Episode XLIII

4.8K 432 30
                                    

Selamat menikmati....




Tempat pemakaman umum ini letaknya sekitar tiga puluh menit menggunakan kendaraan. Gundukan tanah yang bersebelahan dengan makam-makam yang telah ada sebelahnya. Prana mengingat ini ketika ia mengunjungi makam neneknya Alya. Sesaat sebelum pernikahan juga di hari-hari lebaran. Mereka mengunjungi makam ini bersama dengan Kakek Hamid. Kini, ia datang untuk menguburkan laki-laki tua itu.

Ia menemukan seluruh keluarga besarnya hadir di rumah Kakek Hamid. Sepupu-sepupunya juga om dan tantenya. Semuanya kompak mendatangi rumah Kakek Hamid dan mengucapkan bela sungkawa padanya. Mengatakan jika ia harus sabar menerima kenyataan ini.

Ucapan yang tidak pantas diucapkan padanya. Ia tidak pantas menerima ucapan bela sungkawa. Sejak awal, ia tidak pernah tahu kondisi Kakek Hamid. Keinginan bertemu dengan istrinya yang membuatnya tahu betapa buruknya kesehatan Kakek Hamid.

Betapa kuat Alya menutupi ini semua darinya. Satu-satunya orang terdekat Alya adalah dirinya, suaminya. Namun, justru dirinya yang tidak tahu keadaan laki-laki yang telah memberikan banyak cinta untuk istrinya. Alya sudah lama menyingkirkan dirinya dari hidup perempuan itu. Sampai bertindak seolah dirinya tidak ada di dunia Alya.

Dari bawah liang lahat, Prana menatap istrinya yang memandang kosong tubuh yang telah terbungkus kain kafan. Alya yang paling terpukul dengan kejadian ini. Setelah menghabiskan waktu menangisi jenazah kakeknya di Singapura, perempuan itu justru berubah diam ketika kembali di Jakarta. Tidak banyak kata yang keluar dari bibirnya.

Bersama dua orang tetangga Kakek Hamid, ia membawa tubuh laki-laki tua itu ke pembaringan terakhir. Inilah momen paling menyulitkan baginya. Suaranya bergetar ketika mengumandangkan adzan di sisi tubuh Kakek Hamid. Bahwa, ia harus melepas kepergian laki-laki paling hebat dalam hidup istrinya.

Melihat tubuh yang terbalut kain putih, membuka kembali ingatan Prana di Singapura. Mungkin, ini bukan kebetulan tapi memang sudah direncanakan Sang Maha Kuasa. Kedatangan Prana dan pesan kakek untuknya. Seolah kakek pergi memang menunggu kehadirannya. Kalau kesadaran Kakek Hamid yang telah pulih selama tiga hari adalah puncak kondisi tubuh kakeknya. Bahwa laki-laki tua itu mengeluarkan seluruh sisa energi yang telah dimilikinya hanya untuk berbicara dengan Prana dan Alya untuk terakhir kalinya.

Tolong, terus cintai Alya, Prana. Bahagiakan Alya sampai dia lupa bagaimana rasanya sakit karena lahir dari orangtua yang tidak mencintainya.

Pesan terakhir yang begitu melekat dalam pikiran Prana. Seolah tahu jika hidupnya tidak lama lagi, kakek menyempatkan berbicara hal itu padanya. Bahwa, Alya adalah warisan paling berharga yang diberikan Kakek Hamid untuknya. Ia akan menjaganya. Tidak akan dilepaskan. Tidak akan pernah.

"Alya," panggil Prana.

Istri cantiknya masih betah berjongkok di gundukan tanah. Matanya terus memandang nisan di sisinya. Nama Kakek Hamid tertera di sana berserta tanggal lahir dan kematiannya. Orang-orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Meninggalkan Prana dan istrinya.

"Kita pulang, Al," pintanya sekali lagi.

Alya tidak menanggapi. Ia masih patah hati dengan teramat dalam. Melepaskan kepergian kakeknya tidak mudah. Luka itu masih terus ada di hatinya. Jauh lebih menyakitkan dibanding mengetahui jika suaminya masih mencintai perempuan lain.

"Alya Sayang. Kita pulang, yuk, Nak," suara Bunda Mei memecah keheningan. Perempuan itu memegang pundak Alya dan membantunya berdiri. Perempuan itu sengaja meninggalkan Alya dan Prana di kuburan Kakek Hamid. Ia membiarkan Alya untuk menatap sekali lagi tempat kakeknya dibaringkan. Sampai di waktu ia akhirnya harus kembali ke tempat itu. Alya harus kembali ke rumah.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang