Tuduhan Palsu

181 10 1
                                    


Mak Nur memerhatikan tingkah laku anak semata wayangnya, lelaki berkacamata itu terus saja menempel pada menantunya, Laila. Bahkan saat wanita itu sedang mandi pun, Paul dengan setia menunggu di luar pintu kamar mandi.

Wanita paruh baya itu menghela nafasnya berat. Ia tak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Baginya, Paul sudah dewasa dan bisa menangani masalahnya sendiri. Ia pun meninggalkan keduanya dan masuk ke dalam kamar.

"Ya Allah, Abang ngapain berdiri di sini?" tanya Laila saat dirinya keluar kamar mandi dan melihat Paul berdiri menyandarkan punggung di tembok. Laila sudah mengenakan pakaian ganti dan mengenakan handuk yang menutupi kepalanya.

"Nunggu Laila mandi. Kenapa?" lelaki itu malah berbalik nanya.

"Ngapain nunggu? Abang kebelet?"

"Nggak."

"Terus?"

"Takut Laila kenapa-napa. Makanya abang nunggu di sini. Biar Laila aman."

"Ya Allah." Laila menepuk keningnya sendiri. Ia tak habis pikir jika sikap suaminya bisa over protektif begini.

"Ke kamar, yuk. Biar abang bantu keringin rambut." Paul menarik lengan Laila pelan, dan menuntunnya masuk ke dalam kamar.

Lelaki itu mendudukkan Laila di depan meja rias. Meraih hairdryer dan mengeringkan rambut panjangnya. Laila hanya diam, menikmati setiap sikap mesra dari Paul. Tapi jujur saja, dalam hatinya masih banyak hal yang ingin ditanyakan. Tapi, ia tak ingin menambah beban lelaki itu.

"Oke ... sudah kering." Paul mematikan hairdryer dan menyimpannya kembali di meja. Kedua tangannya menyentuh kepala Laila, lalu mengecup pucuk kepalanya.

"Geli, Bang." Laila bergidik geli saat kedua tangan Paul mengusap kepala hingga lehernya.

"Siap mandi junub lagi, Sayang?" bisik Paul di belakang telinganya.

"Abang nakal, ish." Laila mencubit gemas tangan Paul yang memegangi bahunya. Lelaki itu tersenyum. Tangannya memutar tubuh Laila agar menghadap ke arahnya. Paul duduk bersimpuh di hadapan sang istri, kedua tangannya menggenggam erat tangan Laila.

"Laila ... Abang memang tidak setampan Yusuf. Tidak sekaya Sulaiman. Tidak sesempurna Muhammad. Tapi hati abang cuma buat Laila." Lelaki itu menatap lekat ke wajah sang istri.

"Abang ... Laila tidak setaat Hadijah. Tidak solehah layaknya Fatimah. Tapi Laila akan berusaha menjadi baik, meski bukan yang terbaik. Demi masa depan kita." Tubuh Laila luruh dan duduk bersimpuh di lantai.

Keduanya saling menatap, Laila menyadari ada yang sedang lelaki itu pikirkan. Hanya saja, Paul enggan untuk terbuka.

"Abang kenapa? Apa yang sedang mengganggu pikiran Abang?"

Paul melepaskan genggamannya, ia tergagap dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Bang ...."

Laila meraih wajah Paul dan mengarahkan padanya. " Jawab jujur. Jangan bohong."

"Nggak apa-apa." Paul melepaskan tangan Laila dari wajahnya. Ia lantas berdiri meninggalkan Laila yang masih duduk di lantai. Paul merebahkan tubuhnya di kasur, tak peduli pada Laila yang menatapnya dengan tatapan cemas.

Laila mengembuskan napasnya berat, ia lalu berdiri dan meraih kerudung yang diletakkan di gantungan yang menempel di dinding. Meraih handel pintu dan keluar dari kamar.

Laila meraih pisau hendak mengupas beberapa buah untuk Mak dan Paul. Meletakkan tiga buah apel yang diambilnya dari kulkas, dan meletakkan di meja. Ia berusaha untuk tenang agar tidak terlalu memikirkan hal yang tidak perlu. Tapi semakin lama, sikap aneh suaminya benar-benar mengganggu pikirannya. Belum lagi ucapan bibi kemarin yang menanyakan soal keberadaan di mana Adam. Padahal sudah beberapa tahun ini ia pun tak tahu di mana keberadaan lelaki itu.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now