Episode XXXIII

3.9K 427 25
                                    

Di-publish Senin supaya semangat beraktivitas. Selamat menikmati.



Ada dua buah laci di meja kerja Prana. Letak keduanya saling berhimpitan-atas dan bawah. Sama-sama terkunci. Alya menatap dua buah kunci di tangannya. Ini tempat yang tidak pernah tersentuh Alya selama hampir dua tahun menikah dengan Prana.

Inilah tempat keramat laki-laki itu. Alya sering membersihkan kamar mereka karena ia merasa risih jika harus orang lain yang melakukannya. Bagi Alya, kamar adalah ranah privasi-terlampau sensitif untuk dimasuki orang lain yang bukan keluarganya. Inilah tempat bagi Alya dan Prana berbagi banyak hal.

Menjadi istri laki-laki itu, Alya mengetahui apa itu privasi. Bahwa, dengan menjadi suami istri tidak lantas membuat suaminya terbuka hal apapun dengannya. Termasuk soal perasaan laki-laki itu.

Rani-adik iparnya meneleponnya untuk kembali ke rumah mertuanya. "Ada amplop cokelat di laci atas," itu yang dikatakan Rani. Perempuan itu mengatakan dengan sedikit ragu. Mungkin, bingung laci atas atau bawah yang harus Alya buka.

Prana tidak mengatakan apa-apa pada Rani. Hanya menyuruh Rani mengambil amplop cokelat dan memberikannya pada Aldi-teman SMA Prana yang seorang pengacara. Hanya sebatas itu.

Alya membuka laci itu. Tidak ada amplop cokelat seperti yang dikatakan suaminya. Ia berpikir jika Rani salah mendengar. Alya baru saja akan menutup kembali laci ini saat matanya melihat sebuah map biru dongker bertuliskan nama suaminya dan Noëlle.

Harusnya Alya tidak abai dengan itu. Harusnya Alya pura-pura tidak melihat. Harusnya, ia kuat untuk tidak membuka map itu karena rasa penasarannya. Nama suaminya yang bersanding dengan perempuan lain membuat dadanya bergemuruh.

Tangannya bergetar membawa map biru dongker itu ke atas meja. Sepertinya cukup banyak berkas yang ada di dalam map tersebut. Cukup berat untuk benda berbahan kertas.

Perempuan itu membuka perlahan bagian atas map tersebut. Ada selembar kertas putih dengan banyak tulisan. Di paling atas kertas itu, Alya melihat logo burung garuda.

Certificate of Capacity to Marry

Surat ini dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Prancis. Ada nama Prana, tanggal lahir, hingga nomor paspor laki-laki itu. Di bawahnya tertulis jika Prana belum pernah menikah. Tanggal di bawahnya di awal Juli-satu tahun sebelum pernikahannya dengan Prana.

Ini salah satu izin menikah dengan WNA di Prancis. Nyatanya, dugaan pernikahan Prana yang gagal yang sering digaungkan orang-orang di sekitarnya adalah benar. Laki-laki itu gagal menikahi pujaan hatinya.

Alya patah hati. Benar-benar patah hati. Kilatan masa-masa kebersamaannya dengan Prana kini memutar bagai rol film di kepalanya. Kecurigaan-kecurigaan Alya kini menemui titik temu. Bahwa, Alya memang seharusnya menyerah.

Dengan gemetar, tangan Alya menyentuh surat itu. Di bawahnya, ada berkas-berkas lainnya. Dan, Alya menemukan foto kopi berwarna tanda kependudukan milik Noëlle. Tidak banyak informasi yang ada di sana-juga berbahasa Prancis. Setidaknya, ada tanggal lahir dan informasi tentang tinggi badan. Alya tidak menemukan info pekerjaan, golongan darah, ataupun agama di sana. Di sisi kiri mata Alya memandang, ada pas foto yang memuat perempuan cantik berambut pirang.

Inilah sosok yang memicu kecemburuannya. Perempuan cantik yang dipilih Prana untuk dicintainya. Ia adalah tempat suaminya menitipkan segala perasaan cinta. Perempuan beruntung karena begitu dicintai Prana-sebuah hal yang tidak suaminya berikan pada Alya.

Mata Alya menunduk. Ia menjelajah lebih jauh tangannya ke dalam laci itu. Alya melihat banyak foto-foto Noëlle di dalam laci itu. Ada foto Prana dan Noëlle dengan laki-laki dan perempuan bule paruh baya. Alya meyakini itu sebagai orangtua Noëlle.

