Episode IX

3.6K 423 7
                                    


Maafkan karena lama update, ya. Semoga kalian masih setia menunggu ceritaku ini. Jangan lupa berikan bintang dan komentar kalian. Hatur nuhun. Selamat menikmati dan semoga menyukainya.



"Masih pusing?" tanya Prana. Tangannya mengelus lembuat rambut Alya. Tubuh istrinya masih tergolek di ranjang.

Alya menggeleng. Dengan perlahan, ia menegakkan tubuhnya untuk bersandar di ranjang. Ia melihat cerminan dirinya dari pantulan bola mata suaminya. Mungkin, ia harus mencuci wajah, gosok, gigi, atau bahkan mandi untuk menyegarkan tubuhnya.

"Masih sedikit," balasnya. "Mualnya udah hilang."

Prana tersenyum senang. Rasanya bukan hal menyenangkan melihat istrinya hanya dapat membaringkan tubuhnya di ranjang. Sementara ia hanya dapat memastikan jika Alya merasa nyaman di tempat barunya.

"Alya norak, ya, Kak. Baru pertama kali naik pesawat dan ke luar negeri langsung mabok gini," candanya. Bukan hal mudah merasakan 18 jam berada di dalam burung besi. Duduk di tempat ber-AC dan mencoba menghilangkan perasaan jika tubuhnya berada di ketinggian lebh dari 3.500 kaki.

Mereka sampai di Bandara Paris Charles de Gaulle pukul 9 pagi. Saat itu, hembusan angin musim panas menyambut kehadiran pasangan baru itu. Paris pada awal Juli sedang menghadapi musim panas-saat iu cuaca belum mencapai 20 derajat celsius. Angin yang berhembus membuat rambut Alya bergoyang. Ia harus merapatkan jaketnya untuk menghalau hembusan angin menusuk hingga ke tulang tubuhnya. Alya sudah merasakan mual pada tiga jam awal penerbangannya. Tidak ada penerbangan langsung menuju Paris. Mereka harus transit selama dua jam di Istambul setelah melewati malam panjang-selama 14 jam-di Turkey Airlines. Gambaran makanan lezat yang ada di lounge tunggu kelas bisnis hancur berantakan. Sup mercimek-makanan khas Turki- yang terlihat sungguh menggugah selera langsung jatuh ke titik terdalam. Rasa gurih yang ada di sup tersebut menjadi pahit ketika bersentuhan dengan lidah Alya. Ia tidak sanggup memakan apapun kecuali roti sobek yang dibeli suaminya.

Alya melanjutkan mualnya dengan tertidur sepanjang sisa perjalanan mereka menuju kawasan La Marais. Tubuhnya meringkuk memeluk suaminya. Aroma Prana sedikit menghilangkan rasa mualnya. Oh, sepertinya itu hanya efek sifat manja Alya yang mendadak muncul sesaat setelah resmi bersuami.

"Makan, yuk? Perut kamu belum terisi apapun selain roti," kata suaminya.

Alya tersentak. Ia menatap wajah suaminya dengan khawatir. "Kakak pasti belum makan juga, ya?"

"Tadi aku makan Popmie," balas Prana."Aku enggak apa-apa. Tenang aja, Alya Sayang."

Oh, pipi Alya memerah mendengar panggilan itu. Ia tidak pernah mendengar panggilan itu kecuali diucapkan Marisa. Itu terjadi kalau Marisa gemas dengan tingkah laku Alya. Bahkan, kakek dan nenek yang mencintainya lebih dari nyawa mereka tidak pernah memanggilnya dengan panggilan itu.

"Aku buatkan teh hangat, ya?"

Alya menggeleng. Ia bangkit dari ranjang. Tidak mungkin selalu merepotkan suaminya di awal-awal pernikahan mereka. Harusnya ia yang mengurusi suami-bukan sebaliknya. Tapi, gelengan Prana membuat Alya terdiam. Laki-laki itu bahkan langsung menuju pantry.

Perempuan itu akhirnya menurut. Matanya memperhatikan suaminya dari belakang. Meskipun hanya membuat teh, tidak ada rasa canggung sama sekali-seperti Prana sering melakukan hal ini. Pandangan Alya menjelajah ke sekelilingnya. Ia bahkan baru menyadari jika tida ada penyekat apapun di apartemen suaminya kecuali dinding pemisah dengan toilet.

Apartemen kecil model studio. Di depan pintu masuk, sudah langsung disuguhi dengan pantry yang memuat kompor listrik dan kulkas dua pintu. Ada sink yang menyatu dengan wall cabinet yang memuat alat makan laki-laki itu. Tidak ada meja makan besar seperti layaknya rumah. Sebagai gantinya, ada meja bar dan dua buah kursi di dekatnya.

