Episode XXXVII

4.6K 457 30
                                    

Hallo, selamat weekend. Tetap di rumah, ya. Sengaja posting hari ini untuk menemari liburan singkat ini. Selamat menikmati.




Everything gonna be okay. Alya mencamkan kalimat itu baik-baik di kepalanya. Kalimat yang beberapa hari terakhir sering digaungkan Mario padanya. Laki-laki itu, entah apa hal yang bisa Alya lakukan untuk membalas segala perlakuan baiknya.

Laki-laki itu menghubungi ayahnya. Dengan bantuan keluarga Mario, ia berhasil membawa Kakek Hamid ke Singapura dengan pesawat carteran. Menyewa pesawat? Bahkan pertama kali naik burung besi itu saja setelah menikah dan dibayari Prana.

Bicara tentang suaminya, laki-laki itu belum menghubungi Alya. Ia terkadang sengaja mengecek ponselnya-masih berfikir kalau ia melewatkan panggilan atau pesan yang dikirim Prana. Nyatanya, tidak satu pun nama Prana bercongkol di smarphone-nya.

Harusnya Alya tahu itu. Suaminya yang ia yakini sudah tiba di Jakarta tidak mencarinya. Surat yang dibuatnya sepertinya tidak berpengaruh apa-apa. Prana tidak akan pernah merasa kehilangan dirinya. Karena, Alya tidak pernah spesial di hati laki-laki itu.

"Alya," panggil Mario.

"Oh, kenapa, Kak?" tanya Alya.

"Badanmu enggak akan gemuk kalau cuma sarapan roti terus," katanya sambil melirik setangkup roti yang ada di piring Alya.

Mereka menghabiskan waktu di kantin rumah sakit. Sudah hampir seminggu Mario menemaninya di rumah sakit. Datang setiap pagi dan kembali ke apartemen yang disewa laki-laki itu saat malam. Ketika Alya tanya mengapa Mario tidak kerja, laki-laki hanya menjawab bekerja dari rumah. Padahal Alya tahu jika sepanjang hari, Mario tidak pernah menyentuh laptop atau kelihatan sibuk dengan pekerjaannya.

Kelak, Alya tahu jika laki-laki itu menggunakan cuti tahunannya untuk menemaninya.

"Kan, lagi tinggal di Singapura, jadi sarapannya roti."

Meledaklah tawa dari mulut Mario. Ia tertawa bahagia. Setidaknya pikiran Alya dapat dialihkan dari sekadar memikirkan kondisi kakeknya. Alya harus memikirkan setidaknya sedikit tentang hidupnya.

"Gayamu, Al. Singapura itu masih Asia Tenggara. Jaraknya cuma segini," ia meletakkan ibu jarinya di ujung telunjuknya. Mengibaratkan jarak antara negara ini dengan tempat tinggal mereka. Sangat dekat.

"Tapi orang-orang di sini ngomongnya pakai bahasa Inggris," kata Alya dengan polosnya.

"Oke, lah, can, lah, everybody said 'lah'," tambah Mario.

"Aksen Inggrisnya agak aneh, ya?"

"That's way they said Singlish-Singapore English."

Alya tersenyum. Hati Mario menghangat. Setidaknya kondisi perempuan lebih baik dengan senyum itu. Alya harus terus baik-baik saja.

"Oh, Marisa dan keluarganya mau ke sini nanti sore," kata Mario.

Alya mengangguk. Ia tahu itu. Rasanya tetap luar biasa. Hidup dikelilingi orang lain yang justru peduli padanya-peduli pada kakeknya. Bunda Mei dan ayahnya Marisa yang datang. Setidaknya ada orang yang lebih dari suaminya.

"Mereka luar biasa, Kak," kata Alya. "Sejak SMA, Marisa, Bunda Mei, dan keluarganya selalu menganggap Alya bagian dari keluarga mereka. Waktu liburan SMA, Bunda Mei bahkan pernah ajak Alya liburan bareng ke Bandung. Semuanya dibayarin. Bahkan pulangnya, Bunda Mei belikan banyak oleh-oleh buat kakek."

"Karena banyak orang yang mencintai kamu."

"Tapi, Kak Prana...," suara Alya menggantung. Hatinya tiba-tiba diliputi sesak. Fakta itu selalu membuat hatinya sakit.

