Episode XVII

3.3K 379 4
                                    

Hallo, makasih sudah menunggu cerita ini. Jangan lupa memberikan votes dan komentar, ya, biar cepat update part berikutnya. Hatur nuhun, selamat menikmati....



"Kakek udah bilang enggak apa-apa, Alya," Kakek Hamid berkali-kali mengucapkan kalimat itu pada cucu semata wayangnya.

"Tapi Kakek pingsan," Alya tidak mau kalah.

"Kakek enggak pingsan, cuma sedikit kelelahan."

"Sedikit kelelahan? Duduk lemas di bangku sampai dada sesak? Untung aja Mbak Santi datang ke sini." Alya menyebut nama tetangganya yang membantu bersih-bersih di rumah ini. Sebelum Alya menikah, Mbak Santi hanya datang seminggu dua kali-untuk mencuci dan menggosok baju. Alya masih bisa menyapu dan membersihkan rumah setelah pulang kuliah. Kini, Mbak Santi setiap hari datang.

Kakek Hamid tidak lagi menanggapi. Ia membiarkan Alya mengoceh banyak hal tentang kesehatannya. Dengan tubuh menyandar di ranjang kamarnya, ia menatap Alya yang duduk di pinggir ranjang. Ia harus waspada. Setelah ini, Alya pasti akan semakin sering datang ke rumah ini. Itu yang coba dihindari Kakek Hamid. Alya sudah menikah dan memiliki keluarga utuh-yang diidamkan cucunya. Perempuan muda itu harus menghabiskan waktunya dengan bahagia di rumah barunya, bukan merawatnya di sini.

"Alya."

"Kami nginap di sini, Kek," kata Prana menghentikan suara Kakek Hamid. Laki-laki itu berdiri di pintu kamar kakek mertuanya. Matanya tidak henti melihat pemandangan di depannya. Ada sesuatu yang menggugah hatinya.

Ada obat yang lebih efektif dibanding obat-obatan rumah sakit. Cinta dan kasih sayang Alya pada Kakek Hamid seraya ramuan untuk menghancurkan penyakit jantung laki-laki paruh baya itu. Prana menyadari itu.

Karena di rumahnya tidak pernah seperti itu.

Rumah sakit, dokter, dan perawat adalah pemandangan yang biasa dilihatnya saat keluarganya sakit. Peran keluarga di kamar perawatan hanya sebatas penunggu. Cinta mereka hanya sebatas memastikan mendapat perawatan maksimal di rumah sakit.

"Enggak usah Prana," kata Kakek Hamid. "Kakek baik-baik saja. Kakek enggak mau ngerepotin kalian."

Prana tersenyum. Ia membawa kakinya melangkah menghampiri keduanya. Katanya,"Kami engggak merasa direpotkan Kakek, kok."

Alya mendongkak. Senyumnya terbit saat memandang wajah teduh suaminya. Bunda Mei benar. Ucapan cinta yang keluar dari bibir suaminya akan terasa kalah jauh dibanding perbuatannya. Bahwa, semua yang telah dilakukan Prana adalah ucapan cinta paling romantis yang didapatnya. Inilah romantisme yang dipiilih suaminya. Rasa cinta dan sayangnya pada Kakek Hamid-seperti yang Alya rasakan. Mencintai Alya juga Kakek Hamid sebagai satu-satunya yang tersisa dari keluarga istrinya.

Tangan Alya menggenggam tangan besar suaminya yang berada di sisinya. Ia tidak akan melepaskan pegangan ini. Apapun itu yang membuat Prana bahagia akan ia lakukan. Karena inilah cara Alya membalas semua yang telah laki-laki itu padanya juga Kakek Hamid.

***

Alya menutup pintu kamarnya. Matanya menatap Prana yang sedang menyandar di ranjang dengan tangan memengang Ipad. Dengan earphone di telinga, Prana berbicara dengan bahasa Prancis. Sebelah tangan laki-laki itu terkadang mengibaskan kertas hingga mengeluarkan angin ke wajahnya.

