Masih Ada Maaf

313 23 2
                                    


Laila berkonsentrasi mengemudi, dalam diam ia menahan amarah yang bergejolak dalam dadanya. Mak Nur pun ikut diam, tak berani membuka suara. Ia tak berani bertanya pada Laila, apa lagi bertanya pada Paul. Lelaki berkacamata itu duduk dengan kepala bersandar pada kursi. Ia pun tak berani membuka suara, apa lagi menyentuh sang istri dengan keadaannya yang berantakan.

Laila memarkirkan mobil, ia lantas membukakan pintu sebelahnya, membantu Mak Nur turun. Laila lantas meminta mertuanya untuk segera beristirahat dan akan mengurus Paul yang masih dalam keadaan setengah sadar. Lelaki berkacamata itu turun dan berjalan di belakang Laila. Langkahnya masih sempoyongan, tapi ia tahan.

“Laila ... sayang.” Paul meraih pergelangan tangan Laila, tapi dengan kasar ditepisnya.

“Jangan sentuh Laila!” serunya dengan nada sedikit tinggi. Matanya berembun, menatap Paul dengan tatapan sedih juga kecewa.

“Laila ... Abang salah. Abang minta maaf.” Tubuh Paul ambruk di kaki Laila. Kepalanya pusing juga pengaruh alkohol belum sepenuhnya hilang.

Laila mundur selangkah, menghindari Paul yang hendak menyentuhnya lagi. “ Harusnya Abang berpikir lebih jauh sebelum melakukan ini. Ingat, Bang. Minuman keras itu di haramkan Allah. Salah apa Laila sampe Abang mabuk kaya gini.” Belum sempat Paul menjelaskan, Laila sudah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Paul yang masih terduduk di lantai.

Memang tidak baik bertengkar di luar, apa lagi di teras pada saat tengah malam. Laila menahan hatinya yang bergemuruh. Ia berusaha untuk tenang, mengingat pesan bidan tempo hari ia tidak boleh terlalu stress. Laila duduk di sisi ranjang, berusaha menenangkan hati juga pikirannya. Jujur saja, ia lelah menghadapi Paul yang semakin aneh. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Laila lantas berganti pakaian dengan baju tidur. Ia menyimpan gamis bekas pakainya di keranjang di sudut kamar, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Pukul dua belas malam, tapi ia sama sekali belum merasakan kantuk. Sedikit khawatir, karena Paul belum juga masuk ke dalam kamar, ingin rasanya mengurusi sang suami yang dalam keadaan begitu, tapi diurungkan. Ia membiarkan lelaki itu mengurusi dirinya sendiri.

Perut Laila terasa kram, tendangan kecil dari dalam perutnya semakin sering. Bisa jadi calon bayinya merasakan kegundahan yang dirasa Laila. Laila merasakan tak nyaman, ia lupa belum minum susu hamil sudah beberapa hari ini. Karena kantuk yang tak kunjung datang, ia memutuskan untuk membuat susu hangat.  Laila menyentuh handel pintu hendak membukanya, tapi dari luar pintu itu dibuka. Tampak Paul masuk dengan menenteng satu gelas susu hangat untuknya. Lelaki berkacamata itu tampak segar dengan rambut yang basah, juga handuk yang melingkar di pinggang.

“A-abang ngapain?” Laila tampak malu melihat Paul yang bertelanjang dada selepas mandi. Lelaki itu sengaja mandi agar bau alkohol yang masih menempel di badannya hilang.

“Abang mandi. Ini nggak pake baju,” jawab Paul asal. Ia meletakkan susu di nakas, lalu membuka lemari hendak mengambil pakaian.

“Baju Abang itu di kasur. Udah Laila siapkan,” ucap Laila dingin tanpa menatap Paul. Ia kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi miring membelakangi Paul.

