Episode XXXV

4.2K 442 29
                                    

Akhirnya bisa publish juga episode ke 35.  Maafkan karena kerjaan sedang tidak bisa ditinggalkan. Terima buat yang sudah mau menunggu kelanjutan kisah Alya dan Prana. Selamat menikmati.




"Enggak usah, Teh," Alya berkata pelan. Kepalanya menggeleng. Rasanya masih berat untuk menerima ini dari pasangan yang baru ditemuinya kemarin. Ini urusannya dengan kakek. Alya akan terus berjuang demi kesembuhan kakeknya. Ia akan berjuang meski tanpa Prana.

"Alya, tong kitu atuh," kata Nini. Tangannya terulur menggenggam tangan Alya. "Dangukeun teteh, ya. Teteh enggak akan lupa sama kebaikan Pak Hamid, Alya. Waktu Kang Jamal kecelakaan, enggak bisa dagang selama dua bulan gara-gara tangannya patah, Teteh teu boga duit buat bayar kontrakan. Pak Hamid kasih tempo tanpa batas waktu. Beliau bilang, bayarnya nanti saja sampai punya uang. Setelah tiga bulan, Kang Jamal baru bisa bayar, itu pun nyicil." Air mata perempuan itu tidak bisa dibendung dan jatuh perlahan.

"Mama pernah tinggal di kontrakan?" tanya histeris muncul dari mulut seorang remaja perempuan berusia sekitar 12 atau 13 tahun. Perempuan berambut panjang bergelombang itu menatap Nini dengan tidak percaya.

"Ya, pernahlah," jawab Jamal. "Kamu pikir sebelum ada rumah, mama sama papa tinggal di mana?"

Remaja perempuan itu terkekeh. Mungkin baginya, rumah itu seperti sudah ada jauh sebelum dirinya hadir di tengah-tengah pasangan itu. Bahwa, dirinya mungkin tidak menyadari. Saat bayi hingga berusia balita, ia juga tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orangtuanya.

"Jangan dianggap beban, Alya. Bayar kapan pun kamu ada uang," tambah Jamal. "Yang terpenting saat ini adalah kesembuhan Pak Hamid."

Alya tertegun. Uang 150 juta bukan jumlah kecil baginya. Jamal dengan mudahnya menawarkan jumlah itu untuk pengobatan kakek. Alya tahu jika pasangan itu hanya mencoba membalas budi kakeknya. Uang ini bisa dibayar kapan pun Alya ada. Seperti dulu yang dilakukan kakek. Tapi menerimanya, itu akan terus menghantui hidup Alya.

Ia tidak terbiasa meminjam uang. Dulu, setiap kali menginginkan sesuatu dan tidak memiliki uang, Alya lebih memilih menahannya daripada berutang pada temannya. Ia berat untuk menerima uang orang lain.

Tapi ini bukan tentangnya. Ini tentang nyawa kakek. Laki-laki yang paling dicintai Alya. Kakek adalah cinta pertama dan malaikat pelindungnya di kehidupan Alya.

"Alya."

Suara Nini menyadarkan Alya. Ia menatap sosok perempuan dewasa di depannya. Ada kilat pengharapan dalam sorot matanya. Sangat berharap jika Alya menerima ini. Nini bukan terlihat seperti seorang lintah darat yang merayu untuk menggaet korbannya.

Kemarin, perempuan itu menyelipkan uang 500 ribu untuknya. Pagi ini, Nini memberikan amplop berisi uang dua juta. Belum lagi ditambah buah, biskuit, dan banyak makanan yang dibawa pasangan itu. Mereka seperti anak yang ingin memastikan orangtuanya berada dalam pelayanan terbaik.

"Umur memang hanya Allah yang tahu, Al. Tapi, kita harus tetap berusaha demi Pak Hamid."

Ya, ia harus berjuang demi kesembuhan kakeknya. Harus. Maka, Alya mengangguk untuk memberi jawabannya.

***

Melihat kamarnya di lantai dua membangkitkan segala kenangan bagi Alya. Ada cinta, rindu, hingga perasaan sakit saat melihat ruangan ini. Di sinilah, ia membagi hidupnya dengan Prana. Laki-laki dewasa tempat ia menaruh hati dan rasa cintanya. Tempat yang Alya kira adalah rumahnya.

Alya tersenyum kecil. Matanya memandang kasur di hadapannya. Malam pertama yang membuatnya bingung, tegang, dan takut setengah mati. Tapi, sikap suaminya membuatnya lebih rileks. Cara Prana yang seakan begitu memujanya membuat Alya melambung tinggi. Laki-laki itu tahu bagaimana membuat perempuan bahagia.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now