Episode XXVI

3.4K 405 16
                                    

Untuk menemani long weekend kalian. Selamat menikmati.




"Aku mau ke Inggris selama dua minggu."

Alya telah menyelesaikan mengiris bawang merah di dapur. Suara langkah Prana yang menghampirinya di tempat ini hampir tidak terdengar. Laki-laki itu menggunakan sandal bahan. Prana duduk di depan Alya di meja makan sebelum akhirnya mengatakan kalimat itu.

"Ada permintaan kain di sana," katanya lagi.

Alya paham. Ia tidak mengerti apapun tentang bisnis keluarga suaminya. Ia hanya tahu jika suaminya memimpin usaha produksi kain. Hasilnya lebih banyak diekspor.

Inggris, negara yang baru saja keluar dari Uni Eropa. Negara yang terpisah daratan dari negara-negara Eropa lainnya. Menggunakan mata uang poudsterling yang nilainya paling tinggi di antara mata uang yang ada.

Negara dengan atmosfer sepak bola keras namun penontonnya paling santun di antara liga Eropa lainnya. Terasa menggiurkan untuk dijelajahi. Ada keinginan yang mendesak di hati Alya. Sebuah rasa yang menginginkannya untuk ikut bersama suaminya.

"Aku bakal sibuk banget di sana."

Romantisme di Februari dengan salju menguar begitu saja. Alya menghela napasnya. Kalimat itu artinya tidak. Ya, tidak ada celah untuk Alya berada di sana.

Mungkin nanti saja. Ia akan mengode suamianya untuk mengingat janjinya dulu. Tentang foto dan menyaksikan megahnya istana Ratu Elizabeth. Melihat sibuknya London dan dinginnya kota pelabuhan Liverpool.

Nanti saja setelah skripsinya selesai.

"Enggak bisa sering-sering video call, dong?" tanya Alya.

Prana mengacak rambut istrinya gemas. "Bisa. Setelah urusan selesai, aku akan telepon kamu."

"Beda berapa jam, Kak?"

"Tujuh jam."

Tangan Alya yang masih menempel getah bawang terangkat. Ia membentangkan ke lima jari di kedua tangannya. Mulutnya komat kamit menghitung. Bibir merahnya yang seperti itu selalu membuat Prana tergiur untuk mencicipinya lagi.

"Berarti kalau Kakak selesai kerja jam 6 sore, di Jakarta jam 2 malam, dong."

Prana tertawa pelan. "Sebelum kerja, aku akan telepon kamu," katanya mengetahui kegelisahan istrinya.

Tubuh Prana maju. Bibirnya mencari sesuatu di wajah istrinya. Tapi, belum sempat menemukan apa yang dicarinya, Alya menaruh tangannya di wajah suaminya. Ia menolak.

"Al, tangan kamu bau bawang," katanya.

"Kan, Alya habis ngiris bawang."

Mereka tertawa. Pagi itu, berada di dapur membuat keduanya terhanyut dalam keceriaan. Mereka bahagia sekali.

***

Alya sudah janji dengan dosen pembimbing skripsinya. Masih berkutat di bab satu. Bagian latar belakang yang baru dibuatnya harus kembali direvisi. Alasan Alya melakukan penelitian ini kurang kuat. Begitulah yang seminggu lalu diucapkan dosennya.

Alya menikmatinya. Proses tugas akhir yang menjadi syarat kelulusannya. Ia akan menjalani proses ini dengan baik. Ia ingin mendapat nilai memuaskan di sidang skripsi nanti.

Prana sudah pergi malam tadi. Pesawatnya terbang hampir tengah malam. Karena itulah, laki-laki itu melarang Alya mengantarnya. Sangat Prana sekali. Keselamatan dan kenyamanan Alya adalah yang utama bagi laki-laki itu. Prana membiarkan dirinya pergi diantar supir keluarga.

Karena itulah Alya merasa sepi.

Papa dan suaminya pergi ke luar negeri. Tiga hari lalu, papa terbang ke Jepang. Laki-laki itu mengurusi alat kesehatan buatan Jepang. Mengirim dan didistribusikan ke beberapa rumah sakit di Indonesia. Pengecekan langsung ke pabriknya di sana membuat mertuanya merasa lebih tenang.

Alya melangkah meja kerja suaminya. Ada printer di sana. Ia menghubungkan kabel di laptopnya dengan alat pencetak itu. Membacanya sekali lagi untuk memastikan jika file yang akan dicetaknya adalah revisinya.

Saat mesin mulai mengeluarkan hasil cetakan, di sanalah, Alya tahu. Ada selembar kertas putih. Perlahan, Alya mengambilnya. Tidak terlalu jelas karena buram. Seperti dicetak dengan tinta yang mau habis. Tidak banyak yang ditangkap jelas oleh mata Alya. Hanya ada nama Prana dan rute penerbangan. Ini e-ticket penerbangan suaminya.

Strasbourg Airport

Kata itu muncul di samping Soekarno Hatta Airport. Itukah tujuan pesawat suaminya? Bukankah suaminya akan pergi ke London?

Alya menggeleng. Ia bodoh. Alya bahkan hanya pernah ke Perancis sebagai tujuannya ke luar negeri. Itu bisa saja nama bandara di London. Mungkin itu nama pahlawan yang namanya diabadikan menjadi bandara-seperti bandara di Indonesia.

Ia mengambil ponselnya. Ada pesan dari suaminya. Laki-laki itu mengabarkan jika sudah berada di pesawat. Prana minta doa agar selamat sampai tujuan.

Tujuan yang mungkin Alya tidak tahu jika akan berbeda.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang