Episode I

16.5K 694 18
                                    


Tes riak gelombak. Ceritaku selanjutnya. Selamat menikmati. Jangan lupa vote dn komentarnya. Hatur nuhun.


"Lho, enggak jadi makan bakso?" Marisa terlihat kebingungan melihat wajah perempuan muda-yang sebaya dengannya-merapikan buku binder yang ada di meja.

Alya mendongkak. Matanya bulatnya tertutup poni yang sudah memanjang. Rambut sebahu berponi yang sudah melekat pada dirinya sejak berseragam abu-abu masih dipertahankannya hingga kini. Terus hingga menginjak semester empat kuliah.

Perempuan itu mungil. Tingginya bahkan tidak sampai seratus enam puluh sentimeter. Berat badannya tidak sampai setengah kuintal. Wajahnya putih dan mungil seperti tubuhnya. Setiap kali pergi, ia masih sering disangka anak sekolah-bahkan masih pantas menggunakan seragam putih biru.

"Enggak jadi. Kakek bilang ada acara dengan teman SMA-nya," balas Alya. Tangan kecilnya masih sibuk membenahi buku yang ada di depannya. Di kursi lipat hitam dengan meja putih yang menyatu. Tempat itu sering membuatnya mendumal. Mahasiswa sejarah yang bukunya tebal dan banyak-efek membahas masa lalu-harus menaruh buku di meja kecil.

"Tapi, besok, jadi ke rumah, kan?" tanya Marisa. Gadis berambut panjang bergelombang itu masih setia berdiri di samping sahabatnya. "Bunda mau bikin bolu kukus."

Alya selesai merapikan buku dan alat tulisnya. Sebuah tempat pensil dengan isi lengkap-seperti anak sekolah. Ada pulpen berwarna dan stabilo berwarna terang. Ketika diejek oleh teman-temannya, Alya hanya tertawa. Baginya, sejarah itu rumit. Semuanya penuh tulisan. Ada tanggal, tempat, nama, hingga peristiwa penting. Semuanya berkumpul menjadi satu. Tulisan warna akan memudahkannya membedakan. Itu sangat membantu ketika ujian tiba.

"Enggak janji, Sa," katanya.

Mereka berjalan beriringan keluar kelas. Di depan, sudah ada beberapa mahasiswa yang akan memasuki kelas ini. Kelas berikutnya dimulai setengah jam lagi tapi mereka sudah ribut untuk duduk di kursi. Selalu seperti ini di musim Ujian Tengah Semester (UTS). Berebut kursi paling nyaman agar mendapat hasil bagus.

"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini." Marisa tetap tersenyum pada orang-orang yang menyapanya. Sibuk membalas sapaan sambil tetap melangkah menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai dasar.

"Kalau jalan sama kamu kayak jalan sama artis," canda Alya.

Marisa cantik. Tapi, bukan itu yang membuatnya dikenal banyak mahasiswa di Universitas Negeri Ibukota. Marisa cerdas dan vokal. Perempuan itu baru saja terpilih menjadi wakil ketua BEM Fakultas Sosial. Ia memenangkan hampir separuh suara di antara tiga pesaing dari jurusan lain.

"Enggak ngerti aku. Kakek minta anterin ke acara reuni sama pensiunan teman kerjanya." Alya menekan lift. Sore ini tidak banyak mahasiswa yang menggunakan lift. Tidak seperti siang. Sudah lewat ashar. Hanya ada beberapa kelas di lantai lima. Mereka baru saja mengakhir kelas terakhir di Kamis ini.

"Oh, iya, aku lupa. Kamu, kan, ajudan pribadi Bapak Hamid."

Alya hanya tertawa menanggapi. Lelucon yang sudah disematkan padanya sejak mereka dekat di SMA.

Lift terbuka. Mereka masuk. Hanya ada dua orang laki-laki di dalamnya. Laki-laki pertama tinggi. Berbadan kurus dan ada kumis tipis di atas bibirnya. Rambutnya kribo. Alya mengenalnya sebagai anak jurusan politik.

"Eh, ketemu Alya lagi," kata laki-laki itu-Eki biasanya dipanggil. Eki itu akronim dari Edi Kribo.

Alya tersenyum canggung. Ia belum lupa. Hari ini, ia sama sekali tidak bertemu Eki. Jadwal kuliahnya padat. Ada tiga mata kuliah hari ini. Semuanya UTS.

"Jangan mulai, Ki," kata Marisa. Ia memutar matanya jengah dengan kelakuan Eki. Rasanya menyesal membawa Alya bertemu dengan laki-laki paling tidak jelas seperti Eki.

