Episode XXV

3.3K 403 15
                                    

Selamat menikmati, hatur nuhun.



Ilusi tentang indahnya sebuah keluarga yang dimiliki Alya masih bersemayam dalam pikiran perempuan itu. Tapi, setidaknya sekarang lebih baik. Sebuah imajinasi yang begitu didamba Alya perlahan memperlihatkan sisi nyatanya.

Universitas Negeri Ibukota masih ditempa hujan deras saat Alya baru saja keluar dari fakultasnya. Ditangannya ada tas jinjing berisi puluhan lembar hasil tulisannya. Skripsi. Ia baru saja menghadap dosen pembimbing di aula lantai tiga. Di tengah kesibukannya sebagai pembicara seminar, dosen itu berbaik hati mau menerima Alya untuk berkonsultasi.

Alya menyebrang untuk berjalan di pedesterian. Di atasnya ada penutup yang setidaknya melindungi kepalanya dari tetesan hujan. Dengan tubuhnya menggunakan kemeja lengan pendek, hembusan angin terasa kencang menusuk kulitnya. Ini lebih baik. Setidaknya Alya memiliki ruang gerak dibanding menunggu depan fakultas.

Drrrtttt....

Derit ponselnya menandakan ada sebuah pesan masuk. Dengan tangannya yang sebelah-yang bebas dari plastik, Alya mengeluarkan ponsel itu dari tasnya. Ia membaca sebuah pesan masuk. Bibirnya menyunggingkan senyum.

Alya, papa tunggu di depan halte, ya, Sayang.

Ilusi itu terasa benar nyatanya. Jika ini sebuah mimpi, Alya rela menukarnya dengan apapun agar tidak terbangun. Sebuah mimpi indah.

Pada akhirnya, sebuah Toyota Rush hitam yang berhenti di depan halte Transjakarta menyadarkan Alya. Ini bukan ilusinya semata. Bahwa, laki-laki yang duduk di depan kemudi mobil itu tersenyum menyambut Alya.

"Gimana bimbingannya, Nak?"

Mendengar caranya memanggil Alya saja sudah ingin membuatnya mengeluarkan air mata. Papa memiliki sejuta panggilan untuknya. Semuanya selalu membuat dada Alya menghangat.

"Alhamdulillah lancar, Pah," balasnya.

Bayu tersenyum. Tangan kirinya mengelus lembut rambut Alya yang selalu saja sebahu. Inilah menantu terbaiknya. Perempuan berhati lembut nan mempesona. Alya yang mengembalikan hangannya interaksi dalam dirinya. Setidaknya, seperti inilah fungsi keluarga dalam benaknya.

"Pah, lusa, Tante Retno ulang tahun, ya?" kata Alya memecah keheningan. "Alya rencananya mau bikin blackforest."

"Jangan," Bayu mengatakan itu dengan cepat. "Enggak usah bikin apa-apa, Nak. Biarin aja lusa kayak hari-hari lainnya."

"Kenapa? Ini ada hubungannya sama waktu Alya bikin kue buat Papa?"

Bayu mengangguk. Ia menelah air liurnya untuk menenangkan kegundahan hatinya. Mungkin, sebaiknya ia cerita pada menantunya. Tentang hal yang dilewati istrinya berpuluh-puluh tahun lalu.

"Waktu remaja, Retno kehilangan orangtuanya di hari ulang tahunnya. Mereka kecelakaan saat mau merayakan ulang tahun anaknya."

Alya menutup mulutnya tidak percaya. Oh, seharusnya ia lebih sensitif tentang masalah ini. Ia menyadari kemarahan Tante Retno padanya waktu itu. Perayaan ulang tahun sama dengan membangkitkan kenangan menyakitkan. Itu bukan hal baik untuk diulang.

"Tapi, kalau papa ulang tahun, Alya tetap harus bikinin kue ulang tahun buat papa," kelakarnya.

Oh, Alya tertawa untuk itu. Pasti. Ia akan selalu membuatkan kue untuk papanya. Karena sekarang, Alya memiliki papa yang menyayanginya.

***

Alya baru saja selesai membersihkan tubuhnya saat ia melihat Prana berselonjor kakinya di atas ranjang. Pundak laki-laki menyandar di ujung ranjang. Dengan telinganya tersumbat earphone mulut laki-laki itu berbicara pada seseorang.

Di balik layar Macbook itu ada seseorang yang diajak bicara oleh Prana. Sepertinya orang asing. Bukan bahasa Inggris. Alya tidak mengerti satu pun kata yang keluar dari mulut suaminya.

Itu bahasa Perancis.

Ada dua kemungkinan tentang sosok yang berkomunikasi dengan Prana. Pertama, temannya di Perancis. Kedua, Noëlle. Alya menggeleng. Ia mencoba menyingkirkan nama itu dari pikirannya. Episode tentang Noëlle sudah lama usai dalam kehidupan mereka. Kini hanya ada Prana dan Alya, bukan Prana dan Noëlle.

Tapi tatapan mata seperti itu.... Alya melihatnya. Bagaimana cara Prana menatap sosok yang ada di balik layar datar itu. Tatapan penuh rindu. Ada gelombang kerinduan yang tidak tersampaikan dalam mata itu. Prana mencoba melampiaskan kerinduannya lewat tatapan itu.

Bahwa sosok yang dirindukan Prana bukan dirinya. Alya tidak pernah mendapatkan tatapan penuh kerinduan seperti itu. Mereka tidak pernah berpisah lama. Rekor terlama adalah tujuh hari. Saat laki-laki itu pergi ke Korea Selatan mengurusi ekspor kainnya. Dalam video call yang mereka lakukan di waktu seminggu itu, tidak ada tatapan seperti itu.

Alya tidak pernah dirindukan suaminya.

"Kak," suara Alya memanggil suaminya.

Prana tersentak. Ia terlihat gugup dan bingung mau melakukan apa. Kepalanya mendongkak ke arah istrinya.

"Kakak lagi video call dengan siapa?" tanya Alya.

"Oh, Eloise."

Bahkan suaminya berbohong. Prana bahkan tidak menjelaskan siapa Eloise itu. Nama yang terasa asing bagi Alya. Laki-laki itu memiliki teman yang bernama Eloise.

"Sebentar, aku tutup Skype-nya dulu." Laki-laki itu berpaling pada layar laptopnya. Ia mengucapkan sebuah kalimat sebelum kemudian menutup layar itu.

Alya tersenyum samar. Bahkan, Prana begitu apik membohonginya. Ia merasa bebas berkomunikasi dengan mantan pacarnya hanya karena memiliki kode. Bahasa yang sama sekali tidak Alya pahami.

Perempuan itu berusaha mengacuhkan dengan menghampiri lemari pakaiannya. Ia bahkan masih membelitkan handuk di tubuhnya. Tubuhnya sudah menggigil karena udara malam ini.

"Kedingingan, hmmm," suara Prana tepat di telinga Alya. Tangan laki-laki itu melingkari pundaknya. Bibirnya menciumi pundak Alya yang tidak tertutup apapun. "Aku bikin biar hangat, deh."

Mata Alya terpejam. Ia membiarkan Prana melakukan apapun pada tubuhnya. Sementara pikiran Alya justru berkelana jauh.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang