Episode XIX

3.3K 433 23
                                    

Jangan lupa komentarnya. Hatur nuhun. Selamat menikmati.



Tidak ada orang lain di rumah ini saat Alya pulang kuliah. Setidaknya itulah yang Alya pikirkan saat melihat kekosongan yang ada di sepanjang ruang tamu. Tapi, Alya sedikit mengernyit bingung mendengar suara TV menyala.

Di ruangan itu, duduk Retno dengan menggunakan seragam biru muda-khas pakaian kerjanya. Perempuan setengah baya itu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Matanya menatap ke arah layar darat besar yang tengah menayangkan acara talk show.

"Tante," panggil Alya dengan suara agak merendah. Hatinya ingin sekali menghampiri perempuan itu dan mencium tangannya. Tradisi mencium tangan orangtua yang selalu ia lakukan pada kakek neneknya. Bahkan, setiap kali ke rumah Marisa, ia tidak pernah lupa mencium tangan Bunda Mei dan ayahnya Marisa. Tapi Retno, bukan hal mudah untuk melanjutkan tradisi itu.

Sudah lebih dari seminggu sejak kejadian ia memberikan kue ulang tahun untuk Bayu. Laki-laki itu terlihat semakin bersahabat dengan Alya. Tidak sekaku dulu. Tapi, harus ada yang dibayar Alya. Sesuatu yang membuat jurang hubunganya dengan Retno semakin besar.

"Kamu udah pulang?" tanya Retno basa-basi.

Alya menjawabnya dengan anggukan. Tiba-tiba kecanggungan melingkupi keduanya. Alya merasa aneh berdua dengan ibu mertuanya. Ada jarak yang membentang di antara mereka. Itu seakan terlalu jauh untuk Alya gapai.

"Duduk, Alya," kata Retno. Matanya membawa tubuh Alya duduk di sisi sofa yang lain. "Kamu yang buat kue ulang tahun itu?"

Oh, pertanyaan itu. Alya kembali tersenyum dan mengangguk. Matanya berbinar mengingat hal itu. Di dalam angannya yang terdalam, Alya berharap jika hal itu membuat hubungan keduanya mencair.

"Nanti Alya bikinin juga pas Tante ulang tahun," kata Alya.

"Enggak perlu!" suaranya meninggi.

Alya tersentak. Ia sadar jika ada jurang di antara hubungan mereka. Tapi berbicara dengan suara tinggi bukan hal umum dilakukan Retno.

"Jangan pernah melakukan hal itu lagi," katanya memastikan.

"Tapi, Tante...."

"Kamu enggak tahu apa-apa tentang keluarga ini. Kamu hanya orang luar yang dijodohkan dengan Prana," katanya. Ada ganjalan besar dalam hatinya. Sesuatu yang coba ia tahan sebelumnya.

Alya tahu jika semua keinginan yang ada di kepalanya hanya sebatas angan. Kehadirannya sebagai istri Prana tidak serta merta membuatnya otomatis menjadi menantu perempuan paru bayah di hadapannya. Retno masih hidup dalam bayang-bayang Noëlle. Bahwa, Alya tidak bisa hidup menjadi dirinya sendiri di rumah ini-dalam lingkungan keluarga suaminya.

Perempuan itu menutup matanya. Ia menahan nyeri yang bersemayam dalam hatinya. Rasanya terlalu menyakitkan. Tapi, Alya menyadari untuk terus menahannya. Biarlah sekalian sakit dan ia berharap akan hilang seketika.

"Apa ini tentang Noëlle?" kata Alya.

"Alya."

Kedua perempuan itu menoleh. Ada Prana berdiri tidak jauh dari mereka. Laki-laki masih menggunakan kemeja yang tadi pagi dipakainya. Lengannya sudah digulung hingga siku.

Alya menyesal telah menyebutkan nama perempuan itu.

Tidak jika harus di hadapan Prana. Tidak juga saat suaminya baru pulang kerja. Fisik laki-laki itu pasti lelah. Menghadapi tekanan pekerjaan bukan hal mudah. Seharusnya, Prana bisa beristirahat.