Selain ikut BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), Marisa gabung ke dalam radio kampus. Ia menjadi penyiar tetap di setiap Selasa dan Kamis malam. Menyiarkan perbincangan santai nan berbobot seputar mahasiswa. Dari sana, ia mengenal Eki-seniornya di radio kampus. Sialnya, laki-laki sepertinya memiliki ketertarikan dengan Alya.

"Eits, enggak boleh iri dong, Marisa."

"Alya enggak suka sama elu. Dia udah punya pacar." Marisa berdusta.

"Selama janur kuning belum melengkus, siapapun boleh tikung," katanya dengan percaya diri.

Alya hanya tertawa pelan menanggapi. Eki sebenarnya lucu dan mengasyiknya. Itu dalam pemikiran Alya. Sayangnya, Marisa tidak mengizinkannya mengenal Eki lebih jauh. Tapi, Alya juga tidak tertarik berpacaran. Ia hanya ingin fokus belajar.

"Eki!"

Teriakan terdengar ketika mereka baru saja keluar dari lift. Yang merasa dipanggil menoleh. Ada perempuan berhijab berdiri tidak jauh. Alya tidak mengenalnya. Memang siapa yang dikenalnya selain teman-teman sekelas. Perempuan itu tipe mahasiswa kupu-kupu-kuliah pulang, kuliah pulang. Rutinitas yang bagi Marisa membosankan. Tapi, Alya menikmatinya.

"Llu dicariin Pak Bani tuh di kantor jurusan," kata perempuan itu lagi.

Eki berubah panik. Segala rasa percaya dirinya mendada jatuh ke tingkat terendah. Tanpa berpamitan, ia langsung berlari menuju ruangan yang disebut temannya. Masalah klasik. Mahasiswa akhir dan skripsinya.

"Lu beneran enggak mau makan bakso Bang Ben dulu?" tawar Marisa.

Alya menggeleng. "Enggak keburu, Sa."

Tubuh mereka keluar gedung fakultas. Ada pedestrian di pinggir jalan. Atasnya diberi atap dengan bahan spandek-perpaduan alumunium dan seng. Sangat berfungsi sekali untuk menghalau terik matahari dan air hujan. Kampus mereka sangat panjang. Menjulang ke belakang yang berisi banyak fakultas.

Alya dan Marisa berjalan bersisian di pedestrian itu. Angin sore berhembus cukup bersahabat. Hembusannya terasa hingga menggoyangkan rambut keduanya. Marisa yang berambut panjang bergelombang-ia cat dengan cokelat tua. Alya yang poninya bergerak ke arah kiri mengikuti semilir angin.

"Emang ada acara apa, sih?" tanya Marisa.

Alya justru mengedikkan bahu. "Enggak ngerti juga. Habis maghrib, disuruh pergi ke rumah teman SMA-nya kakek. Kayak makan malam gitu."

"Duh, macam pejabat sama artis aja. Pakai makan malam segala."

"Mungkin kakek mau nyalonin jadi caleg," kayanya.

"Jangan, deh," kata Marisa. Perempuan itu vokal pada urusan politik. Sering ikut demo dengan diam-diam. Tentu saja tanpa sepengetahuan bundanya yang ceriwisnya minta ampun.

"Enggak mungkinlah. Caleg itu modalnya gede banget. Sayang duitnya. Mending buat bayar semesteran."

"Salah. Mending buat nikahan elu."

"Ngaco. Pacar aja enggak punya."

"Who knows, Al."

Mereka sudah sampai di pertigaan. Di depan, jalan menuju gerbang masuk universitas. Ada jalan utama yang terhubung dengan jalur Transjakarta. Transportasi publik yang biasa dinaiki Alya menuju kampus. Di sebelah kiri mereka, ada pintu kecil yang hanya memuat dua orang. Untuk melewatinya harus bergantian. Mereka menyebutnya pintu ke mana saja. Di luar pintu itu, ada segala toko dan pedagang kaki lima. Semua kebutuhan mahasiswa ada di sana dengan harga terjangkau.

"Iya, nanti. Kalau aku selesai bayarin umroh kakek."

"Aamin," balas perempuan itu. "Lu balik naik apa?"

"Biasa, Transjakarta."

"Hati-hati, Al."

Alya mengangguk. Mereka berpisah. Sore ini, ia akan kembali ke rumahnya. Tempat ternyaman yang ada di dunia. Bahwa, hari ini, adalah hari yang menyenangkan-seperti biasanya.

Tapi Alya, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now