Prana menyimpan dengan baik sosok Noëlle. Bukan hanya menggenggam dalam ingatan tapi juga fisik. Hati Alya tertusuk ketika matanya melihat pasangan yang sedang berciuman dengan mesra di foto itu. Ciuman itu milik Prana dan Noëlle.

Dering ponsel terdengar. Alya mengalihkan perhatiannya pada nama yang ada di layar datarnya. Ia menekan tombol hijau sebelum meletakan di telinganya.

"Udah ketemu amplopnya, Al?" suara Prana terdengar.

Mendengar suara Prana justru membangkitkan kembali luka yang menancap di dadanya. Nyeri sekali. Perlahan, air mata Alya keluar. Kondisi rumah tangga yang begitu nelangsa.

"Al," Prana memastikan jika istrinya masih terhubung dengannya.

"Kak," suara Alya terdengar. Ia menarik napas agar Prana tidak mengetahui tangisannya. "Aku bakar foto Kakak dan Noëlle ya?" katanya cepat.

"Apa, Al?"

"Aku bakar foto dan semua berkas pengajuan pernikahan Kak Prana dan Noëlle. Kak Prana enggak pantas masih menyimpan itu."

"Jangan lakukan apapun. Kita bicarakan nanti di rumah," balas Prana.

Alya menggeleng. Tentu saja Prana tidak bisa melihat itu. "Kalau Alya bakar itu, Kak Prana enggak akan bisa lagi mengingat Noëlle itu."

"Al...."

"Alya akan bakar foto dan sertifikat pengajuan pernikahan. Oh, juga ada foto kopi KTP dan sertifikat kematian Noëlle. Perempuan itu udah meninggal, Kak. Aku akan bakar semuanya, ya?"

"Jangan sentuh apapun yang ada di laci atasku, Alya!"

Perempuan itu tersentak. Ini adalah bentakan Prana padanya. Selama ini, laki-laki itu tidak pernah berbicara dengan nada meninggi seperti ini. Alya tersenyum. Ia tidak menyangka jika suaminya membentaknya hanya karena Noëlle.

"Alya," suara Prana terdengar memelan.

Perempuan itu tidak menjawab. Ia membiarkan tubuhnya melorot ke lantai. Air matanya keluar. Ternyata, ini memang akan berakhir menyedihkan seperti ini. Kisah pernikahannya harus berakhir. Mimpi yang selama ini terus diasahnya, nyatanya hanya ada dalam angannya. Rumah tangga, suami, dan anak-anak hanya menjadi ilusi bagi Alya. Sampai kapanpun, Alya tidak akan pernah merasakannya.

Karena ibu dan ayah kandungnya juga demikian. Mereka bahkan tidak pernah menikah. Mungkin, ini juga yang akan Alya rasakan. Setidaknya, mereka tidak menikah sehingga tidak merasakan lebih dalam sakit hati sebagai seorang istri atau suami.

Alya yakin, salah satu penyebab suaminya tidak pernah bisa mencintainya dan melupakan Noëlle karena kondisi minus keluarganya. Alya tidak memiliki orangtua seperti perempuan itu. Bahwa, latar belakang keluarga membuat rasa cinta itu enggan bersemayam dalam hati suaminya.

Alya hanyalah anak haram. Seperti yang digaungkan orang-orang padanya.

***

Cuplikan episode berikutnya:


"Enggak coba bilang sama Kak Prana?" tanya Marisa hati-hati.

Sepertinya itu ide yang bagus. Prana memiliki banyak uang. Laki-laki juga perhatian dengan Kakek Hamid. Ia mau membiayai umroh plus. Tentu saja tidak akan menolak jika Alya mengutarakan untuk mengobatan Kakek Hamid.

Seandainya ia bisa seperti itu. Nyatanya, rumah tangganya saja justru di ujung tanduk. Ia sendiri tidak yakin mampu mempertahankan kehidupan rumah tangganya dengan Prana. Mau minta uang? Lebih baik bekerja hingga berdarah-darah.


Kalau Kakek Hamid sakit, siapa yang akan menguatkan Alya? Prana atau Mario?

Sampai jumpa di episode berikutnya. Mungkin akan tayang Senin depan.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora