Episode XI

3.6K 390 12
                                    

Konflik akan dihadirkan secara bertahap, ya. Terima kasih sudah menunggu cerita ini. Jangan lupa berikan votes dan komentar kalian untuk mendukungku. Hatur nuhun.




Ketika masih duduk di sekolah dasar, Alya mengikuti pelajaran IPS-Ilmu Pengetahuan Sosial. Selain membahas negara dan ibukotanya, perempuan itu juga belajar mengenai keajaiban dunia. Tempat-tempat di dunia yang memukau banyak orang. Lewat gambar hitam putih buku paketnya, ia hanya mampu memandang takjub kumpulan tempat itu.

Bagi Alya, semuanya terasa jauh-bahkan dari angannya. Uang pensiun kakeknya hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari mereka. Sedikit kelebihan biasanya digunakan kakek untuk mengajaknya berwisata ke Ragunan, Pantai Ancol, dan tempat wisata di sekitar Jakarta. Baru saat SMA, Alya melihat sendiri salah satu keajaiban dunia itu. Candi Borobudur berhasil ia datangi. Itu pun karena program study tour di sekolahnya.

Kini, saat matanya menatap bangunan tinggi nan menjulang di hadapannya, Alya merasakan hidupnya seperti dalam mimpi. Deskripsi bangunan yang dulu hanya dapat dihafalnya kini berhasil didatanginya. Semuanya berkat laki-laki tampan yang baik hati di sampingnya.

Alya merapatkan shoulder bag di depannya. Ia terus mengingat pesan suaminya semalam. Tentang banyaknya copet yang berkeliaran di tempat wisata ini. Weekend yang dipenuhi pelancong dari berbagai negara membuat penjahat itu semakin mudah menemukan calon korbannya.

"Mau foto berdua?" tanya Prana. Kepalanya menunduk untuk dapat menatap wajah istrinya yang memiliki tubuh mungil itu. Matanya menatap lekat wajah Alya yang saat ini diolesi sedikit make up. Ia sudah berjanji untuk tidak menyakiti perempuan itu. Meskipun perasaan cinta belum tumbuh, tapi ia pastikan jika kesetiaannya pada Alya tidak akan luntur.

"Mau," jawab Alya antusias.

Perempuan itu selalu terlihat antusias. Sejak semalam saat Prana mengatakan akan mengunjungi Menara Eiffel di Sabtu ini, Alya sudah berceloteh tentang hal yang ingin dilakukannya. Salah satunya adalah berpose dengan latar belakang menara setinggi 300 meter itu. Alya terlihat seperti seorang anak yang begitu bergembira dengan eksplorasi barunya. Terlihat menggemaskan di mata Prana.

Prana mengeluarkan ponselnya. Ia menjulurkan tangan ke arah atas. Dalam sekejab, bibirnya berlabuh di bibir istrinya. Dan, klik. Ciuman berlatar belakang Menara Eiffel nan romantis tersimpan dalam memori di ponselnya. Laki-laki itu tersenyum bangga. Saat Prana menarik kepalanya, ia melihat wajah Alya sudah merona. Perempuan cantik itu malu. Ia belum terbiasa dengan PDA-Public Display of Affection. Alya terlalu lama mengendap di lingkungan ketimuran. Pikiran dan wawasannya belum terbuka pada dunia luas. Bahwa, di negara ini, semua orang bebas menunjukkan kemesraan dengan pasangan mereka di tempat umum. Itu bukan sebuah kejahatan. Dan, tidak akan ada orang yang memandang aneh mereka jika berciuman di sini.

"Kak," rajuk Alya.

Pernahkah Prana mengatakan jika perempuan itu sangat terlihat menggoda dengan tingkahnya yang polos ini? Bibir mungilnya mengerucut. Itu seperti undangan Prana untuk mengecupnya. Ia memajukan bibirnya lagi untuk mengecup dalam bibir istrinya. Rasa strawberry-manis dan menggiurkan.

"Enggak ada orang yang peduli kita mau ciuman-termasuk french kiss," bisiknya.

Sebenarnya, Alya hanya belum terbiasa dengan semua perlakuan Prana. Berciuman di kamar-tempat privasi-saja sudah membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Apalagi jika di tempat umum seperti ini. Walaupun Alya tahu jika orang-orang di sini tidak suka mengurusi urusan orang lain. Tetap saja ia merasa kalau semua mata sedang memandang tajam ke arahnya karena berciuman dengan suaminya sendiri.

"Gimana?" tanya Prana menunjukkan hasil jepretannya pada Alya.

"Bagus, sih, tapi enggak bisa di-upload ke Instagram," katanya lesu. Itu sebenarnya romantis. Seperti foto yang sering Alya lihat di Instagram. Berciuman di bawah Menara Eiffel sangat romantis. Ia seperti merasakan kegembiraan layaknya Katie Holmes yang dilamar Tom Cruise di tempat yang sama dengannya.

