Episode XXIV

3.4K 392 9
                                    

Selamat siang, readers setiaku. Mohon maaf, cerita ini terabaikan. Sudah kering kerontang kayaknya menunggu lanjutan kisah Prana dan Alya. Pekerjaan di dunia nyata lagi menyita banyak waktuku. So, I don't have times to publish this story. Terima kasih sudah setia menunggu cerita ini. Jangan lupa kencangkan votes dan komentar kalian. Hatur nuhun.




"Cara membuat suami semakin cinta istri."

Alya menoleh. Ia melihat sosok sahabatnya sedang menatapnya. Mata Marisa memincing. Alisnya terangkat-seolah sebuah pertanyaan dilemparkan kepadanya.

"Enggak salah baca artikel itu?" tanya Marissa lagi.

Alya terdiam. Pipinya merona malu. Ia seperti maling yang ketahuan akan mencuri. Salahnya membaca artikel ini di kampus saat jam kosong. Lebih salah karena ia tahu jika ada Marisa di sampingnya, Alya justru menghabiskan fokusnya pada ponsel. Marisa pasti menyadari jika perempuan itu tidak mendengarkannya berbicara.

"Al, enggak mau ngomong sesuatu ke aku?" Marisa tidak menyerah. Ia akan terus meneror Alya hingga sahabatnya bercerita padanya. Tidak akan berhenti hingga rasa penasarannya hilang. "Terserah kamu mau ngomong dari mana. Kita punya waktu sekitar 3 jam sebelum kelas Pak Tomo," katanya lagi menyebut nama dosen salah satu mata kuliah mereka.

"Aku memutuskan berdamai dengan Kak Prana," kata Alya. Mereka masih berada di lantai atas. Di dekat lift ada kursi dan meja panjang-menghadap jendela kaca yang tertutup. Tidak banyak mahasiswa yang ada di tempat itu. Alya sedikit leluasa untuk bercerita pada sahabatnya.

"Berdamai seolah-olah kalian perang hebat."

"Karena aku sempat berpikir untuk berpisah sama Kak Prana."

"Jadi apa yang ngebuat kamu berdamai sama suamimu?"

Alya tersenyum kecil. Ia juga pernah mengajukan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Tentang alasan yang membuatnya "kembali" pada suaminya.

Semakin banyak sosok Noëlle yang diceritakan Prana padanya, Alya merasa semakin dekat dengan sosok suaminya. Perempuan itu melihat bayang-bayang Prana bersama mantan pacarnya. Menghabiskan waktu bersama, menikmati obrolan ringan berbahasa Perancis, hingga merasakan indahnya Menara Eiffel di akhir pekan.

"Ini bukan tentang Kakek Hamid, kan, Al?" suara Marisa muncul di telinga Alya. Perempuan itu menatap Alya dengan penuh keraguan. Perempuan itu sangat mengenal Alya. Ia tahu bagaimana besarnya cinta Alya pada kakeknya. Kakek Hamid adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki perempuan itu. Alya akan melakukan apapun demi kebahagiaan Kakek Hamid, termasuk menggadaikan perasaannya sendiri.

Alya menggeleng. "Karena aku mencintai Kak Prana," katanya.

"Aku enggak ngerti. Untuk sebuah perasaan yang namanya cinta, kamu rela sakit hati seuumur hidupmu," balasnya. "Al, maaf, bukan nyuruh kamu pisah sama suamimu, tapi.... Kamu yakin seumur hidup menikah sama laki-laki yang enggak mencintaimu, sama suami yang justru mencintai orang lain?"

Alya kembali tersenyum. "Kalau beruntung, Kak Prana bisa mencintaiku juga," bisiknya sebelum meninggalkan sahabatnya.

***

Momen itu dimulai saat Alya pulang kuliah. Ketika suaminya mengabarkan akan pulang sebelum maghrib. Di tengah dapur megah milik rumah mertuanya, perempuan itu menyiapkan makanan kesukaan Prana.