Paul menoleh, lalu mengenakan pakaian yang sudah disiapkan sang istri. Hatinya semakin hancur karena ia tak bisa mengendalikan emosi juga rasa cemburunya. Sikapnya kali ini sudah sangat melewati batas. Ia juga sadar Laila sangat kecewa padanya.

Setelah menggantung handuk di belakang pintu, Paul duduk di sisi ranjang. Tangannya hendak menyentuh Laila, tapi diurungkan. Ia takut jika Laila akan menepis tangannya seperti di teras tadi.

“Sayang ... minum dulu susunya. Sudah abang buatkan.” Paul hanya duduk, namun pandangannya tak lepas dari memandang Laila. Ia ingin sekali memeluk Laila, meletakkan kepala sang istri di lengannya, mengusap perutnya, tapi apa boleh buat, Laila masih sangat marah padanya.

Laila tak bergeming, ia tak menjawab ucapan Paul.

“Laila ... Abang tau salah. Abang juga tahu Laila marah sama abang. Tapi abang mohon, minum susunya, demi kesehatan anak kita.” Paul mengambil susu dan menyerahkan pada sang istri, berharap agar Laila bangun dan minum susu yang dibuatnya.

Bayi di perut Laila semakin intens menendang, itu membuat Laila semakin sakit, juga ia sudah cukup lelah dan ingin segera tertidur. Ia lantas bangun dan duduk. Hati Paul sedikit lega, karena Laila akhirnya mau minum susu yang dibuatnya sampai habis.

“Makasih,” ucap Laila dingin. Ia kembali merebahkan tubuhnya dan membelakangi Paul.

“Abang boleh tidur di sini? Temani Laila?” tanya Paul dengan nada sangat hati-hati.

“Nggak ... Laila lagi pengen sendiri. Abang tidur di luar aja!” seru Laila tanpa menoleh.

Paul mengembuskan napasnya berat, ia tahu ini akan terjadi. Jika Laila sedang marah, bukan hanya ia akan diam, melainkan terpaksa harus tidur di luar. Entah di sofa atau ruang solat. Tak ingin berdebat, Paul keluar kamar.

“Ya udah. Abang tidur di luar. Tapi kalo butuh apa-apa, bilang, ya.” Paul bangkit keluar kamar sambil menenteng gelas yang sudah kosong.

Laila berusaha memejamkan matanya, sudah pukul satu dini hari tapi kantuk tak kunjung datang. Biasanya jika dirinya susah tidur, Paul akan memeluknya dan mengusap perutnya sambil sesekali tilawah. Itu akan sangat menenangkan. Tapi untuk sekarang, ia sudah membuat keputusan ingin memberi pelajaran pada Paul untuk tidak mengulangi perbuatan buruknya.

Gelisah. Laila semakin merasakan kram di sekitar perut bagian bawah. Tidak biasanya ia seperti ini. Apa karena bayi yang ada di dalam perutnya merasakan kegelisahan kedua orang tuanya yang sedang bertengkar? Ahh ... masa sih. Kan bayi ini belum paham kejadian yang dialami Paul dan Laila.

Mendekati pukul dua dini hari, mata Laila sama sekali tidak bisa terpejam. Jalan satu-satunya adalah tidur dalam pelukan Paul dan tangan kekar itu mengusap perutnya. Ia lalu berdiri membuka pintu kamar, mencari sosok sang suami. Belum sempat kakinya melangkah keluar, Laila dikagetkan dengan suara Paul yang parau.

“Laila butuh apa?” tanya Paul dengan suara parau namun lembut. Rupanya lelaki berkacamata itu merebahkan tubuhnya di sofa. Tanpa mendekat Paul memerhatikan Laila yang masih berdiri di ambang pintu.

“Laila ... Laila, nggak bisa tidur, Bang!” ucap Laila menundukkan wajahnya.