Tapi, semua sudah terlanjur. Alya hanya harus membasahi seluruh tubuhnya lagi. Basah sedikit atau banyak sama-sama membuat tubuh masuk angin.

"Kamu kenal Noëlle?"

"Apa karena Noëlle yang ngebuat Tante enggak bisa nerima Alya sebagai istri Kak Prana?"

"Masuk ke kamar, Alya!" suara Prana mulai meninggi.

Pikirannya kalut. Alya dan Noëlle adalah dua perempuan berbeda. Tidak seharusnya mereka bertemu meski hanya dengan menyebutkan nama.

Alya menatap Prana. Pandangannya penuh luka. Ia menggeleng sebagai bentuk pertahanan dirinya. Ia akan tetap di sini.

"Karena bukan kamu yang seharusnya jadi istri Prana," suara Retno berkumandang.

Prana menatap mamanya tidak percaya. Bagaimana bisa perempuan yang paling ia hormati mengatakan hal seperti itu. Itu hal kejam yang dapat melukai perasaan istrinya. Prana-yang perasaannya belum bisa mencintai Alya selalu tidak sanggup mengatakan kalimat yang bisa membuat Alya sedih. Tapi, mamanya dengan begitu mudah mengatakan hal seperti itu.

"Ma, tolong," kata Prana memelas.

"Mama capek, Prana. Mama capek. Setiap hari berusaha menutupi latar belakang Alya ke tetangga dan teman-teman mama. Bahwa, perempuan yang dipilih anak mama adalah anak yang enggak tahu siapa ayah biologisnya."

Sesungguhnya, Alya sudah terbiasa dengan segala penolakan terhadap dirinya. Tentang orang-orang yang menyalahkannya karena terlahir tanpa pernikahan. Tentang dirinya yang tidak pernah tahu siapa laki-laki yang menjadi ayah biologisnya. Alya sudah biasa tentang hal itu. Telinganya sudah kebal mendengar ucapan sumbang itu. Alya menggunakan kedua tangannya untuk menutup telinganya dari kalimat-kalimat menyakitkan itu. Karena Alya tahu, kedua tangannya tidak cukup menutup mulut mereka yang berbicara tentang latar belakangnya yang suram.

Tapi mengapa hal ini terasa sangat sakit?

Perempuan yang Alya harapkan menjadi pengganti ibu yang tidak pernah ia rasakan kehadirannya justru menolaknya dengan cara paling menyakitkan. Ibu mertua yang dalam angan-angan Alya menjadi teman berbagi cerita dan aktivitas. Ibu yang melahirkan suaminya yang seharusnya ia junjung dan hormati.

"Prana, kamu juga tolong jangan membohongi perasaan kamu sendiri. Mama yakin kalau perasaanmu ke Noëlle enggak berubah."

"Cukup, Ma."

Retno tidak bergeming. Matanya menatap perempuan muda di sampingnya. Katanya, "Coba kamu tanya suamimu, apa dia mencintaimu? Karena mama yakin, cintanya masih ke Noëlle."

"Kak," panggilan Alya terdengar pelan. Ia menyakinkan dirinya sendiri untuk memupuk rasa kepercayaan dirinya. Suaminya sangat mencintainya. Bahwa, segala perhatian dan kepedulian Prana selama ini adalah bentuk rasa cinta laki-laki itu pada istrinya. Persis yang dilakukan ayah Marisa pada Bunda Mei.

Prana masih bergeming. Laki-laki itu hanya menatap Alya dengan tatapan yang sulit Alya mengerti. Alya berharap, ia dapat melihat bayangan cinta dan sayang dari kedua bola mata itu. Nyatanya, kedua perasaan itu hanyalah pantulan perasaan dirinya pada laki-laki itu.

Diamnya Prana membuat kepercayaan diri Alya jatuh. Ia berusaha tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Melihat laki-laki di hadapannya membuat Alya harus bercermin. Selamanya, ia tidak pantas mendapat cinta siapapun, bahkan suaminya sendiri.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now