Laki-laki itu menghabiskan hampir tiga belas tahun hidupnya di negara dengan kondisi cuaca dingin. Udara malam di kota ini mungkin saja masih terasa lebih panas daripada siang hari di Paris saat musim dingin. Di Indonesia, Prana hidup dalam ruang-ruang yang dikelilingi AC. Di sini-di kamar Alya saat masih gadis-hanya ada kipas angin berdiri yang diletakkan di sudut ruangan. Baling-baling kipas itu berputar namun sepertinya tidak cukup menurunkan suhu udara ruangan berukuran 3X3 meter ini.

Perempuan itu mengambil kipas angin dan memindahkannya ke dekat suaminya. "Didekatkan biar kena anginnya," kata Alya.

Perempuan itu yakin jika ia tidak memelankan langkah atau menutup pintu kamar dengan suara yang semestinya. Tapi, Prana justru tersentak dengan suara Alya. Ia langsung mengucapkan sebuah kalimat sambil tergesa mematikan sambungan di Ipad-nya.

"Aku enggak dengar kamu masuk," kata Prana. Ia menaruh layar datar itu ke meja belajar di samping tempat tidur. Di kamar istrinya tidak ada meja nakas kecil yang biasanya memuat lampu tidur di samping ranjang.

"Kakak asyik video call," canda Alya.

Wajah Prana mendadak kaku. Laki-laki itu mencoba menegak ludahnya yang entah mengapa terasa kering. Ia berdeham untuk membasahi tenggorokannya. Haruskah sekarang? Gumamnya dalam hati. Saat ia mencoba menatap Alya untuk meyakinkan dirinya sendiri, perempuan itu justru tersenyum.

"Urusan pekerjaan, ya?"

Prana hanya bisa mengangguk.

Alya harus terbiasa dengan itu. Prana menggantikan urusan Kakek Ali mengurusi pabrik kain milik keluarganya. Kepala laki-laki itu dipakai untuk memikirkan segala bidang dalam usahanya.

"Kakek gimana?" tanya Prana sesaat setelah Alya juga masuk ke atas ranjang dan menyandarkan kepalanya di dada laki-laki itu. Perempuan itu sudah lebih santai dalam hubungan fisik seperti ini. Tidak kaku saat awal menikah.

"Sudah mendingan. Tapi, ya, gitu. Harus dipantau minum obatnya."

"Langsung mau minum?" tanya Prana aneh. Tadi, butuh waktu lama bagi Alya untuk meyakinkan kakeknya agar mau meminum obat dokter.

"Alya rayu soal umroh," Alya menengadah kepalanya. Matanya menatap suaminya yang penuh kebingungan. "Mimpi kakek yang belum tercapai adalah umroh."

Mata Alya membentang jauh. Pikirannya berjelajah ke dimensi waktu di masa lalunya. Tentang binar yang terpancar dalam mata kakek setiap kali mendengar temannya pergi haji atau umroh dan saat memandang foto Kabah.

"Harusnya kakek dan almarhumah nenek udah umroh atau pergi haji. Tapi, karena harus biayai Alya sekolah, makan Alya, dan segala kebutuhan Alya, mereka merelakan mimpi besarnya."

Ada yang tertahan dalam suara Alya. Prana menyadari itu. Bagi Alya, setiap kali membicarakan tentang kakeknya, akan membangkitkan perasaan sedih dengan pengorbanan laki-laki yang dicintainya itu.

"Alya cuma minta supaya kakek dan nenek diberi umur panjang dan kesehatan. Seenggaknya sampai Alya kerja dan punya uang buat daftarin kakek dan nenek umroh. Tapi...," suara Alya tersendat. "Doa Alya enggak terkabul. Nenek pergi sebelum Alya sempat berjuang untuk memberangkatkan umroh."

Alya bercerita bukan untuk mendapatkan simpati. Ini tentang harapan dan perjuangan karena sebuah rasa cinta. Perempuan itu ketika mencintai sesuatu pasti akan total. Alya akan melakukan apa saja demi kebahagiaan kakek neneknya.

Prana memutar kepalanya. Ia mengingatkan dirinya untuk menghubungi salah satu teman SMA-nya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now