Episode XXXII

3.8K 412 26
                                    

Hallo Monday, back to normal activities. Bukan benci Senin, tapi emang bau-bau aktivitas udah tercium sejak Minggu. Pekerjaan memang masih WFH tapi kerjaannya masya Allah, rasanya mau gigit meja aja.

Aku enggak bisa janji bakal update setiap hati. But, insya Allah setiap kali ada ide dan waktu, selalu dipakai untuk nulis cerita ini. Karena menurutku, ide saat nulis itu enggak hanya datang begitu saja tapi kudu wajib harus dicari. Dulu, aku sering jalan-jalan sendiri untuk refreshing dan cari ide. Biasanya jalan di mall atau cuma naik Transjakarta. Beberapa kali dalam setahun, aku biasanya ke Bandung. Atau, sesekali ke luar kota. Tapi, lebih sering mendekam di Bandung. Keliling kota kembang dan ketemu banyak orang. Sendirian aja dan jauh lebih menikmati dibanding sama teman.Itu semacam merefleksikan diri dan memperhatikan interaksi orang-orang baru yang kutemui di sana.  And then, hap, ide nongol gitu aja. Aku pernah dapat ide cuma dari ngeliat orang yang duduk kursi pesawat belakangku teriak saat take off. Dan, ide itu seringnya nongol saat aku jalan-jalan sendirian.

Tapi sekarang, aku biasanya cari referensi dengan baca atau menjelajah di Netflix. Mana tahu si ide menampakkan dirinya. Haduh, kebanyakan curhat jadinya. Pokoknya, doakan aja, ya, semoga si ide mau meluangkan waktunya untuk datang ke aku. Langsung, selamat menikmati.






Prana terbangun keesokan paginya dengan keringat mengucur di sepanjang dahinya. Napasnya terasa tersengal seperti ia habis berlari jauh. Ia melongok di nakas samping tempat tidur. Sudah jam tujuh pagi dan ia memiliki janji dengan Eloise.

Maka sekarang, di tempat inilah dirinya.

Ia berjalan beriringan dengan Eloise. Tangan perempuan setengah baya itu menggenggam tangan Prana. Laki-laki itu merasakan begitu rapuhnya tangan ini. Dengan langkah perlahan, Prana menelusuri bebatuan.

Selama tiga belas tahun tinggal di negara ini, Prana tidak pernah membayangkan akan mengunjungi tempat ini. Sebuah hamparan hijau yang membentang luas dengan beberapa pohon hijau. Di tempat inilah kekasih hatinya bersemayam.

Prana tidak pernah tahu akan kembali menginjakkan kakinya ditempat ini lagi. Rasanya sudah sangat lama. Hampir tiga tahun lalu-ketika ia harus melepaskan separuh hatinya. Sekarang, rasanya masih sama seperti dulu, begitu menyakitkan hatinya.

Mata laki-laki itu tertuju pada jalan di depannya. Ia tidak menoleh untuk sekadar menatap deretan nisan di sampingnya. Di tempat ini, lautan nisan yang tertulis nama dan waktu kematian orang-orang di dalamnya.

Beberapa orang Prancis mengklaimkan dirinya sebagai atheis. Itu yang sering membingungkan ketika akan memakamkan mereka. Setiap nisan selalu memiliki simbol agama bagi penganutnya. Di Prancis, belum ada pemakaman seorang atheis-tidak seperti di Swedia. Terkadang, mereka meminta untuk dikremasi.

"Prana."

Panggilan Eloise membuat Prana menghentikan langkahnya. Ia tahu di sinilah kakinya harus berhenti melangkah. Laki-laki itu menoleh dan menemukan tatapan Eloise tertuju pada gundukan tanah yang di atasnya sudah dipenuhi rumput hijau.

Tubuh Noëlle berbaring dengan tenang di bawah gundukan ini. Perempuan itu menggunakan gaun pernikahan rancangannya sesaat sebelumnya tubuhnya dimasukkan ke dalam peti. Perias jenazah memoleskan make up hingga Prana melihatnya seperti seorang pengantin. Ya, pengantinnya.

Prana melihat nisan yang berdiri dengan tegak di ujung gundukan tanah ini. Nama yang tertulis adalah Noëlle. Tapi, seringkali laki-laki itu menyangkalnya. Otaknya selalu membuat keyakinan jika nama itu adalah milik orang lain bukan kekasih hatinya. Pemikiran yang tentu saja sia-sia.

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Where stories live. Discover now