“Mau abang peluk sambil diusap perutnya, Sayang?” tanya Paul. Laila tak menjawab, ia lantas masuk kembali ke dalam kamar. Senyum bahagia merekah di wajah Paul saat melihat pintu kamar yang terbuka untuknya. Tanpa membuang waktu, lelaki itu masuk ke dalam kamar, ia melihat Laila sudah berbaring dengan tangan kiri mengusap perutnya. Wajah Laila tampak pucat karena menahan kram.

Paul mendekatkan tubuhnya, meraih kepala Laila dan meletakkannya di lengan. Ia juga meletakkan tangannya di atas tangan Laila di perutnya, dengan lembut Paul mengusap perut Laila. Ia juga merasakan desakan kecil dari dalam sana. Paul sadar, jika bayi yang ada dalam perut Laila turut marah akibat perbuatannya.

Laila semakin membenamkan wajahnya di ketiak Paul, ia merindukan itu. Paul tersenyum semringah, ia sangat bersyukur Laila sudah tak marah untuk sekarang ini. Laila terisak, ia merasakan sakit saat ingin marah pada Paul. Ingin marah tapi tak bisa. Laila butuh Paul, ia menyayangi lelaki itu lebih dari apa pun. Bahkan saat dirinya melihat Paul dalam keadaan mabuk, Laila justru memarahi dirinya sendiri karena tidak mampu menjaga Paul dengan baik.

Tangis Laila semakin menjadi, membuat kaos yang dipakai Paul basah. Lelaki berkacamata itu merasakan tubuh buah Laila bergetar. Ia sadar jika wanitanya sedang menahan marah. Marah akibat kesalahannya yang sangat fatal. Paul mengeratkan pelukannya, mengusap lembut punggung Laila. Ia membiarkan Laila menumpahkan kekesalan dari dalam hatinya, tanpa kata.

Paul melepas pelukannya saat tangis Laila sudah reda. Tangannya mengusap air mata di pipinya.

“Maafin abang, Sayang!” seru Paul lalu mencium kening Laila. Laila hanya diam, membiarkan lelaki itu memeluk juga menciumnya. Matanya memandang wajah Laila, mata wanita itu sembab dan membuatnya gemas. Paul menurunkan ciumannya dari kening lalu mencium pipi juga hidung, sampai akhirnya Paul mencium bibir Laila, melumatnya, ingatannya berputar beberapa saat yang lalu saat ia hampir kehilangan Laila untuk ke sekian kali.

“Abang ....” Laila mendorong pelan dada Paul melepas pagutan indah itu. Napas keduanya memburu. Laila memandang Paul dengan tatapan yang dalam.

“Sayang ....” Paul mengusap pipi Laila. Degup jantung keduanya semakin kencang saat tak ada lagi kata yang mampu terucap.

“Laila benci sama Abang!”

Paul hanya bisa tersenyum pasrah sambil menatap wanitanya yang sedang marah.

“Abang tahu Laila marah. Tapi itu semakin membuat abang sayang sama Laila.”

“Bisa abang keluar sekarang. Laila mau tidur.”

“Kalo Abang keluar, yakin Laila bisa tidur?” tanya Paul.

Laila mengela napasnya berat lalu memejamkan matanya. Ia sendiri tidak yakin jika Paul keluar kamar dia bisa kembali nyaman seperti saat ini.

“Laila,” panggil Paul lagi. Laila membuka matanya, kembali menatap Paul yang sedang menatapnya penuh cinta.

“Jangan nangis lagi, abang nggak bisa lihat itu.” Laila tak bergeming saat tangan Paul yang semula di pipinya, kini mengusap leher juga belakang telinganya. Kembali Paul mendekatkan wajahnya, mencium kening, pipi, juga sesekali menggigit gemas hidung Laila, lalu turun mencium bibir tipis Laila, melumatnya sampai wanita itu hampir kehabisan napasnya. Paul sadar jika Laila sedang merindukan dirinya, begitu pun dirinya sangat merindukan Laila. Lelaki berkacamata itu pun tanpa ragu bertindak lebih jauh, ia rindu. Keduanya rindu.


Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now