"Meski Prana enggak mencintaimu, setidaknya ada banyak orang yang mencintaimu, Al. Kamu harus tahu itu."

Seperti aku yang juga mencintaimu.

Harusnya Mario mengatakan kalimat itu. Nyatanya, hal itu hanya menggantung di pikirannya. Mengucapkan kalimat itu tidak semudah yang digaungkan film-film romantis di luaran sana. Dengan kondisi mereka, memastikan Alya selalu tersenyum bahagia adalah imbalan terbaik dari perasaannya.

***

"You lied, Mario," teriak Ratu. Perempuan itu langsung menghamburkan segala kemarahannya pada laki-laki di hadapannya. "You told me. You went to Singapore for vacation."

Mario tidak bisa mengatakan apa pun. Ia tidak menyangka jika kedatangan Marisa dan keluarganya diikuti Ratu. Perempuan itu datang dengan tanduk bercongkol di kepalanya.

Harusnya Mario sadar jika membohongi Ratu adalah sesuatu yang mustahil. Perempuan itu terlalu cerdas untuk diakali. Lebih baik jujur. Lebih baik untuk semuanya.

"Kamu tahu, Rani WA aku. Dia kasih tahu kalau Alya ninggalin Prana. Aku enggak percaya makanya ke rumah Kakek Hamid. Nyatanya, she has gone. Cuma ada Marisa dan mamanya yang lagi ambil keperluan Kakek Hamid."

Ratu terduduk di sofa di apartemen sewaan Mario. Kepalanya tertunduk. Rasanya ingin menangis dan kesal dalam waktu bersamaan. Semuanya tercampur aduk dalam pikirannya.

Mario yang melihat itu membawa Ratu dalam pelukannya. Sahabat terbaiknya yang telah lama dikenalnya. Ia tahu jika kesalahannyalah yang membuat Ratu kesal setengah mati.

"I'm pretty stupid," gumam Ratu dalam pelukan Mario. "I'm her family but never know about Kakek Hamid's illness. Alya didn't believe me, Mario."

"Mungkin karena memutuskan untuk pisah dengan Prana."

Ratu langsung melepas pelukan Mario. Ia menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya. Katanya, "Really? Alya mau cerai dari Prana?"

Mario hanya mengangkat bahunya. "Mungkin."

Mata Ratu terpejam. Di dalam pikirannya kini tersusun sejuta rencana saat ia kembali ke Jakarta lusa. Semuanya terpusat pada Prana. Kakak sepupu yang menjadi manusia paling bodoh di dunia.

Segala sumpah serapah akan ia lontarkan di hadapan laki-laki itu. Gila, bercerai dengan Alya hanya demi mantan kekasih yang tidak akan hidup kembali. Otak Prana benar-benar harus dibelah dan dikeluarkan pikiran bodohnya.

Prana membuang berlian yang telah berada dalam genggamannya. Alya yang baik dan cantik telah disia-siakan begitu saja. Dan sekarang, perempuan itu sudah mencapai klimaks dari segala perasaan sakit yang dibuat suaminya sendiri.

"Ratu," panggil Mario.

Ratu mendongkakkan kepalanya. Ia memandang Mario. Katanya dengan penuh kepastian. "Tidak akan pernah ada perceraian di antara mereka."

***


Cuplikan episode berikutnya:


"Laki-laki itu yang dipegang omongannya, Prana," kata Bayu. "Kamu sadar, kan, kalau kehadiran Alya membuat rumah ini terasa hangat. Dia mencairkan semuanya."

Prana hanya bisa mengangguk. Yang diucapkan papanya benar. Kehadiran Alya dan perubahan yang terjadi dalam keluarganya adalah bentuk nyata dari kuatnya pengaruh perempuan itu. Sekarang, perempuan itu justru jauh dari jangkauannya.

"Sekarang, kenapa enggak kamu jemput Alya? Pergi dan jelaskan semuanya pada Alya."

Prana terdiam. Ia memandang papanya dengan tatapan penuh luka. "Alya sedang liburan ke Singapura bersama teman-temannya, Pa."

"Kamu tahu dari mana?"

"Postingan temannya di media sosial."

Bahwa sekarang, Alya jauh lebih bahagia tanpanya.



Sampai jumpa di episode berikutnya. Enggak janji posting besok, ya. Sudah mulai weekday dan repot sama kerjaan.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Место, где живут истории. Откройте их для себя