Alya merasa sudah mengenal laki-laki itu-tentu saja kecuali perasaannya. Alya mudah mengingat setiap kebiasaan yang dilakukan suaminya. Saat bangun tidur hingga laki-laki itu terpejam dalam tidurnya.

"Baunya enak, Non," Mbak Atik membungkukkan sedikit tubuhnya ke potongan ayam yang baru saja dibakar.

"Mbak Atik mau?"

"Mau, eh... aduh," katanya spontan. Tangannya memegang lengannya yang baru saja dipukul Mbok Pur.

"Gimana, sih. Non Alya bikin ini buat Den Prana," kata Mbok Pur mengingatnnya. Yang diingatkan hanya bisa membalas dengan cengiran.

"Enggak apa-apa, Mbok. Alya masak enggak cuma sepotong, kok. Ambil aja dua potong buat makan malam."

Oh, berbahagialah Mbak Atik dengan jawaban majikannya. Ia langsung mengambil dua potong ayam bakar madu buatan Alya dan memindahkannya ke dalam piring. Lantas, ia membawanya ke kamar mereka di dekat dapur.

"Alya masak apa?"

Suara itu muncul diiringi tubuh yang berdiri di dekat pintu dapur. Ada Bayu di sana dengan kemeja pendeknya. Laki-laki itu memandang ke arah menantu perempuannya sambil tersenyum. Senyum yang mampu membuat dada Alya menghangat.

"Oh, Om Bayu," kata Alya tidak mampu menghilangkan rasa kagetnya. Bayu hampir tidak pernah masuk dapur kecuali untuk memanggil asisten rumah tangganya. "Ayam bakar madu. Om Bayu mau?" tawarnya.

Bayu tidak menjawab. Laki-laki itu justru melangkah mendekati Alya. Matanya melihat penuh rasa penasaran pada potongan ayam di meja makan.

"Om mencium bau-bau kelezatan di sini," candanya. Matanya beralih pada Mbok Pur. "Mbok, tolong ambilkan nasi. Saya mau makan di sini."

Tapi, sebelum Mbok Pur melangkah, Alya sudah mencegahnya. "Biar Alya aja."

Bayu memperhatikan itu. Cara Alya mengambil nasi dan ayam bakar madu untuknya. Ia seolah terbiasa dengan itu semua. Hal yang tidak pernah dapatkannya.

"Sambelnya enggak diblender?" tanya Bayu. Mulutnya penuh melahap hasil masakan menantu cantiknya.

"Enggak, Om. Sambel itu lebih enak diulek langsung."

Bayu mengangguk. Ia meneruskan acara makan sorenya. Mungkin ini yang dirasakan suami saat memakan masakan istrinya. Pikirannya justru membayangkan jika situasinya seperti ini. Bahwa, kelak, Retno akan memasak dan menemaninya makan.

"Lho, papa makan di sini?" Prana muncul. Ia memandang heran dua orang di depannya. Papanya makan di sini dan ditemani istrinya. Luar biasa langkah pemandangan seperti ini.

"Ayam bakar buatan istrimu enak, Prana."

See. Bayu bahkan ia tidak segan memuji Alya di depan suaminya.

"Kak Prana mau langsung makan atau mandi?" tanya Alya.

Prana tidak perlu berkelit untuk segera mencicipi ayam bakar buatan istrinya. Sudah pernah ia katakan sebelumnya, jika ini menjadi makanan favoritnya sejak Alya memasak untuknya.

Alya hanya mampu tersenyum. Mati-matian ia menahan emosi yang bergejolak dalam hatinya. Kebahagiaan yang tidak terkira. Melihat suami dan ayah mertuanya duduk dan makan masakannya membuat rasa bahagia menjalar ke hatinya.

Alya rela menghentikan waktu saat ini juga. Momen seperti ini yang selama lebih dari dua puluh tahun ada di pikirannya. Duduk dan makan bersama sosok ayah. Ada laki-laki selain suaminya yang makan dengan lahap masakannya.

"Alya, Om boleh nambah, ya?"

Dan, Alya tidak tahan untuk segera mengangguk.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now