"Kenapa?"

"Karena fotonya lagi ciuman, Kak."

"Emang kenapa? Kan, kita udah nikah."

"Alya malu, Kakak.... Nanti, diledek teman-teman."

Prana mencuri ciuman di bibir istrinya. Ia meminta tolong pada seorang pengunjung dengan berbahasa Perancis. Kali ini fotonya normal. Mereka berdiri bersebelahan. Tangan Prana merangkul bahu istrinya. Dengan latar belakang Menara Eiffel dan gerombolan pengunjung, mereka tersenyum ke arah kamera.

Sesaat, Prana mengirimkan foto itu ke ponsel istrinya. Tidak butuh waktu lama bagi Alya untuk memuat akun Instagram miliknya. Jemarinya dengan lincah meng-upload foto mereka berdua. Ia tidak lupa menyisipi sebaris kalimat.

Selamanya akan bersama, insya Allah.

***

Banyak hal yang tidak bisa kita handel di dunia ini. Salah satunya adalah di mana hati ini akan berlabuh. Seperti yang Sujiwo Tedjo katakan, kita bisa memilih menikah dengan siapa tapi tidak bisa memilih untuk jatuh cinta dengan siapa. Pernikahan adalah nasib sedangkan jatuh cinta adalah takdir. Prana menyadari itu. Nasib membawanya ke dalam keluarga Alya-menjadi suami perempuan itu. Takdir menuntunnya untuk waras agar tetap jatuh cinta dengan Noëlle.

"Hei," suara Jean menggema.

Prana mengalihkan pandangannya. Jean datang menemuinya. Mendatangi toko pakaian milik kekasih hatinya. Laki-laki itu seperti memiliki insting mengenai keberadaan Prana. Jean hanya perlu melacaknya lewat nada suara yang dijawab Prana saat laki-laki itu meneleponnya.

"Alasan pekerjaan kantor lagi?" tebak Jean dengan bahasa Perancisnya.

Prana tidak menjawab. Sebagai ganti, laki-laki itu mengalihkan tatapannya pada buku sketsa di depannya. Ada banyak gambar pakaian rancangan Noëlle. "Kamu tidak kerja?"

"Aku sedang bekerja sekarang?" Prana memincingkan kepalanya. "Bekerja untuk membuatmu move on dari Noëlle."

Prana memutar bola matanya malas. Pembicaraan ini amat dibencinya. Berkali-kali Jean menasihatinya agar melupakan Noëlle tapi hatinya justru semakin kuat tertambat pada perempuan itu. Jean adalah tipe laki-laki yang selalu menghormati keputusannya. Ia tidak pernah mencampuri urusan Prana-seperti layaknya orang-orang Perancis lainnya. Tapi situasi ini membuat Jean seperti layaknya ibu-ibu yang menasihati anaknya.

"Kamu memiliki istri yang pantas diperjuangkan untuk kamu cintai. Bukan terus merana meratapi takdir Tuhan," kata Jean. "Kamu tahu, meratapi sampai sakit pun, Noëlle tidak akan hidup kembali."

Mereka sudah bersama sejak lama. Jean tahu betul seperti apa sahabatnya. Mereka berteman dengan mendukung satu sama lain. Kali ini, saat bertemu dan mengobrol dengan Alya, Jean tahu betapa baiknya hati perempuan itu. Maka, ia berusaha menjaga logika Prana agar tetap pada tempatnya. Prana harus tetap pada jalurnya bersama istrinya.

"Kamu tidak tahu rasanya kehilangan seseorang yang sangat berarti dalam hidupmu."

"Aku tahu," balas Jean cepat. "Ayahku meninggal ketika aku berusia 25 tahun. Dia adalah orang yang sangat berarti dalam hidupku." Jean terus menatap Prana. "Kamu bersama Noëlle berapa tahun? Tujuh? Delapan? Sepuluh tahun? Aku dan ayahku menghabiskan waktu bersama selama 25 tahun. Kami tinggal di rumah yang sama. Menghabiskan waktu bersama. Kehilanganmu tidak ada apa-apanya, Prana." Balasnya sarkatis.

Prana tertegun. Ia memandang wajah Jean yang sedang menatapnya tajam. Melupakan dan bangkit bukan hal mudah. Bagaimana bisa terasa mudah jika bayangan wajah Noëlle selalu menari-nari dalam pikirannya. Senyum, tawa, suara, hingga harum tubuhnya melekat erat dalam memori Prana. Ia bahkan tidak yakin bisa mengubur kenangan itu seumur hidupnya. Noëlle terlalu berharga dalam hidupnya.

"Prana, buka hatimu. Alya pantas mendapatkan hatimu."

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang