Sabar

190 10 3
                                    


Melihat kondisi Laila yang sudah terlihat membaik, selepas solat  Zuhur Abi dan bibi pun pamit. Lelaki paruh baya itu berpesan pada menantunya agar terus menjaga Laila. Paul mengangguk dan akan menjaga amanah dengan baik.

Mak dan Wak pun turut pamit. Wanita paruh baya itu menyerahkan satu tas yang berisi pakaian Paul dan Laila.

“Makasih ya, Mak. Maaf Laila belum bisa jadi menantu yang baik buat, Mak.” Laila menyentuh lengan sang Mak yang berdiri di sampingnya.

“Jangan bilang makasih. Mak senang melakukannya. Lagian Laila sakit juga karena ulah anak Mak!” seru Mak Nur, tangan tuanya mencubit gemas tangan Paul yang duduk di sebelahnya. Lelaki berkacamata itu sedikit meringis, tapi bibirnya tertawa.

“Ampun, Mak. Jangan marahin abang juga. Abang nggak tidur loh ini.”

“Kalo Abang nggak buat ulah. Nggak bakal nginap di rumah sakit.”

“Aduhai, Mak. Marahnya ditunda nanti kalo sudah di rumah, ya,” bujuk Paul. Wanita paruh baya itu hanya tersenyum melihat tingkah lucu putra semata wayangnya.

“Laila lekas sehat. Mak pulang dulu.”

Laila mencium punggung tangan Mak Nur juga Wak. Keduanya pun berlalu dari ruangan. Laila kembali merebahkan tubuhnya, rasa kantuk lebih sering menderanya. Tak lama ia pun tertidur.

Paul membuka isi tas yang dibawa sang Mak, mengambil pakaiannya dan handuk kecil. Ia lantas masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Selepas mandi dan berganti pakaian, Paul terlihat lebih segar. Ia melipat pakaian kotor dan memasukkannya pada kantong terpisah. Lelaki berkacamata itu kembali duduk di sisi ranjang, memandangi wajah Laila yang sedang tertidur. Tangan kanannya mengusap lembut perut Laila, perlahan Paul mendekatkan wajahnya lalu menciumnya lembut.

“Sehat dan kuat kesayangan, Abi,” ucap Paul di depan perut Laila.

“Abang, ngapain?” tanya Laila. Ia memerhatikan Paul yang sedang menciumi perutnya, tidurnya terusik oleh sikap sang suami.

“Abang lagi bisikin anak kita,  biar kuat dan anteng di dalam sana, Sayang.”

“Abang ngaco. Baru satu bulan, loh. Belom bisa denger juga.”

“Eh, kata siapa? Kalo diajak ngobrol dari hati ke hati pasti tersampaikan.”

“Ya udah, terserah Abang aja.”

Laila kembali memejamkan matanya dan membiarkan Paul terus mengusap perutnya. Sesekali terdengar suara tertawa Paul seolah sedang berbicara dengan anak kecil.  Lelaki berkacamata itu terus saja menciumi perut Laila.

**

Malam menjelang Paul sama sekali tidak meninggalkan Laila barang sebentar saja. Ia bahkan tidak keluar kamar dan makan hanya untuk menjaga sang istri.

“Abang udah makan?” tanya Laila saat Paul membereskan wadah bekas makan yang diberikan oleh suster.

“Abang nggak lapar, Sayang.”

“Loh, Abang belom makan dari pagi?” Laila menepuk keningnya, “jadi cuma makan rujak aja? Nanti abang sakit perut, loh.”

“Suami Laila itu kuat. Nggak bakal sakit walau nggak makan sehari.”

“Abang ... makan!” seru Laila. Ia melirik jam di dinding, pukul delapan malam.

“Tapi, Sayang. Abang nggak lapar. Beneran!” Paul menunjukkan dua jari tanda dirinya serius tidak merasakan lapar.

“Tapi anak kita pengen liat abinya makan.” Laila mengusap perutnya pelan. Mimik wajahnya sengaja dibuat manja.

“Beneran?” tanya Paul. Meski ia tidak merasakan lapar, tapi demi melihat sang istri tersenyum, ia lalu keluar ruangan dan menuju kantin rumah sakit, membeli makanan. Paul sengaja tidak makan di kamar, karena itu pun permintaan Laila.

Mantu Untuk Mak(SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora