

"Laila ngajar dulu, ya. Abang hati-hati kerjanya."

Laila hendak berlalu, tapi lengannya keburu dicekal Paul.

"Laila ...." Paul melepas helm yang dikenakan agar sedikit leluasa berbicara.

"Iya, Bang."

"Maafkan sikap abang semalam. Abang khilaf." Sorot mata Paul menunjukkan penyesalan yang teramat dalam.

"Laila ngerti. Laila juga minta maaf sudah marah-marah sama Abang."

"Ya sudah. Abang kerja dulu. Nanti siang abang jemput ya."

"Nggak usah, Bang. Biar Laila naik angkutan umum aja," ucap Laila lembut.

"Kenapa nggak mau abang jemput?"

"Abang di kedai sibuk. Laila nggak mau ganggu kerjaan Abang!" seru Laila berusaha agar bicaranya tidak menimbulkan salah paham.

"Abang nggak mau tau. Siang nanti abang jemput!"

"Abang ...."

"Sebelum abang sampai sekolah. Jangan pergi ke mana-mana. Paham!" seru Paul. Ia melepaskan genggaman tangan Laila dan mengenakan helm.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now