Televisi langsung ditempelkan ke dinding-berhadapan dengan sofa panjang yang memuat hingga empat orang. Ada meja kaca oval di depanya. Di sudut, ada lemari tampa pintu yang memuat beragam buku. Tidak banyak pajangan di sini. Sepanjang pengamatan Alya, haya ada beberapa figura kecil yang memuat foto pemandangan. Gunung bersalju dan Menara Eiffel. Alya sering melihatnya di buku. Salah satu tujuh keajaiban dunia. Rasanya terasa begitu jauh-karena satu-satunya kejaiban dunia yang pernah ia lihat langsung adalah Candi Borobudur. Itu perjalanan panjang saat study tour di masa SMA-nya. Kini, ia harus berbangga hati telah sampai di kota yang sama dengan Menara Eiffel.

"Hati-hati. Masih panas," Prana menyodorkan secangkir teh manis hangat padanya.

Alya menyesap teh itu dengan perlahan. Rasa hangat menjalar ke perutnya. Aroma khas teh yang menyengat indera penciumannya membuatnya sedikit tenang.

"Alya mandi dulu, Kak," kata Alya sesaat setelah menghabiskan tehnya.

Prana mengangguk dan membiarkan istrinya melangkah ke kamar mandi. Tidak butuh waktu lama sebelum ia mendapati Alya sudah tampil cantik dengan celana jins tiga perempatnya dan blous biru muda. Rambut perempuan itu sengaja digerai dengan menambahkan jepitan di sisi rambutnya. Sempurna untuk terlihat cantik dan menawan.

Prana langsung menggandeng tangan istrinya begitu mereka keluar apartemen. Fokusnya terpecah. Ia memperhatikan jalan untuk membawa mereka ke sebuah restoran. Di sisi lain, matanya juga awas memandangi wajah cantik Alya yang terpukau dengan lingkungan barunya.

Bangunan bercorak krem mengelilingi Alya. Pertokoan, retoran, dan apartemen menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Wow, inilah Paris. Tempat sejuta manusia yang merekam kisah romantis. Alya juga akan melakukan hal serupa.

"Ternyata masih siang," kata Alya.

"Hampir jam sembilan, sih," balas Prana.

Alya menatap wajah suaminya dengan tidak percaya. Sudah jam sembilan sedangkan matahari masih berada di atas mereka. Bahkan, orang-orang masih dengan mudah ditemuinya-seakan aktivitas di sana tidak akan menemui waktu akhir.

"Matahari tenggelamnya jam sepuluh."

Hal yang ada di pikiran Alya adalah tentang waktu berpuasa. Ia tidak bisa membayangkan jika harus menahan lapar hingga jam sepuluh. Bahkan, itu sudah masuk jam tidurnya di Indonesia. Sedangkan, masyarakat di sini yang berpuasa baru dapat berbuka.

"Di sini, waktu malam itu enggak flat kayak di Indonesia-selalu jam enam. Kalau musim dingin, senja bisa jam lima sore dan fajar bisa jam sembilan pagi."

Alya mengangguk-mencoba memahami. Mungkin nanti, ia akan kembali mengunjungi koa romantis ini di musim dingin. Menikmati matahari yang bersinar dengan lebih cepat dari waktu di Indonesia. Juga tentang keinginannya merasakan salju. Semuanya terasa mengasyikkan dalam benaknya.

Mereka kembali berjalan. Alya tidak mengerti mengapa jalan kaki bersama Prana terasa mengasyikkan. Mungkin karena ini tempat baru yang dikunjungi Alya. Tapi sepertinya bukan sepenuhnya. Matanya melirik laki-laki yagng berjalan di sampingnya. Ruang kosong di sela-sela jarinya terasa penuh. Prana mengisinya dengan memberikan genggamannya.

"Alya," panggilan Prana membuat Alya menoleh. "Kamu jangan asal senyum ke orang-orang yang lewat."

Alya menatap Prana tidak mengerti. Ia biasa tersenyum pada orang lain. Justru kelihatan sombong bila berjalan dengan wajah seperti orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan ini. Orang yang hanya diam, berjalan, dan wajah yang urung bersahabat.

"Di sini, bukan di Indonesia," balas Prana lagi. Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke kepala Ala. "Kamu bisa disangka orang gila."

Alya langsung memukul pelan lengan suaminya dengan tangannya yang bebas. Prana tergelak. Laki-laki itu langsung mengganti genggaman tangan mereka dengan merangkul bahu istriya. Ia menikmati kepulangannya ke Paris saat ini.

Tapi entah mengapa rasa bersalah pada Alya semakin besar hinggap di hatinya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now